Masalah Sampah Plastik Masih Kompleks, Urban Greenpeace Kritisi Jargon dengan Embel-embel 'Ramah Lingkungan'
Ilustrasi pengumpulan sampah plastik di wilayah pesisir pantai di Indonesia (Istimewa)
17:38
7 Pebruari 2024

Masalah Sampah Plastik Masih Kompleks, Urban Greenpeace Kritisi Jargon dengan Embel-embel 'Ramah Lingkungan'

 Masalah lingkungan akibat sampah plastik yang menggunung boleh dibilang masih cukup kompleks. Secara matematis, keberadaan beragam jenis sampah tersebut bertentangan dengan target 30 persen pengurangan sampah nasional di 2025.

Yang menyedihkan, sampah-sampah plastik sekali pakai yang banyak mengotori lingkungan kerap kali diberi embel-embel ramah lingkungan. Mengomentari itu, Juru Kampanye Urban Greenpeace, Muharram Atha Rasyadi dalam keterangan tertulisnya menyebutkan bahwa klaim plastik ramah lingkungan yang beredar di pasaran hanyalah lelucon dan jargon semata.

"Sebenarnya mereka hanya melakukan greenwashing artinya pencitraan bahwa mereka mengeluarkan produk ramah lingkungan,” kata Atha.

Dia menjelaskan, produsen plastik sekali pakai hanya membangun citra bahwa produk tersebut aman dan ramah lingkungan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah apakah produk tersebut benar-benar telah terserap ke industri daur ulang atau tidak.

Hal tersebut mendapat sorotan mengingat tingkat daur ulang plastik di Indonesia masih sangat rendah. Mengutip data Sustainable Waste Indonesia (SWI) mengungkapkan bahwa tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia baru menyentuh angka tujuh persen. Sedangkan 50 persen diantaranya tidak terkelola dan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Sedangkan Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) 2022 mendapat bahwa jumlah timbunan sampah nasional mencapai angka 21,1 juta ton. Angka itu berasal dari 202 kab/kota se Indonesia.

Dari total produksi sampah nasional tersebut, sebesar 13,9 juta ton atau 65.71 persen dapat terkelola. Sedangkan sisanya sebanyak 7,2 juta ton atau 34,29 persen belum terkelola dengan baik.



“Harus ada tanggung jawab dari produsen atas kemasan produk yang dihasilkan yang tidak bisa terurai oleh alam. Ketika produsen mengenalkan produk baru, seharusnya mereka sudah menyiapkan skema take back dengan kapasitas yang seharusnya sama dengan produk yang dikeluarkan,” tegas Atha.

Sementara itu, Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menilai bahwa keberadaan plastik sekali pakai berbahaya bagi ekologi. Ecoton beberapa kali menjumpai galon sekali pakai berakhir menjadi sampah yang mengotori sungai

"Ini akan berdampak pada penambahan jumlah dan jenis sampah yang berakhir di lingkungan," kata Divisi Edukasi Ecoton Foundation, Alaika.

Editor: Banu Adikara

Tag:  #masalah #sampah #plastik #masih #kompleks #urban #greenpeace #kritisi #jargon #dengan #embel #embel #ramah #lingkungan

KOMENTAR