



Bawa Boneka Babi, Aktivis Desak Fadli Zon Minta Maaf Usai Sangkal Tragedi Perkosaan Mei 98
Patung boneka berkepala babi, mengenakan jas necis lengkap dengan dasi, menjadi simbol perlawanan yang dibawa koalisi masyarakat sipil saat menggeruduk kantor Kementerian Kebudayaan di Senayan, Jakarta.
Aksi teatrikal ini adalah puncak kemarahan mereka terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang dinilai telah mengingkari salah satu lembar terkelam dalam sejarah Indonesia: fakta pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998.
Koalisi menuntut Fadli Zon untuk segera menarik ucapannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban dan keluarga.
Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, menegaskan bahwa sebagai seorang pejabat publik, Fadli Zon tidak seharusnya berbicara tanpa landasan fakta, apalagi menyangkut luka sejarah yang begitu dalam.
Menurut Andrie, fakta tindak pemerkosaan massal pada Mei 1998 bukanlah isapan jempol, melainkan temuan resmi yang tercatat dalam dokumen Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dokumen tersebut, yang dibentuk dan hasilnya ditandatangani langsung oleh Presiden B.J. Habibie, seharusnya menjadi rujukan utama setiap pejabat negara.
“TGPF merupakan dokumen resmi, seharusnya menjadi rujukan ketika Fadli Zon memberikan tanggapan,” kata Andrie kepada Suara.com, Kamis (26/6/2025).
“Kami menuntut dan meminta Fadli Zon untuk meminta maaf kepada para korban dan para pendamping," sambungnya.
Lebih dari sekadar permintaan maaf, koalisi juga menuntut komitmen nyata dari sang menteri untuk terlibat aktif dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bukan justru mengingkarinya.
“Fadli Zon juga harus berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” ucap Andrie.
Aksi di depan Kementerian Kebudayaan ini, menurut Andrie, bukanlah reaksi tunggal. Ini adalah akumulasi dari serangkaian kebijakan dan wacana pemerintah yang dianggap berusaha memutarbalikkan sejarah dan mengabaikan keadilan bagi para korban.
“Dari tiga rentetan ini, kami melakukan aksi dengan maksud untuk mengingatkan kepada negara untuk tidak gegabah untuk memberikan statemen-statemen terutama yang berkaitan dengan pelanggaran berat HAM,” kata Andrie.
Tiga rentetan yang dimaksud adalah wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto, proyek kontroversial penulisan ulang sejarah, dan puncaknya adalah pernyataan Fadli Zon.
Sebagai bukti perlawanan terhadap amnesia sejarah, koalisi membawa serta sebuah dokumen setebal hampir 2.000 halaman. Dokumen ini berisi kompilasi fakta-fakta kelam dan bukti pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun era kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto.
“Kami datang ke sini membawa bukti dokumentasi yang harapannya dibaca dan dipertimbangkan oleh kementerian kebudaan, baik dalam kontek menulis sejarah ulang, termasuk juga memberikan gelar pahlawan untuk Soeharto,” katanya.
“Karena dokumen yang setebal hampir 2000 lembar, itu memuat falta kelam terkait peristiwa selama orde baru. Sepanjang 32 tahun (Soeharto) berkuasa," tambahnya.
Koalisi berharap dokumen tersebut tidak hanya diterima secara seremonial, tetapi benar-benar dibaca dan dijadikan pertimbangan utama. Mereka menuntut agar setiap upaya penulisan sejarah harus dilakukan secara jujur, objektif, dan berpihak pada korban.
Jika proyek ini hanya bertujuan untuk memuluskan jalan bagi Soeharto untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional, mereka menuntut agar proyek tersebut dibatalkan.
“Kalau kemudain sejarah tidak ditulis secara jujur, lebih baik dibatalkan,” tegas Andrie.
Bagi mereka, Soeharto tidak pantas menyandang gelar pahlawan. Terlalu banyak dosa masa lalu dan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa kepemimpinannya yang hingga kini belum terselesaikan dan pelakunya belum diadili.
“Kami menuntut agar pemberian Soeharto sebagai pahlawan itu dibatalkan, Soeharto tidak layak menyandang gelar pahlawan karena banyak menyandang kasus-kasus ham yang tidak diselesaikan hingga saat ini," tegasnya.
Tag: #bawa #boneka #babi #aktivis #desak #fadli #minta #maaf #usai #sangkal #tragedi #perkosaan