Psikopat Jadi Polisi, Mengapa Tidak?
Pj Gubernur Gorontalo Rudy Salahuddin saat menyiram peserta pendidikan polisi pada upacara Pendidikan Bintara Polri gelombang II tahun 2024 Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Gorontalo.(DOK. DINAS KOMINFO PROV. GORONTALO/NOVA)
06:04
10 Februari 2025

Psikopat Jadi Polisi, Mengapa Tidak?

ADA urat leher yang menegang dan wajah memerah udang di ruang rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, pada 6 Februari 2025 lalu.

Pokok perdebatan hari itu adalah ihwal seorang siswa Sekolah Polisi Negara (SPN) bernama Valyano Boni Raphael yang dikeluarkan dari tempat ia menyandarkan cita-citanya itu.

Tulisan ini tidak menyoroti kemungkinan adanya keterangan palsu (false confession) maupun keterangan sebenarnya (true confession).

Juga tidak merambah ke spekulasi tentang perilaku berpura-pura sakit (malingering) maupun berlagak sehat (dissimulation).

Catatan kecil ini sebatas memberikan perspektif tentang serba-serbi seputar psikopati (pengidapnya disebut ‘psikopat’).

Orangtua Raphael mengatakan, SPN menyimpulkan anaknya adalah seorang psikopat. Pihak SPN menyangkal perkataan orangtua Raphael tersebut, tapi membenarkan telah mencantumkan narcissistic personality disorder (NPD) sebagai kondisi mantan siswanya itu.

Terlepas dari silang sengketa antara klaim orangtua Raphael dan SPN, samar-samar ada kesamaan pandangan antara kedua pihak tersebut: psikopati adalah buruk dan terlarang bagi psikopat untuk menjadi personel polisi.

Pihak SPN dalam rapat tersebut tidak menjelaskan secara meyakinkan perbedaan antara NPD dan narsisme (narcissism).

Itulah kelemahan yang kemudian menjadi dasar bagi anggota Komisi III, Ahmad Sahroni, untuk menyebut SPN bermain-main dengan asumsi belaka.

SPN sepatutnya menjelaskan secara memadai metode yang diterapkan untuk sampai pada kesimpulan bahwa Raphael merupakan seorang siswa dengan gangguan kepribadian narsistik.

Tidak memadainya penjelasan itu, pada gilirannya, memunculkan kesan adanya kerancuan antara narsisme dan NPD.

Narsisme adalah kondisi kepribadian sebagaimana umumnya. Setiap orang hingga derajat tertentu secara insidental bisa saja memperlihatkan tanduk-tanduk narsis.

Sedangkan NPD merupakan kondisi abnormal yang rincian gejalanya dimuat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Kendati tidak dapat sepenuhnya disembuhkan, NPD dapat dikelola dengan terapi dan pengobatan.

Masuk akal jika SPN (Polri) memilih mengeluarkan siswanya yang didiagnosis mengidap NPD.

Pasalnya, menurut Moran (2017), personel polisi dengan NPD berisiko melakukan pelanggaran etik dan hukum.

Walau demikian, secara faktual, tidak setiap personel yang melakukan penyimpangan pasti dilatarbelakangi oleh kondisi NPD.

Juga, tidak serta-merta polisi yang mengidap NPD pasti melakukan pelanggaran etik maupun hukum. Tetap harus ada faktor situasi yang memungkinkan bagi terjadinya pelanggaran tersebut.

Terlepas dari itu, di masa ketika Polri menghadapi krisis kepercayaan masyarakat, sikap sangat hati-hati dalam menyeleksi dan merekrut serta mendidik personel Tribrata jelas memiliki pembenaran guna meminimalkan risiko kian merosotnya dukungan publik.

Personel polisi yang didiagnosis NPD juga dapat mendatangkan persoalan tersendiri ke dalam institusi.

Sebagai organisasi kepangkatan yang memfungsikan kewenangan dalam kerjanya, personel dengan kondisi NPD dikhawatirkan dapat memperlakukan bawahannya secara semena-mena. Ia juga bisa menyalahgunakan kekuasaannya dengan memanfaatkan tangan anak buah.

Kendati demikian, tidak pula dapat dikunci bahwa setiap petinggi kepolisian yang memanipulasi anggotanya untuk tujuan jahat niscaya merupakan individu ber-NPD.

Alih-alih faktor internal individu, faktor lingkungan niscaya turut, bahkan lebih dominan memengaruhi perilaku anggota organisasi kepolisian.

Apalagi, sudah menjadi persepsi umum, institusi kepolisian—sebagai lembaga yang memegang power—secara kodrati sangat dekat dengan serbaneka penyimpangan.

Sehingga, tanpa harus memiliki anggota ber-NPD sekali pun, lembaga penegakan hukum ini memang harus dipagari dengan kode etik dan berbagai pranata lainnya guna mempersempit peluang terjadinya penyimpangan itu.

Sampai di situ, beralasan bagi Polri untuk tidak berimajinasi secara berlebihan tentang orang-orang ber-NPD yang menjadi anggota korps Tribrata.

Yang lebih penting untuk Polri risaukan, terlebih pada waktu-waktu belakangan ini, adalah bagaimana situasi organisasi sendiri justru jauh lebih kuat pengaruhnya bagi menjelmanya orang-orang baik menjadi sosok narsistik begitu bergabung ke dalam Polri.

Masuk ke dalam institusi tidak melipatgandakan energi kesolehan sosial para warga tersebut untuk menjadi agen perubahan, melainkan justru mendemoralisasi mereka sehingga menjadi agen kerusakan.

Psikopati

Sorotan serupa berlaku pula terkait psikopati. Psikopati, jika ciri-cirinya dicermati rinci, tidak dapat dipukul rata sebagai tabiat yang mutlak pasti kontraproduktif bagi siapa pun yang ingin menjadi personel polisi.

Sifat-sifat, semisal, pengendalian emosi yang rendah, agresi, dan impulsivitas memang dapat berdampak buruk terhadap kinerja personel (Pogarsky dan Piquero, 2004).

Namun, pada sisi lain, respons emosional yang datar, tingkat stres yang rendah, dan sifat tidak kenal takut justru bisa menopang kerja polisi (Schaible dan Gecas, 2010).

Dua sisi kepribadian yang kontras itu bisa terdapat pada satu individu yang sama. Keduanya menjadi sasaran program pendidikan polisi.

Intinya, lembaga kepolisian perlu mengoptimalkan sifat-sifat positif seraya membangun keterampilan para anggotanya agar mampu mengelola sifat-sifat negatif yang ada.

Pada titik itu, Polri tidak usah waswas secara berlebihan jika kedapatan ada personel yang dinilai sebagai psikopat.

Tinggal lagi seberapa tinggi kepercayaan diri lembaga pendidikan Polri dalam merancang program pembinaan sumber daya manusia yang andal untuk menggembleng para kadetnya menjadi insan-insan profesional dan berintegritas.

Realistis

Catatan ini ditutup dengan ajakan untuk menginsafi kelemahan tes psikologi (dan semacamnya).

Mazhab kedua psikologi, yakni Kognitif Perilaku, menantang klaim tes psikologi termasuk jenis-jenis tes yang disebut-sebut memiliki reliabilitas tinggi.

Pokoknya, faktor situasi atau faktor eksternal atau faktor lingkungan harus diyakini sebagai sebab-musabab yang lebih vital bagi lurus bengkoknya personel Tribrata.

Ini sekaligus penjelasan atas segala “kebingungan” tentang ‘bagaimana orang yang awalnya diidentifikasi mempunyai pembawaan bagus ternyata beralih rupa sebagai anggota polisi yang toksik di dalam lembaga dan destruktif di tengah masyarakat’.

Seluruh warga negara yang berhasrat menjadi insan kepolisian harus tergolong sebagai orang-orang yang beritikad baik.

Demikian pula keberadaan Polri; tidak bisa ditawar-tawar, harus mampu meyakinkan publik bahwa institusi ini merupakan organisasi yang baik dan menyuburkan kebaikan orang-orang itu.

Tag:  #psikopat #jadi #polisi #mengapa #tidak

KOMENTAR