



Toxic Masculinity: Ketika Pria Tidak Bercerita, tapi Banyak di Antaranya Alami Gangguan Jiwa
Banyak pria yang mungkin terjebak dalam kondisi, yang disebut “toxic masculinity”.
Ketika pria dibesarkan dalam budaya maskulin, mereka sering kali dituntut untuk menjunjung kekuatan fisik dan keteguhan mental dalam menghadapi segala persoalan.
Hal itu sering kali membuat mereka enggan untuk bercerita, bukan karena tidak ingin, tetapi mungkin takut akan reaksi sosial yang menghakimi.
Alhasil, banyak pria yang sering kali memilih untuk menumpuk semua masalah sendiri.
Namun, data statistik menunjukkan bahwa banyak pria yang diam-diam mengalami gangguan jiwa.
Menurut Data Mikro Sakernas Agustus 2022 yang dilah oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, dari total 66.434 total pekerja yang disurvei, 58 persen pekerja laki-laki dan 42 persen pekerja perempuan mengalami gangguan mental.
Sementara, Data Susenas Maret 2022 yang diolah Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, diperoleh jumlah pria yang mengalami gangguan kesehatan mental berdasarkan aktivitasnya.
Pada kelompok pengangguran 792.827 orang, gangguan jiwa dialami oleh pria sebanyak 417.681 orang (52,7 persen) dan wanita 375.146 orang (47,3 persen).
Pada kelompok bekerja 721.334 orang, gangguan jiwa terjadi pada pria sebanyak 511.073 orang (70,9 persen) dan wanita 210.261 orang (29,1 persen).
Pada kelompok sekolah 107.575 orang, gangguan jiwa dialami oleh pria dengan jumlah 59.537 orang (55,3 persen) dan wanita 48.038 orang (44,7 persen).
Di era digital kini, ironi ini viral digunakan sebagai bahan meme yang mengandung satir dengan slogan “pria tidak bercerita”.
Terkait fakta pria tidak bercerita, tetapi diam-diam banyak yang mengalami gangguan jiwa, masyarakat bisa mengetahui lebih lanjut tentang fakta toxic masculinity.
Berikut artikel ini akan mengulas toxic masculinity terkait pengertian dan efeknya.
Apa itu toxic masculinity?
Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah kumpulan sikap, perilaku, dan kepercayaan yang berakar dari norma gender laki-laki tradisional, tetapi dibawa secara ekstrem.
Konsep ini menuntut pria untuk tampil kuat secara fisik, emosional, dan sosial.
Mereka diajarkan untuk tidak menunjukkan kerentanan, tidak menangis, tidak mengungkapkan emosi, dan harus selalu mendominasi.
Terdapat tiga ciri utama dari toxic masculinity:
- Ketangguhan ekstrem, yang mana pria harus selalu kuat dan agresif.
- Penolakan terhadap sifat feminin, yang mana pria dianggap lemah, jika menunjukkan emosi.
- Kekuatan dan status sosial, yang mana pria harus berkuasa, sukses, dan dihormati.
Dalam praktiknya, toxic masculinity memengaruhi cara pria berperilaku di sekolah, tempat kerja, maupun dalam hubungan sosial dan romantis.
Pria yang tidak mengikuti norma maskulin ini sering kali mengalami perundungan atau dikucilkan.
Toxic masculinity juga melanggengkan norma berbahaya, seperti anggapan bahwa pria sejati tidak boleh meminta bantuan atau tidak butuh perawatan medis dan psikologis.
Padahal, sikap ini justru membahayakan mereka.
Apa saja efek toxic masculinity?
Salah satu dampak paling mencolok dari toxic masculinity adalah munculnya hambatan bagi pria untuk mencari pertolongan ketika mengalami gangguan mental.
Karena merasa harus “tegar” dan “kuat,” banyak pria tidak bercerita tentang perasaan mereka, bahkan kepada orang terdekat sekalipun.
Hal ini menimbulkan berbagai gangguan psikologis, seperti:
- Depresi dan kecemasan
- Isolasi sosial
- Gangguan penyalahgunaan zat
- Ledakan emosi (emotional dysregulation)
- Risiko bunuh diri
Bahkan, American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa menekan emosi sejak dini dapat merusak kondisi psikologis pria secara signifikan.
Dalam jangka panjang, budaya “pria tidak bercerita” ini memperburuk stigma terhadap kesehatan mental pria.
Selain berdampak pada diri sendiri, toxic masculinity juga berkontribusi terhadap munculnya kekerasan dalam rumah tangga, perundungan, serta diskriminasi terhadap kelompok rentan, seperti perempuan dan kelompok minoritas lainnya.
Dalam hubungan sosial, pria yang menganut nilai toxic masculinity cenderung memaksakan dominasi dan memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Mereka juga kurang menunjukkan empati, enggan meminta maaf, dan sulit menjalin hubungan emosional yang sehat.
Bagaimana cara mencegah toxic masculinity?
Para ahli menyarankan pendekatan ganda antara edukasi dan dukungan psikologis.
Pria perlu didorong untuk menerima bahwa menunjukkan emosi bukan tanda kelemahan.
Masyarakat juga harus membuka ruang yang aman bagi pria untuk mengungkapkan perasaan tanpa takut dihakimi.
Beberapa solusi yang direkomendasikan oleh pakar antara lain:
- Memberikan edukasi tentang pentingnya kesehatan mental pria
- Menghapus stigma seputar pria yang mencari terapi atau bantuan psikologis
- Menyediakan figur publik pria yang menunjukkan maskulinitas sehat, yaitu berani, empatik, dan terbuka secara emosional
- Mendorong media untuk tidak melanggengkan stereotip gender yang beracun
Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap kesehatan mental pria, masyarakat perlu mulai mengakhiri mitos bahwa pria sejati adalah pria yang tidak punya rasa takut, tidak butuh pertolongan, dan tidak boleh lemah.
Disclaimer: Artikel ini hanya untuk tujuan informasi dan tidak dimaksudkan untuk menawarkan nasihat medis.
Referensi:
“What Is Toxic Maculinity?” Very Well Mind. Diakses Juni 2025.
“How Toxic Masculinity Affects People and What Can Be Done About It”. Health. Diakses Juni 2025.
Tag: #toxic #masculinity #ketika #pria #tidak #bercerita #tapi #banyak #antaranya #alami #gangguan #jiwa