



RUU Pemilu Dibahas Tahun Depan, Megawati Singgung Pembeli Kekuasaan
- Komisi II DPR rencananya akan memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2026.
Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menjelaskan, pengembangan terkait poin-poin yang akan direvisi dalam UU Pemilu sudah dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan diskusi.
"Kalau rancangan timeline yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, InsyaAllah di tahun 2026 itu sudah mulai dilakukan (revisi UU Pemilu)," ujar Khozin di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Ia sendiri mencatat dua klaster dalam revisi UU Pemilu, yakni klaster teknis dan klaster politis.
Klaster teknis adalah pembahasan terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, hingga ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
"(Klaster politis) Sudah banyak dikupas bagaimana sistem yang ideal di tengah kerangka teoretis dan fenomena empiris di lapangan," ujar Khozin.
Dikritik Megawati
Tak lama setelah pernyataan Khozin, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri angkat bicara ihwal rencana pembahasan revisi UU Pemilu oleh Komisi II.
Megawati mengingatkan, pemilu yang dijalankan di Indonesia selama ini bukan untuk mencari sosok yang ingin membeli kekuasaan.
"Ini mau berubah pula Undang-Undang Pemilu, saya belum tahu, tapi please loh. Niatnya negara untuk melakukan pemilu itu bukan untuk mencari seseorang akhirnya membeli kekuasaan," ujar Megawati dalam acara Trisakti Tourism Award 2025, Kamis (8/5/2025).
Megawati berpandangan, banyak pihak yang saat ini hanya ingin memenangkan pemilu demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan pribadi.
"Pada saat sekarang, orang hanya berpikir seperti itu. Saya lihatin saja. Padahal apa, datangnya uang itu terus dari mana ya," ujar Megawati.
Hapus Presidential Threshold
Salah satu poin revisi UU Pemilu diyakini adalah terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu, pada Kamis (2/1/2025).
Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
Terutama partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan," imbuh Saldi.
MK pun memberi lima poin pedoman rekayasa konstitusional atau constitutional engineering, menyusul dihapusnya ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu.
Lima poin tersebut dapat menjadi pedoman pembentuk undang-undang, dalam merevisi UU Pemilu. Berikut lima poin pedoman dari MK dalam merevisi UU Pemilu:
- Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Pengusulan pasangan capres-cawapres oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
- Dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi, sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon serta terbatasnya pilihan pemilih.
- Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan capres-cawapres dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
- Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk revisi UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Tag: #pemilu #dibahas #tahun #depan #megawati #singgung #pembeli #kekuasaan