Kamala Harris atau Donald J Trump? Ini Plus Minus Mereka bagi Dunia Jika Jadi Presiden AS
Sedangkan Republik memilih Donald J Trump untuk merebut kembali kursi Gedung Putih. Pada 2019 Trump tersingkir, dikalahkan Joe Biden, lewat drama politik menegangkan.
Pertarungan Kamala Harris - Donald Trump melewati babak-babak ekstrem, penuh caci maki, tuduh sana-sini, silih serang terbuka yang bahkan tidak pernah terjadi dalam politik Indonesia.
Retorika Kamala Harris didukung Hillary Clinton, menyebut Donald Trump seorang fasis, otoriter, dan diktator yang sangat membahayakan Amerika.
Donald Trump membalas dengan mengatakan Kamala Harris bodoh, tidak mengerti dan tidak bisa apa-apa, hanya membebek Joe Biden.
Terbaru, Joe Biden menyebut para pendukung Donald Trump adalah sampah dan ia ingin menghajar pantat mereka.
Trump sigap membalas dengan menyetir mobil sampah, dan menyindir truk itu akan membawa Joe Biden dan Kamala Harris.
Sungguh pertarungan sangat sengit, panas, dan memaksa Amerika saat ini terbelah dalam dua kutub sangat ekstrem.
Persaingan sengit ini membuat Donald Trump sepanjang perjalanannya menuju Pilpres Amerika, sudah dua kali terancam pembunuhan.
Upaya pembunuhan pertama terjadi di lokasi kampanye di Buttler, Pennsylvania, kandang kuat kubu Demokrat.
Kepalanya nyaris ditembus peluru yang ditembakkan penyerang, yang kemudian ditewaskan aparat keamanan.
Kamala Harris dan Donald Trump benar-benar menggoreng politik domestik Amerika guna merebut perhatian pemilih, lewat retorika-retorikanya yang membakar.
Banyak tokoh publik dan selebriti berada Hollywood di kubu Kamala Harris.
Umumnya mereka ini yang cenderung liberalis, penyanjung kebebasan dan pro-kesetaraan gender termasuk proaborsi, LGBT dan pernikahan sejenis.
Kamala Harris juga memperoleh simpati kelompok Afro, Hispanik, dan mereka yang menghendaki kebijakan lunak soal imigran.
Trump Didukung Elon Musk
Sementara Donald Trump memiliki pendukung kuat di kalangan konservatif, ultra kanan, selebriti dan tokoh publik, kaum agamis Kristen dan Islam, serta didukung inovator hebat Elon Musk.
Siapa di antara dua kandidat ini yang lebih kuat? Sampai pekan terakhir hasil sejumlah polling lembaga di Amerika memperlihatkan Kamala Harris unggul tipis atas Donald Trump.
Kemenangan kemungkinan akan ditentukan swing atau undecided voters atau pemilih yang belum memutuskan memilih siapa, yang jumlahnya sekira lima persen.
Siapa pemenang Pilpres Amerika 2024, sudah pasti akan mewarnai hitam putih sejarah dunia. Dampaknya akan sangat menentukan dinamika geopolitik global.
Donald Trump menyapa Elon Musk, CEO SpaceX dan Tesla, sebelum forum kebijakan dan strategi dengan para eksekutif di Ruang Makan Negara Gedung Putih 3 Februari 2017 di Washington, DC (Brendan Smialowski / AFP)Nah, bagaimana situasi dunia, terutama sejumlah konflik politik dan militer yang saat ini terjadi jika Kamala Harris menang? Bagaimana pula jika Trump yang merebut Gedung Putih?
Kita akan mulai mengulas topik ini dengan realitas siapapun Presidennya, mau dari Republik atau Demokrat, Amerika relatif menjalankan kebijakan luar negeri yang sama.
Dari waktu ke waktu, sejarah memperlihatkan para pemimpin Amerika selalu berusaha mempertahankan superioritas dan hegemoninya di dunia.
Perilaku politik Amerika tetap sama dalam kebijakan luar negerinya, menjalankan apa yang disebut “rule base order”, yang bisa memaksa siapa saja yang tidak sejalan dengan kebijakan Amerika.
Mungkin di antara Demokrat dan Republik, ada satu dua pembeda mengingat ideologi mereka yang agak berlainan. Tapi tapi watak dan karakter kedua kelompok politik itu relatif sama.
Dalam konteks konflik global dan persaingan pengaruh, Kamala Harris pasti akan meneruskan kebijakan Joe Biden yang agresif di Ukraina, Taiwan, Iran, Yaman, dan Korea.
Di konflik Palestina, Kamala Harris memperlihatkan kesamaan sikap dengan pendahulunya. Ia berkomitmen mendukung Israel tanpa batas dan tak tergoyahkan.
Sedangkan Trump sepanjang berkuasa di Gedung Putih relative mampu menahan diri untuk tidak membawa Amerika terlampau agresif secara militer ke negara lain.
Trump adalah Presiden Amerika yang memutuskan menarik pasukan dari Afghanistan dan Somalia. Ia adalah Presiden Amerika pertama yang tidak membuka front konflik di luar negeri semasa berkuasa.
Trump pula Presiden pertama Amerika yang bertemu dan berpelukan dengan Kim Jong-un, dan bahkan memasuki area terlarang yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan.
Tapi di tangan Donald Trump juga, CIA dan Pentagon menewaskan Kepala Brigade Al Quds Iran, Jenderal Qassem Soleimani, lewat serangan drone di Bandara Internasional Baghdad Irak.
Trump menarik Amerika dari Kesepakatan Bersama Nuklir Iran. Ia meninggalkan Kesepakatan Paris tentang Perbahan Iklim.
Di masa Trump pula, Amerika secara sepihak keluar dari Traktat Intermediate-Range Nuclear Forces atau INF dengan Rusia.
Sekarang dengan perbandingan seperti ini, ke mana mereka membawa Amerika jika memenangi Pilpres 2024?
Kita saat ini menyaksikan, krisis keamanan di Timur Tengah telah meningkat dengan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
BRICS Jadi Alternatif
Sementara dunia kini juga menyaksikan gerak perubahan tatanan global menyusul kehadiran BRICS dan keberhasilan KTT BRICS Kazan Rusia sepekan lalu.
China dan Rusia tampil sebagai penopang utama, disokong India, Brazil, dan Afrika Selatan. Mesir, Iran, Uni Emirat Arab, dan Ethiopia, muncul sebagai anggota baru.
Belasan negara dunia timur dan selatan menyatakan diri sebagai negara mitra, termasuk Indonesia sebagai kekuatan baru ekonomi global yang tak boleh diremehkan.
Dengan kekuatan seperti ini, BRICS benar-benar muncul sebagai kutub yang mampu menggoyahkan hegemoni dan superioritas Amerika.
Bagaimana Kamala atau Trump akan menghadapi kenyataan geopolitik baru ini, akan menarik untuk terus dicermati nantinya.
Terhadap China, Kamala Harris dan Donald Trump memperlihatkan kebijakan yang hampir tidak dapat dibedakan.
Keduanya sama-sama menunjukkan komitmen bipartisan untuk meningkatkan ketegangan dengan Beijing. Mungkin hanya levelnya saja yang membedakan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2024 di Kazan. (dok. BRICS)Brian Berletic, seorang analis geopolitik dan mantan perwira Marinir AS menyebut Kamala dan Trump sama-sama ingin kesinambungan agenda terhadap China dalam prspektif Washington.
Bedanya, Donald Trump menggunakan cara-cara yang terlihat nasionalistis, sementara Kamala Harris menghubungkannya dengan penegakan tatanan internasional di tangan Amerika.
Dalam konflik Taiwan misalnya, Joe Biden dan Kamala Harris terus mendorong separatisme di Taiwan dengan menambah bantuan militer dan memperluas kehadiran pasukan Amerika di pulau itu.
Di sini Amerika secara terbuka memperlihatkan hipokrisinya terkait kebijakan Satu China.
Ini yang selalu memantik kemarahan Beijing, yang menganggap Taiwan adalah provinsinya yang membangkang.
Trump, bagaimanapun secara terbuka menantang China dan membuat kebijakan-kebijakan keras yang meningkatkan tensi perang dagang kedua negara raksasa ini.
Trump memandang China adala ancaman terbesar bagi Amerika, yang secara ekonomi realitasnya capaian China hampir meruntuhkan dominasi Amerika.
Karena persamaan ini, maka siapapun yang menang, Kamala atau Trump, kebijakan terhadap Tiongkok akan berlanjut.
Militerisasi lebih lanjut di Asia-Pasifik telah berlangsung sejak era Donald Trump, dan kemudian diperluas lewat kehadiran AUKUS.
Elijah J Magnier, seorang koresponden perang veteran dan analis politik dengan lebih dari 35 tahun pengalaman meliput Timur Tengah dan Afrika Utara, mengatakan ada banyak kontradiksi di antara Kamala dan Trump..
Terutama mengenai masalah-masalah yang berkaitan Timur Tengah. Joe Biden maupun Kamala Harris selalu mengatakan ingin gencatan senjata di Gaza dan di Lebanon.
Ironisnya, mereka mendukung Israel dengan menyediakan semua senjata dan amunisi yang dibutuhkan Israel untuk mendukung perangnya di Gaza dan Lebanon.
Meski Kamala Harris berlatar jaksa profesional, keputusannya mendukung Israel yang dianggap pelanggar HAM dan melakukan genosida, sikapnya jauh dari liberalis yang menghargai demokrasi dan HAM.
Trump dalam beberapa kesempatan memberitahu Netanyahu ia akan mencoba membawa perdamaian ke Timur Tengah dan memerangi anti-semitisme jika terpilih
Tetapi Trump juga menegaskan dukungannya yang tak tergoyahkan pada Israel, hak membela diri dari serangan musuh.
Bahkan Trump mendukung perluasan Israel, dan mendorong usaha meruntuhkan Iran, yang dianggapnya ancaman terbesar bagi eksistensi Israel di Timur Tengah.
Karena itu jika Kamala atau Trump yang berkuasa di Amerika, konflik Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina, Israel-Hizbullah, dan Israel-Iran, sulit menemukan jalan damai permanen.
Konflik Timur Tengah tetap akan menyala-nyala, meninggalkan kehancuran dan petaka kemanusiaan yang tidak bisa dibayangkan.
Terlebih negara-negara Teluk atau jazirah Arab, secara umum berusaha menyelamatkan kepentingan masing-masing mengingat masing-masing punya problem domestic yang berbeda.
Kerusakan kepemimpinan Hamas dan Hizbullah setelah tokoh-tokoh utamanya ditewaskan Israel, mungkin memberi harapan peredaan permusuhan atau peluang perdamaian.
Tapi semua akan tergantung bagaimana Iran menjalankan perlawanan terselubungnya terhadap Israel, lewat perang proksi di Suriah, Irak, Lebanon, dan tentu saja Yaman.
Masa Depan Perang Ukraina
Di Eropa Timur, Donald Trump mungkin lebih lugas menampilkan diri sebagai orang yang ingin menghentikan perang Rusia-Ukraina.
Khusus dalam konteks ini, Trump memilih posisi sangat berbeda dengan kebijakan Joe Biden dan Kamala Harris yang didukung Partai Demokrat.
Trump melihat Rusia bukan musuh dan ancaman besar bagi Amerika, sebagaimana pandangannya tentang Tiongkok.
Karena itu ia menjamin akan lebih mudah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dan menghentikan perang yang sudah menghancurkan Ukraina.
Jika Trump menang, dan pendekatan ini dijalankan, maka Trump harus berhadapan dengan agenda NATO dan sejumlah negara Eropa yang sangat memusuhi Rusia.
Trump juga harus melawan elite Ukraina, yang sejak awal perang berusaha keras merebut dukungan Uni Eropa dan NATO.
Sederhananya, dalam konteks perang Rusia-Ukraina, jika Kamala Harris yang menang, situasi tidak akan banyak berubah. Peperangan juga akan berlanjut.
Sebaliknya jika Trump yang menang, maka perang Rusia-Ukraina mungkin akan berhenti. Ukraina akan dipaksa menerima pengakhiran konflik dengan risiko kehilangan teritorialnya.
Volodymir Zelensky dan para pendukungnya kemungkinan akan lengser lewat Pemilu yang sudah ditunda-tunda.
Sekarang, sulit untuk tidak melihat realitas baru hadirnya BRICS, forum negara-negara di dunia yang ingin mewujudkan hubungan internasional lebih adil dan setara.
Dimulai dari KTT ke-16 BRICS di Kazan Republik Tatarstan Rusia, BRICS melangkahkan kakinya yang kuat sebagai kekuatan baru yang berusaha menyeimbangkan barat dengan timur dan selatan.
Forum yang bekerja keras mewujudkan tatanan global yang multipolar atau multilateral, mengubah dunia unipolar yang selama ini dikendalikan Amerika dan sekutu baratnya.
Kamala dan Trump sama-sama dihadapkan pada realitas baru ini, termasuk dedolarisasi dalam urusan transaksi perdagangan global.
Perubahan sistem transaksi global rancangan BRICS yang memberi kesetaraan, keadilan, dan kemanfaatan bagi para penggunanya.
Sebagian warga dunia mungkin menunggu siapa yang terkuat di Amerika : Kamala Harris atau Donald Trump.
Tapi BRICS yang dipimpin kolektif oleh China, Rusia dan tujuh anggota lainnya, terus melangkah maju, tidak peduli Gedung Putih akan dipimpin siapa.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)
Tag: #kamala #harris #atau #donald #trump #plus #minus #mereka #bagi #dunia #jika #jadi #presiden