Kajian UB Sebut Regulasi Rokok Elektrik Belum Seimbang, Picu Persoalan Baru di Masyarakat
- Pergeseran konsumsi dari rokok kretek ke rokok elektrik (vape) dinilai semakin mengkhawatirkan. Hasil kajian terbaru Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyebutkan, ketidakseimbangan regulasi antara produk tembakau konvensional dan elektrik justru mendorong peningkatan konsumsi vape di kalangan muda.
“Regulasi yang tidak seimbang menciptakan insentif konsumsi yang lebih tinggi terhadap rokok elektrik dibandingkan rokok tembakau konvensional,” ujar Prof. Candra Fajri Ananda, Ketua PPKE FEB UB, dalam paparan hasil kajian bertajuk ‘Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau di Indonesia’ melalui keterangannya.
Menurut hasil penelitian, harga yang lebih murah, area penggunaan yang lebih longgar, serta kemudahan akses pembelian online menjadi tiga faktor utama yang mendorong perokok beralih ke produk elektrik.
Analisis menggunakan SHAP value menunjukkan variabel harga murah dan kebebasan penggunaan memiliki pengaruh terbesar terhadap keputusan beralih tersebut.
“Banyak konsumen menganggap rokok elektrik lebih aman dan modern, padahal persepsi ini keliru. Tanpa regulasi seimbang, kebijakan cukai justru tidak efektif menurunkan prevalensi merokok,” tegas Prof. Candra.
Ia menambahkan, kenaikan cukai rokok tembakau tanpa diimbangi pengaturan ketat terhadap vape justru memindahkan konsumsi, bukan mengurangi perilaku merokok. Dampaknya, industri kretek nasional mengalami penurunan permintaan, terutama dari segmen usia muda dan dewasa awal.
Pergeseran ini tak hanya berimplikasi pada perilaku konsumen, tetapi juga terhadap keberlangsungan industri kretek, yang selama ini menyerap jutaan tenaga kerja dari sektor pertanian tembakau hingga industri kecil rokok linting.
“Jika tren ini berlanjut tanpa kebijakan korektif, sektor tembakau legal akan tertekan dan berpotensi kehilangan pangsa pasar domestik,” jelasnya.
Untuk menekan laju konsumsi rokok elektrik, PPKE FEB UB merekomendasikan tiga langkah kebijakan. Pertama adalah menetapkan regulasi seimbang antara rokok elektrik dan tembakau dalam aspek harga, promosi, serta area penggunaan.
Pemerintah juga diminta mengatur promosi di media sosial dan platform daring, terutama yang menyasar kelompok usia muda, sekaligus membatasi penjualan online agar tidak lepas dari pengawasan dan meningkatkan tarif cukai rokok elektrik dan memperketat area penggunaannya, seperti halnya rokok tembakau, guna menghapus persepsi bahwa produk ini bebas risiko.
“Ketiga langkah ini penting agar masyarakat tidak lagi menganggap vape lebih aman, sekaligus melindungi generasi muda dari eksposur produk nikotin,” tutur Prof. Candra menutup paparannya.
Kajian ini menambah panjang perdebatan mengenai arah kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah terus menaikkan tarif cukai untuk menekan konsumsi rokok konvensional.
Namun di sisi lain, pengaturan terhadap rokok elektrik masih tertinggal, sehingga membuka celah pergeseran konsumsi dan risiko baru bagi kesehatan masyarakat.
Tag: #kajian #sebut #regulasi #rokok #elektrik #belum #seimbang #picu #persoalan #baru #masyarakat