Makan Bergizi Gratis: Menimbang Ulang Arah Kebijakan Pemenuhan Gizi
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah merupakan salah satu kebijakan publik yang menarik perhatian publik karena menyentuh isu fundamental: hak setiap anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang secara optimal.
Di atas kertas, MBG menjanjikan intervensi komprehensif yang selaras dengan Konvensi Hak Anak dan kerangka kerja global Nurturing Care Framework (Kerangka Perawatan Pengasuhan) yang diluncurkan WHO, UNICEF, dan The World Bank pada 2018, sebagai alat bantu bagi negara dalam mencapai beberapa target SDGs.
Secara spesifik, program MBG diharapkan mencapai target dunia tanpa kelaparan dan mendukung target.
Penelitian yang dilakukan Zarate, Rodriquez, dan Sanchez di tahun 2025, menunjukkan bagaimana program makan di sekolah berpotensi mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas kesehatan, dan meningkatkan tingkat retensi peserta didik di sekolah.
Secara prinsip, kebijakan ini menghadirkan harapan besar untuk memperbaiki kualitas pembelajaran sekaligus mengatasi persoalan kesehatan seperti stunting, anemia, dan kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia.
Dalam implementasinya, program MBG bertumpu pada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). SPPG merupakan lembaga yang dibuat untuk kerangka teknis dan operasional yang menjadi acuan implementasi MBG di lapangan.
Meski demikian, seperti halnya kebijakan publik berskala besar di negara dengan keragaman dan ketimpangan antarwilayah yang tinggi, tantangan implementasi MBG dan desain SPPG tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pemenuhan gizi adalah hak dasar setiap anak dan penting untuk mendukung proses belajar. Namun, ambisi ini tidak akan bermakna tanpa perencanaan matang, penguatan ekosistem sekolah, dan tata kelola lintas sektor yang efektif.
Kebijakan yang baik, tapi berisiko salah langkah
Pengaruh gizi terhadap prestasi belajar dan perkembangan anak sudah tidak perlu diperdebatkan. Banyak riset menunjukkan bahwa anak yang lapar sulit fokus, lebih cepat lelah, dan memiliki daya ingat lebih rendah.
Remaja putri yang mengalami anemia, misalnya, menunjukkan penurunan kapasitas kognitif dan meningkatnya risiko kelelahan kronis. Dalam konteks inilah MBG menjadi relevan dan penting.
Tantangannya muncul pada aspek implementasi. Indonesia memiliki kondisi geografis dan sosial yang sangat beragam. Beberapa kota dan kabupaten memiliki daerah yang sangat luas, termasuk perlu menjangkau kepulauan, di mana persoalan distribusi makanan dapat menjadi masalah.
Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa program makan sekolah bisa mengalami gangguan serius ketika fasilitas dapur dan area makan tidak memadai, sehingga menimbulkan risiko kontaminasi makanan.
Di tengah situasi seperti ini, peran guru dan sekolah menjadi sangat rentan. Guru sering kali menjadi penanggung jawab teknis berbagai kebijakan baru, mulai dari pelaporan, distribusi, hingga pengawasan.
Belum lagi, guru juga harus senantiasa siaga sekiranya ada permasalahan yang muncul seperti risiko keracunan makanan dari program MBG.
Tanpa dukungan tenaga tambahan dan anggaran khusus, MBG dapat menambah beban guru, padahal mereka seharusnya fokus pada proses pembelajaran.
Pembentukan SPPG patut diapresiasi sebagai upaya pemerintah memperkuat koordinasi antara sektor pendidikan dan sektor kesehatan untuk pemenuhan gizi peserta didik. Sebagai kebijakan yang terpusat, SPPG dipahami sebagai unit terdepan dalam implementasi MBG.
Namun, Prof. Fasli Jalal (Rektor Universitas YARSI dan Ketua ECED Council Indonesia) menekankan bahwa keberadaan lembaga baru ini harus dibangun melalui harmonisasi dengan layanan kesehatan sekolah yang telah lama berjalan, seperti UKS (Unit Kesehatan Sekolah) dan UKGS (Unit Kesehatan Gizi Sekolah).
Tanpa harmonisasi dengan layanan yang sudah ada, risiko tumpang tindih sangat mungkin terjadi. Alih-alih memperkuat layanan, SPPG dapat menambah beban administratif sekolah dan menciptakan kebingungan alur koordinasi di level sekolah.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa menambah struktur birokrasi tidak otomatis meningkatkan kualitas layanan, terutama jika kapasitas sumber daya manusia dan anggaran di tingkat daerah belum diperkuat.
Menurut Prof. Fasli, SPPG sebaiknya difokuskan pada fungsi strategis, bukan operasional. Fungsi tersebut meliputi:
- Perencanaan dan pengarah kebijakan
- Penjaminan mutu dan standar keamanan pangan
- Peningkatan kapasitas sekolah dalam pengelolaan MBG, serta
- Monitoring dan evaluasi implementasi MBG
Jika peran SPPG tidak didefinisikan ulang, maka unit ini berpotensi menghambat efektivitas program MBG di lapangan.
Dengan memperjelas batas perannya, SPPG dapat menjadi simpul koordinasi lintas sektor yang memperkuat sekolah, bukan menambah beban baru.
Salah satu tantangan terbesar MBG adalah penyusunan menu yang sensitif terhadap kebutuhan usia. Menyamakan menu untuk ibu hamil, anak usia dini dalam keluarga dan yang sudah memasuki PAUD, SD, SMP, dan SMA tidak tepat secara ilmiah.
Sebagai contoh, remaja, terutama remaja putri, membutuhkan asupan zat besi yang lebih tinggi. Sementara itu, anak usia dini membutuhkan lebih banyak lemak baik untuk menunjang perkembangan otak.
Jika SPPG tidak dilengkapi dengan tenaga ahli gizi yang memahami kebutuhan berdasarkan usia, kondisi, dan karakteristik sasaran MBG, program makan gratis hanya menjadi kegiatan “memberi makan”, bukan intervensi gizi yang berdampak.
Indonesia juga dikenal dengan keragaman budaya pangan. Menu yang dikembangkan dari pusat sering kali tidak sejalan dengan preferensi pangan lokal.
Padahal, keberhasilan program makan sekolah di Jepang, Finlandia, dan Brasil bertumpu pada kemampuan mereka mempertahankan identitas kuliner lokal. Makanan bergizi harus tetap akrab dengan budaya setempat agar lebih diterima semua sasaran.
Oleh karena itu, beberapa rekomendasi untuk memperkuat implementasi program MBG, baik dalam konteks di layanan Pendidikan maupun dalam konteks komunitas perlu dilakukan, yaitu:
Perspektif siklus hidup pada program MBG. Berbagai kajian menunjukkan bahwa intervensi gizi terhadap anak perlu dilakukan sejak masa kehamilan. Sehingga, kualitas asupan gizi ibu memiliki dampak langsung terhadap perkembangan janin.
Periode ini sering disebut sebagai windows of opportunity atau jendela kesempatan. Dari masa konsepsi hingga berusia enam tahun, merupakan fase kritis dalam menentukan perkembangan anak.
Karenanya program MBG tidak hanya relevan untuk anak sekolah, tetapi perlu diperkuat dengan kebijakan yang memastikan pemenuhan gizi bagi ibu hamil, menyusui, serta anak usia 0–2 tahun.
Pendekatan ini akan memberikan landasan yang lebih kokoh untuk mencegah stunting, meningkatkan kapasitas belajar, dan memperbaiki kualitas kesehatan sejak dini.
Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan fondasi esensial bagi perkembangan jangka panjang mereka. Pada fase ini, kualitas gizi memiliki korelasi kuat dengan kemampuan kognitif, sosial-emosional, dan kesiapan sekolah.
Oleh karena itu, memperkuat MBG untuk kelompok usia dini melalui integrasi layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak akan memastikan bahwa intervensi gizi tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ekosistem pengasuhan yang holistik, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Membangun ekosistem sekolah: Optimalisasi kantin dan UKS/UKGS sebagai kunci. Salah satu langkah strategis untuk memperkuat implementasi MBG adalah mengoptimalkan kantin sekolah sebagai pusat ekosistem pangan sehat.
Kantin tidak hanya menjadi tempat berjualan, tetapi sebagai ruang edukasi gizi dan ruang interaksi peserta didik.
Optimalisasi kantin dan UKS/UKGS dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Pertama, sekolah perlu mengembangkan kantin yang memenuhi standar higiene dan sanitasi.
Banyak sekolah sudah memiliki kantin, tetapi belum terkelola dengan baik atau belum menerapkan standar keamanan pangan.
Penguatan kantin sekolah berarti menyediakan ruang yang memungkinkan makanan MBG diproduksi atau setidaknya dipanaskan, disimpan, dan dibagikan dengan aman karena tidak membutuhkan jeda lama antara waktu memasak dan waktu konsumsi.
Kedua, kantin sekolah dapat melibatkan UMKM lokal, koperasi sekolah, dan usaha kuliner rumahan yang sudah tersertifikasi.
Pola kemitraan seperti ini selain mendukung keberlanjutan program juga memberdayakan ekonomi lokal, terutama pelaku usaha perempuan dan orangtua siswa.
Ketiga, kantin dapat menjadi ruang untuk memperkenalkan literasi gizi. Anak-anak bisa belajar mengenali makanan sehat, memahami bahan pangan lokal, dan mempraktikkan kebiasaan makan yang lebih baik.
Dengan demikian, MBG tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga membentuk pola makan jangka panjang.
Sementara itu, keberadaan UKS/UKSG juga dapat memperkuat program MBG dengan memastikan edukasi gizi, pemantauan kesehatan anak, serta kolaborasi dengan guru dan orangtua.
Melalui UKS/UKSG, sekolah melalui koordinasi dengan SPPG, dapat mengawasi kebersihan, keamanan makanan, dan membangun budaya makan sehat sehingga efektivitas MBG semakin optimal dan berkelanjutan.
Namun, fasilitas sekolah di Indonesia sangat beragam. Ada sekolah yang memiliki kantin terstandar, dapur bersih, serta akses air memadai; tetapi di sisi lain banyak sekolah dasar dan menengah di berbagai daerah bahkan tidak memiliki toilet yang layak atau sarana cuci tangan sederhana.
Ketimpangan fasilitas ini penting diperhitungkan untuk memastikan bahwa karena pemberian makanan bergizi bukan sekadar persoalan distribusi, tetapi juga keamanan pangan. Di sinilah peran penting SPPG.
SPPG dapat melakukan pemilihan sekolah yang dianggap siap untuk mengelola MBG secara mandiri.
Hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Saat ini, beberapa pesantren pun diberikan tanggung jawab mengelola MBG dan mereka terbukti dapat menjalankannya.
Pada saat yang sama, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini sedang melakukan revitalisasi satuan pendidikan.
Program revitalisasi ini dapat mengikutsertakan perbaikan kantin dan dapur sekolah sehingga sekolah dapat mengelola program MBG ini.
Pengembangangan mekanisme pendanaan untuk MBG
Untuk mewujudkan penguatan ekosistem sekolah tersebut, aspek pembiayaan sangat penting. Dana BOS yang selama ini menjadi andalan sekolah tidak akan mampu menanggung kebutuhan baru MBG jika tidak ada penambahan anggaran khusus.
Selama ini BOS cenderung habis untuk operasional dasar: kebutuhan pembelajaran, pemeliharaan fasilitas, dan berbagai kegiatan wajib lainnya.
Memasukkan komponen MBG ke dalam BOS berarti pemerintah harus menambah besarannya agar sekolah tidak harus “mengorbankan” kebutuhan lain.
Penambahan komponen MBG dalam BOS akan memberi ruang bagi sekolah untuk membangun atau memperbaiki fasilitas kantin, membeli peralatan dapur sederhana, memperkuat sanitasi, atau bahkan mempekerjakan tenaga tambahan yang dapat mendukung operasional distribusi makanan.
Tanpa dukungan finansial yang memadai, implementasi MBG akan timpang dan berpotensi membebani sekolah secara tidak proporsional.
Selain dana BOS, pembiayaan juga dapat diarahkan pada penguatan kapasitas anggaran pemerintah daerah melalui APBD.
Undang-undang Otonomi Daerah memberikan amanah bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan tugas pemerintah daerah. Karenanya anggaran pemerintah daerah harus juga ditujukan bagi penguatan implementasi MBG ini.
Program Makan Bergizi Gratis dan SPPG memiliki potensi besar untuk memperkuat kualitas pendidikan dan kesehatan peserta didik di Indonesia.
Namun, potensi tersebut hanya dapat terwujud jika kebijakan ini diimplementasikan dengan kehati-hatian, berbasis bukti ilmiah, serta sensitif terhadap kondisi nyata sekolah dan layanan pendukung lain.
Misal, posyandu yang akan menjangkau Ibu hamil, menyusui, dan anak usia dini yang belum berada dalam layanan Pendidikan.
Tulisan ini adalah upaya mendorong bahwa kebijakan publik benar-benar bermanfaat. Penguatan kantin sekolah, harmonisasi SPPG dengan UKS, penyusunan menu berbasis usia dan budaya lokal, serta peningkatan anggaran BOS adalah langkah konkret yang dapat memastikan program ini berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.
Membangun program makan bergizi berarti membangun ekosistem sekolah yang sehat, produktif, dan layak bagi setiap peserta didik.
Jika kebijakan ini dirancang dan dijalankan dengan cermat, program MBG dapat menjadi tonggak penting menuju Indonesia yang lebih sehat dan lebih cerdas.
Namun tanpa langkah-langkah penguatan tersebut, program ini berisiko menjadi beban baru dan kehilangan tujuan utamanya: memastikan bahwa setiap sasaran program MBG mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Tag: #makan #bergizi #gratis #menimbang #ulang #arah #kebijakan #pemenuhan #gizi