Mengapa Seseorang Menjadikan Temannya sebagai Korban Video Deepfake?
ilustrasi hacker.(shutterstock)
17:20
20 Oktober 2025

Mengapa Seseorang Menjadikan Temannya sebagai Korban Video Deepfake?

– Kasus penyebaran video deepfake AI yang dilakukan oleh alumni SMAN 11 Semarang, Chiko Radityatama Agung Putra, masih menjadi perbincangan publik. 

Video yang menampilkan wajah guru dan teman-teman sekolahnya diedit menjadi sosok perempuan tanpa busana ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak.

Aksi tersebut bukan hanya menimbulkan dampak sosial dan hukum, tetapi juga membuka perbincangan soal motivasi pelaku menggunakan teknologi canggih seperti deepfake untuk merugikan orang-orang di sekitarnya.

Menurut Psikolog Meity Arianty, tindakan seperti ini tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis dan sosial yang kompleks.

Kurangnya empati dan distorsi moral

Meity menjelaskan, salah satu penyebab utama perilaku semacam ini adalah kurangnya empati terhadap orang lain. 

“Dari sisi psikologis, biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya empati, distorsi moral, dan kecenderungan untuk melihat orang lain sebagai objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepuasan pribadi,” kata Meity saat dihubungi Kompas.com, Jumat (17/10/2025).

Ketika seseorang tidak mampu menempatkan diri pada posisi korban, tindakan manipulatif seperti menyebarkan video deepfake dapat dilakukan tanpa rasa bersalah. 

Dalam kasus ini, teknologi hanya menjadi alat, sedangkan akar masalahnya berasal dari cara berpikir yang tidak sehat dan tidak menghargai martabat manusia.

Ilustrasi sedih.Dok. Freepik/Freepik Ilustrasi sedih.

Kemungkinan gangguan kepribadian pada pelaku

Lebih lanjut, Meity menuturkan, pelaku dengan perilaku ekstrem seperti ini bisa memiliki gangguan psikologis tertentu. 

“Mereka mungkin memiliki gangguan psikologis seperti narsisme atau psikopat, yang membuat mereka tidak mampu merasakan dampak negatif dari tindakan mereka terhadap orang lain,” tutur dia.

Gangguan narsistik membuat individu memiliki dorongan kuat untuk mendapatkan perhatian atau kekuasaan, sementara kecenderungan psikopat membuat mereka tidak memiliki rasa bersalah maupun empati. 

Akibatnya, pelaku bisa menganggap tindakannya sebagai hal sepele atau bahkan bentuk hiburan semata.

Pelampiasan dari perasaan frustasi

Selain faktor kepribadian, Meity menambahkan, perilaku semacam ini juga bisa berakar dari kondisi emosional yang tidak stabil. 

“Perasaan tidak aman atau frustasi dalam hidup pribadi mereka bisa mendorong pelampiasan melalui kekuasaan atau kontrol terhadap orang lain secara digital,” ungkap psikolog yang berpraktik di Depok ini.

Ketika seseorang tidak mampu mengelola emosi atau tekanan hidup dengan cara sehat, mereka bisa mencari jalan pintas untuk mendapatkan rasa puas atau kuasa. 

Dalam konteks digital, hal itu bisa diwujudkan dengan memanipulasi citra orang lain, terutama perempuan, untuk mendapatkan kendali.

Bahkan kondisi terebut membuat pelaku tidak bisa menghargai batasan privasi orang lain dan memanfaatkan AI untuk kesenangan pribadi.

“Ketidakmampuan untuk memahami atau menghargai batasan privasi dan hak-hak orang lain, ditambah dengan akses mudah ke teknologi yang memungkinkan manipulasi gambar dan video, dapat memperburuk kecenderungan ini,” jelas Meity.

Deepfake yang awalnya dikembangkan untuk keperluan hiburan dan pendidikan kini banyak disalahgunakan untuk eksploitasi digital. 

Kurangnya literasi digital membuat banyak orang tidak memahami konsekuensi etis dan hukum dari tindakan tersebut.

Pengaruh lingkungan sosial

Tak hanya faktor pribadi, Meity menekankan, lingkungan sosial juga berperan besar. 

“Faktor-faktor sosial, seperti pengaruh teman sebaya atau lingkungan yang permisif terhadap perilaku tidak etis, juga dapat memainkan peran penting dalam mendorong individu untuk melakukan tindakan seperti ini,” katanya.

Lingkungan yang menormalisasi candaan seksual atau perilaku merendahkan perempuan bisa memperkuat perilaku pelaku. 

Di era media sosial, atensi sering dijadikan ukuran eksistensi, individu yang haus pengakuan bisa dengan mudah tergoda untuk melakukan hal ekstrem demi mendapat perhatian.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa kecanggihan teknologi perlu diimbangi dengan pendidikan moral dan literasi digital sejak dini. 

Tag:  #mengapa #seseorang #menjadikan #temannya #sebagai #korban #video #deepfake

KOMENTAR