Parpol Resisten dengan Putusan MK, Pakar: Mungkin Kenyamanan Diacak-acak
Suasana sidang uji materi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (23/6/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari pihak DPR dan Presiden. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
16:44
1 Juli 2025

Parpol Resisten dengan Putusan MK, Pakar: Mungkin Kenyamanan Diacak-acak

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.

Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.

"Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK," ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.

Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.

 "Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," kata Bivitri.

Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.

MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi dari sembilan hakim MK.

"Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta," kata Bivitri.

Diketahui, sejumlah partai politik menunjukkan sikap resisten terhadap putusan MK memisakan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.

Salah satunya adalah Partai Nasdem yang menilai MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah karena memutuskan pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

Menurut Nasdem, pengaturan tersebut semestinya bersifat open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.

 

"MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah)," kata anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, di kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

Rerie, sapaan akrabnya, juga menilai putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

“Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” kata Rerie.

“Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar dia melanjutkan.

Selain Nasdem, PKB dan Golkar juga tampak tidak sepenuhnya mendukung putusan MK tersebut.

Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal, misalnya, menyindir MK telah melanggar konstitusi dengan memutus pemisahan pemilu nasional dan lokal.

“Bahwa putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan di kita lima tahun sekali. Ya tinggal kembalikan, nanti publik kan bisa memahami. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir khawatir putusan MK memisahkan pemilu nasional dan lokal dapat mengambat pelaksanaan program pemerintah.

Menurut Adies, dengan sistem pemilu serentak yang telah dijalankan saat ini saja, pelaksanaan program presiden belum sepenuhnya berjalan merata di seluruh wilayah Indonesia.

“Kita lihat saat ini, keserentakan ini, program-program presiden aja kan dalam waktu hampir satu tahun pertama ini kan masih susah untuk diterapkan juga di provinsi dan Kabupaten-Kota, apalagi yang agak jauh dari Jakarta,” ujar Adies.

Tag:  #parpol #resisten #dengan #putusan #pakar #mungkin #kenyamanan #diacak #acak

KOMENTAR