



Kenaikan Gaji Hakim: Solusi Permukaan Tak Menyentuh Inti Masalah
PRESIDEN Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen, langkah yang diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan menekan praktik korupsi berbasis kebutuhan ekonomi atau yang dikenal sebagai corruption by need.
Pengumuman ini disampaikan langsung Presiden Prabowo Subianto pada acara pengukuhan calon hakim di Mahkamah Agung, Jakarta, pada 12 Juni 2025.
Kenaikan gaji tertinggi diberikan kepada hakim junior, dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama bagi yang bertugas di daerah terpencil dengan biaya hidup tinggi.
Namun, benarkah kenaikan gaji adalah solusi utama untuk membersihkan dunia peradilan dari korupsi?
Penulis berpendapat, daripada hanya fokus pada kenaikan gaji, pemerintah harus lebih mengutamakan peningkatan integritas hakim sebagai langkah yang jauh lebih esensial.
Kenaikan gaji 280 persen adalah solusi parsial yang tak pernah menyelesaikan akar masalah. Langkah Presiden Prabowo menaikkan gaji hakim memang terlihat sebagai bentuk perhatian terhadap kesejahteraan mereka.
Kita juga mengetahui bahwa keterbatasan finansial sering menjadi alasan hakim tergoda menerima suap atau gratifikasi, terutama bagi mereka yang bertugas di wilayah terpencil dengan biaya hidup tinggi.
Dengan kenaikan gaji, terutama untuk hakim junior yang mencapai 280 persen, diharapkan tekanan ekonomi dapat berkurang, sehingga mereka tidak lagi terjebak dalam putaran corruption by need.
Logika ini memang masuk akal secara teori: jika kebutuhan dasar terpenuhi, dorongan untuk korupsi karena desakan ekonomi akan berkurang.
Jika kita merujuk pada Teori GONE yang dikembangkan oleh Jack Bologna, ada sejumlah faktor penyebab korupsi.
Akronim GONE merujuk pada Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (keterpaparan atau risiko tertangkap).
Teori ini menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena kombinasi faktor internal dan eksternal yang mendorong individu untuk bertindak curang.
Teori GONE menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya soal kebutuhan finansial, tetapi juga dipengaruhi keserakahan, peluang, dan rendahnya risiko tertangkap.
Kenaikan gaji hakim hanya mengatasi faktor Need, sementara Greed, Opportunity, dan Exposure memerlukan reformasi sistemik, pengawasan ketat, dan pembinaan integritas.
Tanpa langkah ini, kenaikan gaji tidak akan cukup untuk menciptakan peradilan yang bersih dan berintegritas.
Gaji tidak berkorelasi pada penurunan korupsi
Penghitungan emas Zarof Ricar (Dok Kejagung)Data dan realitas di lapangan menunjukkan bahwa kenaikan gaji tidak selalu berkorelasi dengan penurunan korupsi.
Kita harus menelan pil pahit dan mengakui bahwa kenaikan gaji tidak akan efektif untuk mencegah corruption by greed, yaitu korupsi yang didorong oleh keserakahan.
Sejumlah kasus suap yang melibatkan hakim senior, bahkan hakim agung, menjadi bukti nyata bahwa masalah integritas tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah penghasilan.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan puluhan hakim menerima suap dengan nilai mencapai miliaran rupiah.
Dari pemantauan ICW sejak 2011 hingga 2024, sedikitnya 29 hakim ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk 'mengatur' hasil putusan. Nilai suap mencapai Rp 107,9 miliar
Hakim-hakim ini, yang sudah memiliki gaji cukup besar, tetap saja tergiur dengan suap. Ini menunjukkan bahwa akar masalah korupsi di kalangan hakim bukan semata-mata soal kesejahteraan finansial, melainkan soal moral, integritas, dan sistem pengawasan yang lemah.
Jika kita berbicara tentang perbaikan dunia peradilan, integritas hakim adalah fondasi yang harus menjadi prioritas. Hakim adalah penegak keadilan, pilar utama dalam menjaga supremasi hukum.
Ketika integritas mereka rapuh, kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan akan runtuh. Kenaikan gaji, meskipun penting, hanyalah solusi permukaan yang tidak menyentuh inti permasalahan.
Seorang hakim yang tidak memiliki integritas tinggi, meskipun digaji berapapun besar nominalnya, tetap berpotensi melakukan penyimpangan.
Sebaliknya, hakim yang berintegritas akan tetap menjalankan tugasnya dengan jujur meskipun gajinya belum ideal.
Integritas bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Ini adalah nilai yang dibangun melalui seleksi ketat, pendidikan moral berkelanjutan, dan pengawasan yang efektif.
Sayangnya, sistem rekrutmen dan manajemen sumber daya manusia di lembaga peradilan Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak hakim yang naik jabatan bukan karena kompetensi atau integritas, melainkan karena koneksi atau faktor lain di luar meritokrasi.
Zaenur Rohman dari Pukat UGM menyarankan reformasi sistem manajemen sumber daya manusia di lembaga peradilan, agar hanya hakim-hakim berintegritas yang menduduki posisi strategis.
Penulis sangat setuju dengan saran ini. Tanpa reformasi sistem, kenaikan gaji hanya akan menjadi pemborosan anggaran negara tanpa hasil yang signifikan.
Apa urgensi Kenaikan Gaji Hakim?
Kenaikan gaji hakim hingga 280 persen juga memunculkan pertanyaan besar tentang prioritas pemerintah.
Di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil dan banyak sektor lain yang membutuhkan perhatian mendesak, apakah kenaikan gaji hakim adalah langkah yang paling urgen?
Sebagai perbandingan, kesejahteraan guru, tenaga honorer, dan tenaga kesehatan (nakes) di daerah terpencil jauh lebih memprihatinkan.
Mereka adalah tulang punggung pembangunan sumber daya manusia dan kesehatan masyarakat, namun sering kali bekerja dengan gaji yang jauh dari layak.
Gaji guru honorer di daerah perbatasan Indonesia, seperti Nunukan, berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 1.500.000 per bulan, sering kali di bawah Rp 500.000 karena keterbatasan dana BOS dan jumlah siswa yang sedikit.
Berdasarkan PMK No. 83/2022, honorarium per jam pelajaran Rp 200.000–Rp 300.000, tetapi pembayaran tidak konsisten.
Survei IDEAS (2024) menunjukkan 74,3 persen guru honorer berpenghasilan di bawah Rp 2 juta, dengan 20,5 persen di bawah Rp 500.000.
Dana BOS (Permendikbud No. 19/2020 dan No. 63/2023) dan APBD menjadi sumber utama gaji, tapi sering tidak mencapai UMR karena hubungan kerja dengan yayasan tidak terikat UU No. 13/2003.
Selain itu, guru honorer menghadapi tantangan seperti keterlambatan pembayaran hingga tiga bulan dan minimnya infrastruktur sekolah, memaksa mereka menyambi pekerjaan lain.
Kebijakan 2025 menjanjikan tunjangan Rp 2 juta untuk guru bersertifikasi melalui PPG, tetapi implementasi di perbatasan bergantung pada anggaran.
Sementara itu, gaji nakes honorer di daerah perbatasan, seperti bidan atau perawat, berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 2.000.000 per bulan, sering di bawah Rp 1 juta di wilayah seperti Nunukan atau Maluku karena keterbatasan APBD.
Berbeda dengan nakes PNS/PPPK yang menerima Rp 2,3 juta–Rp 5 juta (PP No. 5/2024) plus tunjangan, nakes honorer jarang mendapat insentif serupa.
UU ASN 2024 mendorong pengalihan ke PPPK, tetapi implementasi di perbatasan lagi-lagi terhambat pada anggaran.
Rendahnya gaji ini, kontras dengan kenaikan gaji hakim 280 persen pada 2025, berpotensi memicu penyimpangan seperti pungli, meskipun skala dampaknya berbeda.
Jika alasan pemerintah menaikkan gaji hakim adalah untuk mencegah korupsi akibat tekanan ekonomi, bukankah guru dan nakes juga berpotensi menghadapi tekanan serupa?
Mengapa pemerintah tidak memprioritaskan kesejahteraan mereka yang dampaknya lebih langsung dirasakan masyarakat luas?
Guru yang sejahtera akan menghasilkan generasi yang lebih berkualitas. Nakes yang diperhatikan akan meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat.
Sementara itu, kenaikan gaji hakim, meskipun berdampak pada perbaikan peradilan, tidak memiliki efek langsung yang dirasakan oleh rakyat kebanyakan, terutama jika integritas hakim tetap menjadi masalah.
Korupsi bukan hanya soal uang
Mari kita refleksikan lebih dalam. Korupsi, baik yang didorong oleh kebutuhan (need) maupun keserakahan (greed), pada dasarnya adalah cerminan dari kegagalan sistem dan rendahnya nilai moral dan integritas.
Kenaikan gaji mungkin bisa mengatasi sebagian kecil masalah, yaitu korupsi akibat desakan ekonomi. Namun, untuk korupsi yang berbasis keserakahan, solusinya bukan pada angka di slip gaji, melainkan pada pembinaan karakter, penguatan pengawasan, dan pemberian sanksi tegas.
Menurut penulis, kenaikan gaji bukanlah solusi tepat yang akan menyelesaikan semua masalah korupsi. Masih dibutuhkan langkah-langkah lain, seperti penguatan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi perilaku hakim dan penerapan hukuman yang membuat jera pelaku korupsi.
Saya juga berpikir bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mendorong integritas hakim. Kepercayaan publik terhadap peradilan hanya akan pulih jika hakim-hakim menunjukkan komitmen nyata untuk menegakkan keadilan tanpa pamrih.
Sebaliknya, jika kenaikan gaji ini justru membuat hakim merasa “berhak” atas penghasilan besar tanpa diimbangi dengan peningkatan kinerja dan integritas, maka langkah ini justru akan menjadi bumerang.
Masyarakat bisa menjadi lebih sinis terhadap sistem peradilan, menganggap hakim hanya “dibeli” dengan gaji tinggi tanpa ada perubahan substansial.
Daripada hanya menaikkan gaji, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki sistem peradilan secara menyeluruh.
Pertama, lakukan reformasi rekrutmen hakim dengan standar integritas yang ketat. Proses seleksi harus transparan dan melibatkan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa hanya individu yang benar-benar berkomitmen pada keadilan yang lolos.
Kedua, perkuat pengawasan internal dan eksternal terhadap hakim. Komisi Yudisial harus diberi kewenangan lebih besar untuk menyelidiki dan memberikan sanksi, termasuk pemberhentian, kepada hakim yang melanggar kode etik.
Ketiga, berikan pelatihan berkelanjutan kepada hakim, tidak hanya soal hukum, tetapi juga soal etika dan moral. Pendidikan ini harus menjadi bagian integral dari karier mereka, bukan sekadar formalitas.
Terakhir, libatkan masyarakat dalam proses pengawasan melalui mekanisme pelaporan yang mudah dan aman. Dengan demikian, hakim akan merasa terus diawasi, bukan hanya oleh atasan, tetapi juga oleh rakyat yang menjadi pengguna jasa peradilan.
Pada akhirnya, kenaikan gaji hakim hingga 280 persen, mungkin dapat meningkatkan kesejahteraan hakim, tetapi tidak cukup untuk memberantas korupsi di peradilan.
Pemerintah perlu memprioritaskan integritas melalui seleksi hakim yang transparan, penguatan Komisi Yudisial, dan digitalisasi putusan pengadilan untuk meningkatkan pengawasan.
Anggaran juga harus dialokasikan secara bijak, termasuk untuk kesejahteraan guru dan tenaga kesehatan, yang dampaknya lebih langsung bagi masyarakat.
Keadilan sejati bergantung pada komitmen hakim menegakkan hukum dengan integritas, bukan hanya besarnya gaji.
Jika memang tujuannya adalah mencegah korupsi dan meningkatkan pelayanan publik, maka perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya pada satu sektor.
Mari kita dorong pemerintah untuk tidak hanya berhenti pada kenaikan gaji, tetapi juga membangun sistem peradilan yang benar-benar bersih dan berintegritas.
Karena keadilan bukanlah soal seberapa besar gaji hakim, melainkan seberapa besar komitmen mereka untuk menegakkan hukum dengan hati nurani tanpa bisa dibeli.
Tag: #kenaikan #gaji #hakim #solusi #permukaan #menyentuh #inti #masalah