Polusi Udara Picu Serangan Asma Tinggi, Kemenkes Perkuat Layanan di Puskesmas
Sejumlah pekerja saat berjalan di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2023). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meminta para pekerja untuk rutin berjalan kaki dalam kegiatan sehari-hari serta menggunakan transportasi umum. Hal ini dianggap sebagai bentuk kontribusi masyarakat dalam mengurangi polusi udara di Jakarta. Polusi udara terbukti menyebabkan sejumlah masalah kesehatan diantaranya memicu peningkatkan serangan asma. Tribunnews/Jeprima 
11:00
12 Agustus 2024

Polusi Udara Picu Serangan Asma Tinggi, Kemenkes Perkuat Layanan di Puskesmas

-- Polusi udara terbukti menyebabkan sejumlah masalah kesehatan diantaranya memicu peningkatkan serangan asma.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) berharap masyarakat tidak menganggap remeh polusi udara.

Prevalensi asma di Indonesia cukup mengkhawatirkan, ada sekitar 7 persen atau sekitar 18 juta individu terkena Penyakit asma pada tahun 2022.

Kondisi ini semakin diperparah oleh tingkat polusi yang memprihatinkan, yang memerlukan tindakan mendesak dan tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat.

"Jangan menganggap enteng risiko dari polusi udara ini, hal ini bisa gangguan kesehatan bahkan berpotensi menimbulkan kematian," ujar Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid seperti ditulis Senin (12/8/2024).

Sebagai respons terhadap tingginya prevalensi penyakit asma dan PPOK, pihaknya melakukan penguatan layanan primer yang termasuk dalam enam pilar strategis Transformasi Kesehatan.

“Kami fokus pada memperkuat layanan primer agar bisa mengdiagnosa asma dan memberi penanganan medis dengan tujuan untuk memastikan masyarakat dengan asma memiliki akses ke layanan kesehatan yang tepat dan berkualitas,” sebut Nadia.

Adapun upaya penguatan faskes primer meliputi penyediaan alat spirometri untuk puskesmas.

Spirometri sudah mulai disediakan dengan tenaga kesehatan (nakes) yang telah dilatih, meningkatkan kemampuan dokter untuk mengdiagnosa asma dan memastikan pasien memiliki akses ke obat yang sesuai dengan tatalaksana medis.

Disinggung terkait unggahan di media sosial tentang 144 diagnosa penyakit tak bisa langsung dirujuk ke faskes lanjutan, Nadia menuturkan, saat ini dokter puskesmas telah memiliki kompetensi dasar untuk 144 penyakit.

Namun, khususnya asma ketersediaan obat di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
masih belum sesuai tatalaksana dan pedoman lokal terhadap penatalaksanaan penyakit asma dan dapat meningkatkan angka kejadian serangan asma akut.

"Yang tidak masuk dalam kompetensi 144 penyakit, baik dari gejala klinis yang makin berat, perberatan penyakit, tidak tersedia sarana dan prasarana untuk mengobati dan obat yang dibutuhkan merupakan kompetensi Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)," tegas Nadia.

Saat ini, pengontrol inhalasi juga belum tersedia di puskesmas, dokter perlu merujuk pasien ke rumah sakit untuk perawatan khusus, sesuai dengan indikasi medis.

Strategi proaktif dirancang untuk memastikan bahwa individu dengan asma menerima perawatan komprehensif dan akses cepat ke intervensi medis yang diperlukan.

“Melalui upaya bersama ini, kita berharap setiap pasien menerima perawatan dan dukungan yang penting untuk manajemen penyakit yang efektif,” pesan Nadia.

Respons PDPI

Ketua Kelompok Kerja Asma dan PPOK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI),Dr. Budhi Antariksa, SpP(K), dalam wawancara terpisah menjelaskan, obat-obat yang saat ini tersedia di Puskesmas hanya untuk tatalaksana asma akut, tidak dapat digunakan untuk tatalaksana asma jangka panjang yang menyebabkan pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki akses terhadap obat yang sesuai.

Meskipun asma sudah termasuk dalam kompetensi dasar dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah harus bekali puskesmas dengan obat inhalasi pengontrol.

"Benar, jika dokter umum sudah dibekali ilmu kompetensi untuk 144 penyakit, termasuk asma bronchial, tapi kalau obat pengontrol belum tersedia di puskesmas, dokter puskesmas harus merujuk pasien asma ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan spesialistik sesuai anjuran BPJS," kata dia.

Ketiadaan obat pengontrol inhalasi di puskesmas menjadi salah satu faktor yang berkontribusi signifikan pada biaya pengobatan asma yang tinggi dan peningkatan risiko serangan asma yang tidak terkontrol.

“Tanpa ketersedian obat pengontrol penting ini di puskesmas, risiko pasien asma akan terus meningkat dan menyebabkan lebih dari 57,5 persen pasien asma masuk IGD dan membutuhkan perawatan khusus di rumah sakit ketika kondisi mereka tidak terkontrol,” tambah Budhi.

Untuk diketahui, Hasil studi Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Indonesia (CHEPS UI) telah malakukan kajian penguatan pengobatan tersedia di puskesmas untuk salah satu 144 penyakit kompetensi dokter umum, yaitu diabetes.

CHEPS UI menyebutkan, pengalihkan terapi insulin dari rumah sakit ke puskesmas dapat mengurangi beban biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk penanganan diabetes hingga 14 persen atau sekitar 17 persen per tahun.

Dimana estimasi penghematan anggaran sekitar Rp 22 triliun (2024-2035), atau setara dengan rata-rata penghematan Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.

Editor: Anita K Wardhani

Tag:  #polusi #udara #picu #serangan #asma #tinggi #kemenkes #perkuat #layanan #puskesmas

KOMENTAR