Redenominasi Rupiah dan Dampaknya bagi Dunia Kerja
WACANA penyederhanaan nominal rupiah (redenominasi) atau penghapusan sejumlah nol tanpa perubahan daya beli riil kembali menjadi sorotan.
Proses yang tampak teknis ini sebenarnya menyentuh jantung ekonomi nasional: sistem upah, konsumsi rumah tangga, serta struktur tenaga kerja.
Namun, yang sering terabaikan dalam diskusi adalah dampaknya terhadap ketenagakerjaan, terutama bagi 59,4 persen pekerja Indonesia yang kini berada di sektor informal.
Dalam wacana redenominasi, yang sering kali hanya dibahas dari sisi teknis-moneter, ada dimensi manusia yang kerap terabaikan, yaitu psikologi uang.
Di sinilah teori ekonomi perilaku yang mempelajari bagaimana manusia sebenarnya membuat keputusan ekonomi menjadi relevan.
Pertama, ada yang disebut sebagai "Ilusi Uang" (Money Illusion) yang dikemukakan oleh Shafir, Diamond, dan Tversky (1997).
Manusia secara alami cenderung terpaku pada nilai nominal, bukan nilai riil. Seorang buruh yang biasa melihat gaji Rp 5.000.000 di slip gaji, lalu tiba-tiba melihat angka Rp 5.000, bisa saja merasa dirinya menjadi "lebih miskin", meski daya belinya persis sama.
Otak kita sulit menerima kenyataan bahwa angka yang lebih kecil bisa setara dengan angka yang lebih besar. Ini bukanlah kesalahan logika, melainkan bias psikologis yang mendalam.
Kedua, "Efek Pembingkaian" (Framing Effect) sebagaimana dikemukanan Tversky dan Kahneman (1981). Cara sebuah informasi disajikan akan memengaruhi cara kita mempersepsikannya.
Redenominasi membingkai ulang seluruh angka dalam ekonomi kita menjadi lebih "kecil". Dalam benak banyak pekerja, terutama yang bergaji harian, angka yang kecil ini bisa secara tidak sadar dibingkai sebagai "penurunan", "pengurangan", atau "kehilangan". Padahal, tidak ada yang hilang secara riil.
Ketiga, kita menghadapi naluri "Penghindaran Kerugian" (Loss Aversion). Konsep yang digagas oleh peraih Nobel Daniel Kahneman (1979) dengan Prospect Theory, menjelaskan bahwa rasa sakit karena kehilangan Rp 50.000 jauh lebih besar daripada rasa senang karena mendapat Rp 50.000.
Dalam konteks redenominasi, perasaan seolah-olah "digunting" nominal uangnya meski hanya di kertas dapat memicu respons emosional yang kuat berupa penolakan, ketakutan, dan keengganan untuk berbelanja. Inilah yang berpotensi memicu kontraksi konsumsi rumah tangga secara tiba-tiba.
Berikutnya, teori "Akuntansi Mental" (Mental Accounting) yang diungkapkan Thaler (1985) dapat menjelaskan bahwa pekerja informal bisa kacau balau.
Ibu-ibu pedagang di pasar, misalnya, telah memiliki "akun" mental yang rapi: uang pecahan Rp 20.000 untuk bayar parkir, Rp 50.000 untuk belanja sayur, dan Rp 100.000 untuk uang jajan anak.
Ketika nominal ini berubah, seluruh sistem pencatatan mental yang sudah mendarah daging itu terganggu. Hal ini menciptakan beban kognitif tambahan dan rasa tidak nyaman yang dapat menghambat transaksi.
Oleh karena itu, mengabaikan temuan ekonomi perilaku dalam kebijakan redenominasi ibarat menerbangkan pesawat buta.
Kebijakan ini tidak hanya soal menyesuaikan mesin EDC atau mencetak uang baru, tetapi lebih tentang mempersiapkan mental 59,4 persen pekerja Indonesia yang hidup dalam ekonomi nominalistik.
Tanpa pendekatan komunikasi yang cerdas, edukasi masif, dan empati pada cara berpikir masyarakat biasa, redenominasi berisiko memicu gejolak psikologis yang justru melukai dunia kerja yang seharusnya dilindungi.
Risiko tersembunyi
Bayangkan seorang pekerja di pabrik skala menengah yang menerima gaji rutin Rp 5 juta. Setelah redenominasi, angka nominal berubah menjadi Rp 5.000.
Data BPS 2025 juga menunjukkan rata-rata upah buruh nasional sebesar Rp 3,09 juta per bulan, sedangkan upah minimum provinsi (UMP) di sebagian besar daerah besar berkisar antara Rp 2,1 juta hingga Rp 5 juta.
Dengan demikian, perubahan nominal akibat redenominasi akan sangat mudah memengaruhi persepsi kesejahteraan pekerja di rentang gaji tersebut.
Nilai riilnya tetap, tetapi secara psikologis, pekerja bisa merasa “gajiku jadi kecil”. Persepsi ini bukan sekadar soal ego, melainkan soal motivasi kerja, loyalitas, dan kepercayaan terhadap sistem pengupahan.
Beberapa potensi dampak:
- Keluhan pekerja yang merasa “turun gaji”, padahal daya belinya sama. Ini bisa memicu perselisihan industrial, tuntutan penyesuaian upah, atau mogok kerja ringan.
- Kesalahan administrasi: slip gaji, kontrak, sistem penggajian mungkin belum diperbarui terutama di usaha skala kecil yang belum terdigitalisasi.
- Dampak konsumsi: apabila pekerja menahan pengeluaran karena merasa nominal gaji mengecil, maka daya beli rumah tangga akan drop dan berdampak langsung ke sektor UMKM serta penyerapan tenaga kerja harian.
- Ketimpangan adaptasi: pekerja di industri besar akan cepat menyesuaikan sistem, sedangkan pekerja informal yang bergantung pada transaksi tunai atau verbal sangat rentan tertinggal.
Dunia usaha mikro dan sektor informal adalah tulang punggung lapangan kerja nasional. Namun, justru mereka yang paling rentan terhadap perubahan nominal uang.
Banyak pekerja harian, buruh lepas, pengusaha kecil masih bergantung pada transaksi tunai dan sistem pencatatan manual. Ketika nominal uang berubah, proses penetapan upah harian, potongan, pembulatan dan pembayaran menjadi kompleks.
Pelaku usaha mikro perlu mengganti harga barang, cetak ulang tanda terima, menyesuaikan kasir atau buku pencatatan. Jika tidak, maka rentan terhadap kesalahan atau bahkan inflasi psikologis (misalnya pembulatan naik).
Di sisi pekerja harian, perubahan nominal bisa diterjemahkan sebagai “kerepotan” atau “kerugian” bila belum dijelaskan dengan baik.
Dalam kondisi informalitas tinggi, hal ini bisa menurunkan kepercayaan pekerja terhadap pengusaha atau terhadap sistem upah secara umum.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (2024), UMKM berkontribusi sekitar 61 persen terhadap PDB nasional dan menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja Indonesia.
Mayoritas di antaranya masih menggunakan sistem transaksi tunai dan pencatatan manual, yang berpotensi menimbulkan disorientasi nominal saat redenominasi diberlakukan.
Bagaimana agar redenominasi ramah dunia kerja?
Beberapa rekomendasi konkret agar perubahan nominal rupiah tidak menjadi beban bagi pekerja.
Pertama, sosialisasi luas ke pekerja dan pelaku usaha. Pastikan pekerja memahami bahwa nominal saja yang berubah, bukan daya beli. Sosialisasi melibatkan serikat pekerja, asosiasi UMKM, pemerintah daerah.
Kedua, penyesuaian sistem pengupahan di perusahaan skala kecil-menengah. Pemerintah dan asosiasi dapat menyediakan panduan, modul, dan template kontrak baru serta slip gaji sesuai rupiah baru.
Ketiga, pendampingan UMKM dan pekerja informal. Sertakan program pelatihan literasi finansial dan adaptasi transaksi dengan rupiah baru. Sertakan platform digital kasir yang menyesuaikan otomatis.
Keempat, monitoring ketenagakerjaan dan perlindungan pekerja informal. Data seperti 59,4 persen pekerja informal harus dijadikan alarm. Pemerintah perlu memperkuat jaminan sosial bagi pekerja informal dalam transisi.
Kelima, keterkaitan dengan reformasi sistem pembayaran digital. Redenominasi bisa dijadikan momentum untuk akselerasi pengupahan digital dan transaksi nontunai. Hal ini akan memperkuat sistem pengupahan formal dan meningkatkan ketahanan pekerja terhadap perubahan.
Redenominasi rupiah bukan sekadar penghapusan nol, tetapi potensi perubahan besar dalam sistem nilai, upah dan ketenagakerjaan.
Infrastruktur digital, administrasi pengupahan, dan literasi ekonomi pekerja adalah variabel kritikal.
Dengan struktur tenaga kerja di Indonesia yang didominasi pekerja informal, maka risikonya nyata: pekerja bisa merasa “tertinggal”, pengupahan bisa kacau, dan konsumsi rumah tangga bisa melemah.
Sebaliknya, jika transisi dilakukan dengan cermat, inklusif dan edukatif, redenominasi bisa menjadi katalisator reformasi pengupahan dan sistem tenaga kerja yang lebih modern.
Saat angka pada uang berubah, yang paling penting adalah nilai perlindungan, kepercayaan dan keadilan bagi pekerja. Karena pada akhirnya, uang baru akan berarti hanya jika sistem kerja dan manusia di baliknya ikut bergerak maju.