



DPR-Pemerintah Dinilai Serampangan Sebut Warga Sipil Tak Punya ''Legal Standing'' Gugat UU TNI
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, DPR dan pemerintah bersikap keliru dan serampangan dengan menyebut warga sipil tak punya kedudukan hukum untuk menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 atau UU TNI.
Peneliti Imparsial Riyadh Putuhena menyatakan, sikap DPR dan pemerintah yang mempertanyakan kedudukan hukum pemohon gugatan tersebut adalah bentuk pengingkaran terhadap semangat demokrasi dan partisipasi publik.
“DPR RI maupun Presiden keliru dan serampangan dengan menyatakan bahwa para pemohon yang merupakan warga negara tidak memiliki legal standing," kata Riyadh dalam keterangan pers, Selasa (24/6/2025).
Menurut Riyadh, posisi TNI sebagai alat pertahanan negara justru memperkuat argumen bahwa publik harus dilibatkan dalam setiap proses pembentukan regulasi yang mengatur TNI.
Ia mengingatkan, TNI adalah alat negara di bidang pertahanan yang tugas dan kewajibannya berkaitan dengan masyarakat luas, yakni menjaga integritas wilayah dan keselamatan masyarakat negara dari ancaman militer negara lain.
"(Ini) menjadi justifikasi keterlibatan masyarakat untuk melakukan koreksi atas pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan TNI itu sendiri," kata Riyadh.
Ia menekankan bahwa penolakan DPR dan Presiden terhadap legal standing warga sipil justru menunjukkan sikap anti-demokrasi dan bertentangan dengan prinsip meaningful participation yang menjadi roh dalam proses legislasi.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim Konstitusi juga telah memerintahkan DPR dan Presiden untuk menghadirkan seluruh dokumen dan bukti pembentukan Revisi UU TNI guna membuktikan apakah benar partisipasi publik telah dijalankan sebagaimana diklaim.
Hakim Konstitusi Saldi Isra, lanjut Riyadh, bahkan secara tegas mengatakan bahwa beban pembuktian justru ada di pihak pembentuk undang-undang.
Imparsial mendesak Mahkamah Konstitusi untuk segera mengeluarkan putusan sela terhadap Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 demi mencegah berlanjutnya kerugian konstitusional yang lebih luas.
Dalam permohonannya, koalisi meminta MK memerintahkan Pemerintah menunda keberlakuan UU TNI yang baru, sembari menunggu putusan akhir.
Riyadh mengingatkan bahwa proses legislasi yang menutup ruang partisipasi publik sejatinya bertentangan dengan semangat reformasi dan negara hukum demokratis.
"Dengan cara pandang yang demikian, DPR RI dan Presiden justru semakin menunjukkan anti-demokrasi karena mereduksi salah satu esensi penting dalam demokrasi, yaitu partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), termasuk di dalamnya terkait pembentukan peraturan perundang-undangan," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan anggota DPR RI Utut Adianto menilai bahwa gugatan terhadap revisi UU TNI tidak sah karena pemohon dianggap tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum.
Alasannya, mayoritas penggugat adalah warga sipil seperti mahasiswa, pekerja swasta, dan ibu rumah tangga, yang dinilai tidak terdampak langsung oleh aturan.
"Karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit TNI, ataupun pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan," ujar Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, Senin (23/6/2025).
Gugatan diajukan karena revisi UU TNI dinilai minim partisipasi publik dan memperluas peran militer di ranah sipil.
DPR meminta MK menolak seluruh permohonan dan menyatakan pembentukan UU sudah sesuai konstitusi.
Tag: #pemerintah #dinilai #serampangan #sebut #warga #sipil #punya #legal #standing #gugat