Industri Garmen dan Tekstil Butuh Penyederhanaan Aturan Impor Bahan Baku
Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Kesehatan Finansial (UNSGSA) yang juga Ratu Belanda Maxima Zorreguieta Cerruti (kanan) berbincang dengan pekerja pabrik saat melakukan kunjungan di pabrik konveksi PT. Glory Industrial Sragen, Jawa Tengah, Selasa (25/11/2025). Kunjungan Ratu Maxima tersebut untuk memantau program Reimagining Industries to Support Equality (RISE) dalam upaya meningkatkan kesehatan finansial para pekerja industri garmen dan alas kaki sejumlah merek pakaian
12:04
5 Desember 2025

Industri Garmen dan Tekstil Butuh Penyederhanaan Aturan Impor Bahan Baku

Penyederhanaan regulasi dan penguatan industri tekstil nasional menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing. Hal ini juga pada akhirnya akan menekan maraknya thrifting pakaian impor di dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto menyatakan bahwa secara kapasitas, Indonesia memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan tekstil nasional sekaligus menembus pasar global. Namun sejumlah tantangan struktural dan standar internasional masih menjadi kendala.

Hal tersebut disampaikan usai audiensi AGTI dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa awal pekan ini.

Anne menyebut pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mendukung kelancaran importasi bahan baku yang dibutuhkan industri, terutama bagi sektor yang belum mampu dipenuhi pasar domestik.

Ia menilai koordinasi lintas kementerian perlu diperkuat agar pasokan tidak terhambat aturan yang tumpang tindih.

“Kalau regulasinya di-simplify, daya saing akan naik. Pemerintah punya kemauan untuk mendukung, tinggal penyelarasan kebijakannya,” kata dia dalam keterangan tertulis Jumat (5/12/2025).

Anne menambahkan, impor tetap diperlukan, khususnya untuk jenis bahan baku tertentu yang belum tersedia di dalam negeri atau belum memenuhi standar mutu global.

Keterbatasan product development di beberapa pabrik lokal membuat sejumlah merek internasional masih mengandalkan bahan impor agar memenuhi spesifikasi teknis dan keberlanjutan.

“Product development kita masih kurang. Itu sebabnya beberapa brand internasional lebih memilih bahan impor,” imbuh dia.

Anne menjelaskan bahwa kemampuan industri lokal sesungguhnya ada, tetapi tidak merata. Tantangan terbesar ada pada pemenuhan Environmental, Social and Governance (ESG) yang mencakup standar lingkungan, sosial, hingga penggunaan energi ramah lingkungan. Banyak pabrik belum mampu memenuhi seluruh syarat tersebut.

“Kalau standar lingkungan, izin, upah minimum, sampai energi non-pool terpenuhi, produk lokal sebenarnya bisa diterima brand internasional,” papar ida.

Dalam praktiknya, Anne menyebut, bahan kain untuk memenuhi pesanan merek global masih banyak yang diimpor. Hal ini karena sebagian pabrik lokal belum mampu menciptakan kain dengan kualitas konsisten sesuai standar global, terutama untuk segmen performance fabric dan sustainable textile.

“Kita bisa kompetitif, tapi produksinya belum cukup banyak dan belum cukup cepat," tutur Anne.

Di samping itu, Anne menyebut bahwa kebutuhan untuk busana muslim dan kerudung sebagian besar sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Namun untuk jenis kain tertentu misalnya yang membutuhkan teknologi finishing khusus atau handfeel tertentu impor tetap diperlukan karena tidak semua pabrik lokal memiliki fasilitas produksi yang sesuai.

“Secara kapasitas bisa, tapi spesifikasi tertentu masih harus impor,” jelas dia.

Menurut Anne, ketersediaan bahan baku dan penguatan industri lokal akan membantu menurunkan ketergantungan masyarakat pada produk pakaian bekas impor (thrifting). Namun penurunan thrifting pakaian impor tidak hanya bergantung pada produksi dalam negeri, tetapi juga pada penegakan regulasi dan perubahan perilaku pasar.

“Kalau daya saing naik, supply lokal kuat, otomatis thrifting akan berkurang. Tapi tetap butuh kepastian regulasi,” tutup dia.

Tag:  #industri #garmen #tekstil #butuh #penyederhanaan #aturan #impor #bahan #baku

KOMENTAR