Banjir Bandang dan Lubang Kebijakan Sektor Tambang
Warga berjalan di atas sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di pemukiman warga dan sungai pasca banjir bandang pada Selasa (25/11). ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar(Yudi Manar)
10:40
1 Desember 2025

Banjir Bandang dan Lubang Kebijakan Sektor Tambang

BANJIR bandang yang melanda berbagai daerah di Indonesia pada akhir 2025, mengirim sinyal keras bahwa bencana ekologis bukan sekadar persoalan cuaca ekstrem.

Ia merupakan cermin dari tata kelola sumber daya alam yang menyisakan banyak lubang. Tidak hanya lubang tanah bekas galian tambang, tapi juga lubang pada tataran kebijakan.

Setiap kali banjir bandang merusak desa, memutus akses, dan memaksa ribuan orang mengungsi, penjelasan publik sering kali berhenti pada intensitas hujan atau perubahan iklim. Namun, penjelasan seperti itu hanya menyinggung permukaan.

Banjir bandang yang berulang dapat juga merupakan bagian dari konsekuensi dari pilihan kebijakan pemerintah.

Kebijakan yang terlalu menempatkan pertambangan sebagai tulang punggung ekonomi, tetapi mengabaikan kemampuan alam menahan dampak kegiatan tersebut.

Ledakan izin dan krisis hulu-hilir

Fakta yang diungkap beberapa pihak menunjukkan bagaimana struktur perizinan tambang berkontribusi terhadap peningkatan risiko banjir bandang.

Banyak izin dan/atau kegiatan tambang beririsan dengan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan resapan air. Wilayah yang semestinya menjadi benteng ekologis.

Ketika wilayah hulu sudah dipenuhi tambang terbuka, tumpukan material tambang, dan deforestasi besar-besaran, kemampuan alam untuk menyerap air berkurang drastis.

Air hujan tidak lagi meresap ke tanah, melainkan meluncur deras membawa lumpur dan material lain menuju hilir. Ini bukan sekadar teori ekologis, melainkan realitas yang terlihat di berbagai lokasi banjir beberapa bulan terakhir.

Lubang-lubang bekas tambang pun menjadi faktor utama karena menjadi kolam besar yang rentan meluap saat hujan ekstrem.

Di Jambi, WALHI mencatat lebih dari seribu hektar lubang bekas tambang yang belum direklamasi.

Di Kalimantan Timur, khususnya di sekitar Ibu Kota Nusantara, ditemukan ratusan hingga ribuan lubang tambang yang belum tertangani.

Dengan fakta-fakta ini, sulit menolak kesimpulan bahwa banjir bandang bukan semata fenomena alam, tetapi terdapat andil dari tata kelola pertambangan yang masif, tidak terkendali, dan abai terhadap daya dukung lingkungan.

Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pertambangan yang masih mengedepankan paradigma eksploitasi daripada perlindungan dan keberlangsungan lingkungan hidup.

Revisi UU Minerba tahun 2020 memperlihatkan paradigma tersebut. Undang-undang ini di antaranya memperkuat jaminan investasi, mempermudah perpanjangan IUP, memfasilitasi hilirisasi, dan memberikan ruang operasi yang lebih luas kepada korporasi.

PP No. 96 Tahun 2021 jo. PP No. 39 Tahun 2025 kembali menguatkan arah itu. Aturan pelaksana ini mempermudah penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan, mempercepat proses perizinan, dan mempertebal kepastian hukum bagi pelaku usaha.

Pemberian izin tambang pun diperluas secara signifikan. Terbitnya Permen ESDM No. 18 Tahun 2025 telah menyempurnakan kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi ormas keagamaan, koperasi, UKM, dan perguruan tinggi masuk ke dalam sistem pengelolaan wilayah pertambangan.

Kebijakan yang berpotensi salah sasaran. Ini karena sektor tambang merupakan kegiatan high risk yang membutuhkan modal besar, teknologi, dan rekayasa geologi.

Tidak menutup kemungkinan pihak-pihak tersebut hanya berstatus sebagai proxy mining bagi pelaku usaha lain.

Dari sudut pandang investasi, kebijakan-kebijakan tersebut tampak progresif. Namun, dari perspektif ekologis, kebijakan ini seakan memberi “gas” penuh kepada pelaku sektor pertambangan, tanpa menyediakan rem yang kuat.

Instrumen lingkungan seperti AMDAL, KLHS, dan izin lingkungan tidak berfungsi sebagai batas substantif. Dokumen AMDAL lebih sering menjadi formalitas administratif ketimbang alat untuk menilai kelayakan ekologis.

Kewajiban reklamasi dan penempatan jaminan pascatambang juga menghadapi masalah serius. Hal ini sebagaimana diungkapkan KPK dalam Rapat Koordinasi Tata Kelola Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan pada akhir September 2025.

Kementerian ESDM pada Oktober 2025, juga menyatakan rencana penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance di sektor tambang yang semakin tegas.

Pengakuan ini menindaklanjuti terbitnya Permen ESDM No. 17 Tahun 2025 yang menegaskan penempatan jaminan reklamasi menjadi syarat mutlak bagi persetujuan RKAB.

Kondisi ini baik, tetapi di sisi lain menunjukkan adanya kesenjangan besar antara aturan dan pelaksanaannya selama ini.

Lubang kebijakan inilah yang memungkinkan ekspansi tambang berlangsung besar-besaran, sementara pemulihan lingkungan tertinggal jauh di belakang.

SDA bukan sekadar komoditas

Foto udara antrean kendaraan warga melintasi jalan kawasan permukiman Jorong Kayu Pasak yang rusak akibat banjir bandang di Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Rusak dan menyempitnya akses jalan akibat lumpur dan material lain di sejumlah titik menuju lokasi terdampak banjir bandang yang terjadi pada Kamis (27/11) di daerah itu mengakibatkan terjadinya antrean panjang kendaraan, sementara BPBD Kabupaten Agam mencatat sepanjang 2.801 meter jalan di kabupaten itu rusak  dengan nilai kerugian mencapai Rp3,45 miliar. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan Foto udara antrean kendaraan warga melintasi jalan kawasan permukiman Jorong Kayu Pasak yang rusak akibat banjir bandang di Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Rusak dan menyempitnya akses jalan akibat lumpur dan material lain di sejumlah titik menuju lokasi terdampak banjir bandang yang terjadi pada Kamis (27/11) di daerah itu mengakibatkan terjadinya antrean panjang kendaraan, sementara BPBD Kabupaten Agam mencatat sepanjang 2.801 meter jalan di kabupaten itu rusak dengan nilai kerugian mencapai Rp3,45 miliar. Ketidakseimbangan ini menjadi semakin jelas ketika kita kembali membaca amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mahkamah Konstitusi, melalui beberapa putusannya telah menafsirkan bahwa frasa “dikuasai oleh negara” tidak berarti negara bebas memberikan izin eksploitasi tanpa batas.

Negara memiliki lima fungsi utama, yakni: kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

MK menegaskan bahwa penguasaan Negara harus dipahami sebagai kewajiban untuk menjamin keberlanjutan ekologis, keadilan antargenerasi, dan keselamatan publik. Bukan sekadar pendapatan jangka pendek dari sektor tambang.

Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak boleh berorientasi pada eksploitasi semata, tetapi wajib mempertimbangkan keberlanjutan ekologis.

Jika demikian, maka kebijakan pertambangan yang di antaranya terus mendorong perluasan tambang di hulu DAS dan kawasan rawan sudah menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945.

Kerusakan hulu DAS, reklamasi yang gagal, dan aktivitas tambang yang tidak terkendali bukan hanya masalah lingkungan. Ia juga merupakan persoalan hak asasi manusia.

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini bersifat fundamental dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Banjir bandang yang merusak rumah, sawah, kebun, dan sumber air adalah pelanggaran langsung terhadap hak tersebut.

Selain itu, terlanggar pula hak atas rasa aman dan hak atas kelangsungan hidup. Sebagaimana diamanatkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28A UUD 1945.

Dalam kerangka HAM, negara memiliki kewajiban untuk mencegah kerusakan lingkungan yang dapat mengancam hak-hak tersebut.

Ketika kebijakan pertambangan gagal melindungi warga dari bencana ekologis, negara patut dituding telah gagal dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia Indonesia.

Pembenahan

Dengan memperhatikan seluruh rangkaian fakta dan dasar hukum tersebut, banjir bandang hari ini harus dibaca sebagai bencana kebijakan, bukan sekadar bencana alam.

Ia adalah hasil dari kebijakan pemberian izin tambang yang terlalu padat di hulu, lemahnya pengawasan dan pemulihan lingkungan, regulasi yang lebih pro-produksi daripada pro-keselamatan ekologis, serta inkoherensi antara kebijakan pemerintah dan amanat konstitusi.

Langkah-langkah teknis seperti memperbaiki drainase atau membangun tanggul hanya menjadi solusi sementara. Tanpa memperbaiki paradigma kebijakan, siklus bencana akan terus berulang.

Indonesia kini membutuhkan pembenahan mendasar dalam tata kelola pertambangan. Negara harus kembali pada ruh Pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber daya alam tidak boleh dikelola hanya demi keuntungan jangka pendek, tetapi harus menjamin keberlanjutan dan keselamatan rakyat.

Langkah konkret yang dapat dipertimbangkan antara lain moratorium kegiatan tambang di hulu DAS dan kawasan rawan.

Selain itu, perlu dilakukan evaluasi ulang izin yang berada dalam jalur banjir bandang. Pemerintah juga harus melakukan penegakan tegas kewajiban reklamasi.

Selama lubang kebijakan dibiarkan menganga, lubang tambang akan terus terbuka, dan banjir bandang akan terus datang.

Sudah saatnya negara menutup lubang-lubang itu, bukan hanya demi keberlanjutan lingkungan, tetapi demi penghormatan terhadap konstitusi dan HAM.

Tag:  #banjir #bandang #lubang #kebijakan #sektor #tambang

KOMENTAR