Fakta Kelam Muslim Rohingya, Diusir, Diskriminasi Agama, hingga Perlakuan Tidak Manusiawi oleh Negara
Tangisan pengungsi Muslim Rohingya. (Asia Times )
13:06
22 Januari 2024

Fakta Kelam Muslim Rohingya, Diusir, Diskriminasi Agama, hingga Perlakuan Tidak Manusiawi oleh Negara

- Kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar sejak akhir 1970-an telah mengusir ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah mereka. Muslim Rohingya diusir dari Myanmar dan mencari tempat berlindung dan hidup di berbagai negara. Muslim Rohingya menyeberang melalui darat ke Bangladesh, sementara yang lain melalui laut untuk mencapai Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Dilansir dari Cfr.org, mulai 2017, kekerasan yang kembali terjadi, termasuk laporan pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran, memicu eksodus warga Rohingya. Kekerasan yang terjadi pada Muslim Rohingya, diklaim pasukan keamanan Myanmar bahwa mereka sedang melakukan kampanye untuk mengembalikan stabilitas di wilayah barat negara tersebut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang muncul dalam kasus Muslim Rohingya di Myanmar menunjukkan adanya niat genosida. Dunia internasional memberikan tekanan terhadap para pemimpin terpilih di negara tersebut untuk mengakhiri penindasan terus meningkat.

Latar belakang Rohingya adalah etnis minoritas Muslim yang mempraktikkan dan memegang kepercayaan Islam Sunni yang dipengaruhi oleh Sufi. Diperkirakan ada 3,5 juta orang Rohingya yang tersebar di seluruh dunia. Sebelum Agustus 2017, mayoritas dari sekitar satu juta orang Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine, dimana jumlah mereka hampir sepertiga dari total populasi Myanmar.

Muslim Rohingya memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal etnis, bahasa, dan agama dari kelompok atau etnis Budha yang menjadi penduduk dominan di Myanmar. Terkait asal usul mereka, Muslim Rohingya pergi wilayah Myanmar pada abad ke-15. Ketika itu, terjadi migrasi besar-besaran ribuan umat Islam yang datang ke bekas Kerajaan Arakan di wilayah Myanmar.

Gelombang migrasi Muslim Rohingya terus terjadi pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketika Rakhine diperintah oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari British India. Sejak kemerdekaan Burma (Myanmar) pada 1948, pemerintah Burma berturut-turut telah membantah klaim historis Rohingya dan menolak pengakuan kelompok tersebut sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di negara tersebut.

Muslim Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak dari mereka yang berasal dari Myanmar sejak berabad-abad yang lalu. Pemerintah menolak memberikan kewarganegaraan kepada warga Rohingya, akibatnya sebagian besar anggota kelompok tersebut tidak memiliki dokumen hukum.

Penolakan pemberian status warga negara oleh pemerintah Myanmar membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Junta militer yang merebut kekuasaan pada 1962, memperkenalkan undang-undang lain dua puluh tahun kemudian yang mencabut akses warga Rohingya terhadap kewarganegaraan penuh.

Akibatnya, baru-baru ini masyarakat Rohingya hanya dapat mendaftar sebagai penduduk sementara dengan menggunakan kartu identitas, yang dikenal sebagai kartu putih. Kartu putih mulai dikeluarkan junta militer pada tahun 1990 an kepada banyak warga Muslim, baik Rohingya maupun non-Rohingya.

Kartu putih yang dikeluarkan oleh Junta Militer hanya memberikan hak terbatas bagi pemegangnya, pemegang kartu ini tetap tidak diakui sebagai warga negara. Eksodus yang terjadi pada Muslim Rohingya dimulai pasca bentrokan di Rakhine pecah pada Agustus 2017.

Kelompok militan yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengaku bertanggung jawab atas serangan terhadap pos polisi dan tentara diRakhine. Pemerintah menyatakan ARSA sebagai organisasi teroris dan militer melancarkan kampanye brutal yang menghancurkan ratusan desa Rohingya dan memaksa hampir tujuh ratus ribu warga Rohingya meninggalkan Myanmar.

Menurut badan amal medis internasional Doctors Without Borders, setidaknya 6.700 warga Rohingya terbunuh pada bulan pertama serangan, antara 25 Agustus dan 24 September 2017. Pasukan keamanan Myanmar juga diduga menembaki warga sipil yang melarikan diri dan menanam ranjau darat di dekat perlintasan perbatasan yang digunakan oleh warga Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan kekerasan tersebut sebagai pembersihan etnis dan bencana besar kemanusiaan. Kelompok hak asasi manusia dan pemimpin PBB lainnya mencurigai telah terjadi tindakan genosida pada bulan September 2018, pencari fakta PBB merilis laporan yang mengklaim pemerintah Myanmar memiliki niat genosida terhadap muslim Rohingya.

Ketua panel PBB mengatakan pihaknya menemukan pola yang jelas atas pelecehan yang dilakukan oleh militer yang termasuk penargetan sistematis terhadap warga sipil, melakukan kekerasan seksual, mendorong retorika diskriminatif terhadap kelompok minoritas hingga menciptakan iklim impunitas bagi pasukan keamanan.

Sejak awal 2018, Otoritas Myanmar dilaporkan telah membersihkan (meratakan) desa-desa Rohingya yang ditinggalkan hingga lahan pertanian Rohingya untuk membangun rumah, pangkalan keamanan, dan infrastruktur.

Pemerintah Myanmar mengatakan pembangunan ini merupakan persiapan untuk repatriasi pengungsi, namun para aktivis hak asasi manusia menyatakan kekhawatiran bahwa langkah ini dimaksudkan untuk mengakomodasi populasi selain Rohingya di Rakhine.

Beberapa pihak meragukan bahwa taktik pemerintah merupakan respons terhadap serangan ARSA, laporan menunjukkan bahwa militer mulai menerapkan kebijakan diskriminatif mereka hampir setahun sebelum ARSA menyerang.

Kekerasan sektarian bukanlah hal baru di negara bagian Rakhine. Kampanye keamanan dalam lima tahun terakhir, terutama pada tahun 2012 dan 2016, juga mengakibatkan puluhan ribu warga Rohingya mengungsi dari rumah mereka.

Editor: Edy Pramana

Tag:  #fakta #kelam #muslim #rohingya #diusir #diskriminasi #agama #hingga #perlakuan #tidak #manusiawi #oleh #negara

KOMENTAR