Pengamat Hukum Hardjuno Wiwoho Sebut Petugas Perbatasan Harus Dapat Penghargaan, Kasus Marimutu Sinivasan Butuh Reformasi Hukum BLBI
Pengamat hukum yang juga Pegiat Anti Korupsi Hardjuno Wiwoho. (Istimewa)
22:32
10 September 2024

Pengamat Hukum Hardjuno Wiwoho Sebut Petugas Perbatasan Harus Dapat Penghargaan, Kasus Marimutu Sinivasan Butuh Reformasi Hukum BLBI

–Pengamat hukum yang juga Pegiat Anti Korupsi Hardjuno Wiwoho memberikan apresiasi tinggi kepada petugas perbatasan di PLBN Entikong. Mereka menggagalkan upaya Marimutu Sinivasan meninggalkan wilayah Indonesia menuju Malaysia.

Bos Texmaco Grup yang juga obligor BLBI itu dicegah ke luar negeri karena memiliki utang besar kepada negara. Kinerja petugas perbatasan patut diapresiasi, negara harus memberi penghargaan besar. Mereka telah menjalankan tugas dengan baik dalam mencegah Marimutu Sinivasan, seorang obligor BLBI, melanggar pencegahan yang diterapkan Satgas BLBI.

”Ini adalah bentuk upaya nyata dalam menjaga kedaulatan hukum dan memastikan pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap negara tetap berada dalam pengawasan,” ujar Hardjuno.

Namun, menurut Hardjuno, Marimutu Sinivasan dan kasus-kasus besar lain yang terkait dengan BLBI hanya dimintai pertanggungjawaban secara perdata dan bukan pidana. Padahal nilai kerugian negara yang ditanggungnya mencapai Rp 29 triliun.

”Kasus ini cermin adanya ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia. Kita melihat bahwa obligor dengan kewajiban sebesar Rp 29 triliun hanya dihadapkan pada kasus perdata, sementara pelaku pencurian kecil atau kesalahan perpajakan yang nilainya jauh lebih kecil bisa langsung dijatuhi hukuman pidana,” tegas Hardjuno Wiwoho.

Hardjuno yang juga mantan Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI menilai, perlakuan itu tidak seimbang jika dibandingkan dengan kasus-kasus pidana yang melibatkan kerugian negara jauh lebih kecil. Ada ketidakadilan dalam perlakuan hukum yang harus segera ditangani.

Kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, secara text book, mungkin ada justifikasi hukum untuk memperlakukan kasus itu sebagai perdata. Terutama terkait dengan status utang Grup Texmaco yang dipimpin Marimutu. Namun, melihat besarnya dampak kerugian negara, perlu penerapan hukum progresif yang lebih tegas dalam kasus itu.

”Benar bahwa secara doktrin hukum, utang seperti yang dialami Marimutu dapat dianggap sebagai persoalan perdata. Namun, kita harus ingat bahwa BLBI bukan kasus biasa. Nilai utang yang melibatkan Rp 29 triliun tentu bukanlah jumlah yang bisa kita anggap remeh,” terang Hardjuno Wiwoho.

“Apalagi, upaya Marimutu untuk meninggalkan negara saat dicegah menunjukkan bahwa ada indikasi niat untuk menghindari kewajiban. Ini semestinya cukup untuk menerapkan pendekatan hukum yang lebih keras dan progresif demi rasa keadilan masyarakat,” tegas Hardjuno.

Hardjuno menyatakan, kasus itu mencerminkan perlunya reformasi hukum yang lebih luas, terutama dalam menangani kasus-kasus besar yang merugikan negara. Sistem hukum Indonesia perlu beradaptasi dan memperkuat perangkatnya untuk memastikan kasus-kasus besar seperti BLBI bisa ditangani dengan proporsional dan adil.

”Kasus Marimutu ini hanya puncak gunung es dari masalah yang lebih besar dalam sistem hukum kita. Negara sudah memberikan waktu dan kesempatan selama lebih dari dua dekade bagi para obligor untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Ada banyak obligor yang terus menunda penyelesaian utangnya tanpa konsekuensi hukum yang memadai,” ujar Hardjuno.

Menurut dia, ketidakmampuan sistem hukum untuk memberikan tindakan yang setimpal terhadap para obligor besar seperti ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

”Kita tidak bisa membiarkan obligor-obligor besar terus berlindung di balik status perdata sementara mereka memiliki kewajiban yang sangat besar terhadap negara. Ketidakmampuan untuk menegakkan keadilan secara proporsional akan menciptakan kesan bahwa hukum di negara ini hanya tegas terhadap mereka yang lemah, sementara para pelaku dengan pengaruh besar bisa lolos dengan mudah,” ujar Hardjuno.

Hardjuno mendesak adanya reformasi hukum yang lebih menyeluruh untuk memperbaiki situasi. Negara harus mengkaji ulang pendekatan perdata dalam kasus-kasus besar seperti BLBI, dan mulai mempertimbangkan langkah-langkah hukum yang lebih keras, termasuk menjatuhkan sanksi pidana bagi obligor yang terbukti berusaha menghindari tanggung jawab mereka.

”Dalam kasus BLBI, di mana kerugian negara begitu besar, hukum progresif harus diterapkan. Ini bukan hanya soal menagih utang, tetapi juga soal menjaga keadilan dan integritas sistem hukum kita. Negara tidak boleh membiarkan obligor-obligor besar yang merugikan rakyat bebas begitu saja,” ucap Hardjuno.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #pengamat #hukum #hardjuno #wiwoho #sebut #petugas #perbatasan #harus #dapat #penghargaan #kasus #marimutu #sinivasan #butuh #reformasi #hukum #blbi

KOMENTAR