Asosiasi Pertembakauan Tolak Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan
Puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan sikap penolakan atas berbagai kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau pada PP Nomor 28 Tahun 2024. (Istimewa)
19:09
11 September 2024

Asosiasi Pertembakauan Tolak Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan

–Puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan sikap penolakan atas berbagai kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Aturan yang menjadi sorotan di antaranya zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang serta wacana standardisasi kemasan berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan, berbagai tekanan regulasi industri hasil tembakau dirasa cukup memberatkan bagi multi sektor yang berkaitan baik dengan pertembakauan. Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan melihat kondisi sosioekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lain. Di Indonesia, industri tembakau menyerap jutaan tenaga kerja dari petani, pekerja, pedagang dan peritel, hingga industri kreatif. Sehingga, pengambilan kebijakan di Indonesia tidak bisa hanya mengacu dari negara-negara tertentu tanpa adanya pendalaman budaya.

”Penyusunan kebijakan ini tidak tepat. PP 28/2024 maupun RPMK minim melibatkan industri. Seharusnya pengambil kebijakan perlu berhati-hati dalam mengeluarkan peraturan yang akan mengancam kontraksi berkepanjangan,” kata Franky melalui keterangan resminya di Jakarta, Rabu (11/9).

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengapresiasi upaya Apindo menampung segala aspirasi dan merespons keluhan industri hasil tembakau. GAPPRI menilai industri hasil tembakau tidak hanya pelaku usaha, tetapi mata rantai ekonomi dan budaya industri hasil tembakau yang sangat besar.

”Wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek bagi produk tembakau dalam RPMK akan memberikan dampak serius atas kebijakan yang makin eksesif dan mengakibatkan kontraksi dari sisi pendapatan negara juga ketenagakerjaan. Kami menyatakan dengan tegas menolak aturan tersebut,” tutur Henry.

Namun Henry sepakat dengan pemerintah untuk tidak menjual produk tembakau kepada anak-anak. Selama ini pihaknya telah berkomitmen mencegah akses pembelian produk tembakau di bawah umur. GAPPRI patuh kepada negara dan terus menegakkan komitmen pencegahan perokok anak.

”Aturan terbaru ini justru akan memberikan dampak negatif kepada mata rantai industri hasil tembakau dari hulu hingga ke hilir,” ucap Henry.

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menyatakan, industri hasil tembakau terus terimpit dan terbebani dengan berbagai aturan. Padahal industri hasil tembakau selama ini telah mengikuti regulasi dan mematuhi aturan dengan baik, khususnya kepatuhan terhadap pembayaran cukai sebagai salah satu penerimaan negara. Hingga saat ini, cukai hasil tembakau (CHT) masih menjadi sumber penerimaan negara yang cukup besar sampai 10 persen atau lebih dari Rp 200 triliun.

”PP 28/2024 masih menyisakan hal-hal yang perlu kita kaji ulang, termasuk pengaturan penjualan 200 meter, iklan, dan aturan turunan yang lebih mengkhawatirkan yaitu pengaturan kemasan polos tanpa merek yang tidak memunculkan identitas brand dan makin memicu rokok ilegal,” ungkap Benny.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Kusnasi Mudi menyebut kebijakan-kebijakan restriktif terhadap produk tembakau dalam PP 28/2024 maupun RPMK menjadi permasalahan bersama. Bukan hanya industri, petani tembakau turut terdampak sebagai bagian dari komponen penting hulu industri hasil tembakau. Aturan itu dianggap mengabaikan sentralitas tembakau dalam agrikultur sebagai tanaman bernilai ekonomi tinggi dan berhasil membantu 2,5 juta mata pencaharian masyarakat sebagai petani.

”Kami sangat kecewa dan keberatan dengan aturan turunan yang akan disusun di RPMK karena adanya ketidaksinambungan pada pemerintah terhadap industri hasil tembakau. Tembakau ini termasuk komoditas strategis, namun eksistensi kami selalu ditekan. Dengan ini, kami memohon perlindungan pemerintah atas nasib 2,5 juta petani yang sama-sama sedang berjuang untuk mata pencaharian kami dan berbagai persoalan lainnya,” papar Kusnasi Mudi.

Senada dengan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto menyesalkan PP 28/2024 maupun RPMK. Kedua beleid itu dinilai sebagai produk yang diskriminatif karena minimnya partisipasi. Selama ini, buruh tidak pernah difasilitasi untuk menyampaikan aspirasi.

”Pemerintah perlu sadar bahwa buruh ini aset dan jumlah kami besar sekali, jangan dimarjinalkan terus menerus. Aspek yang perlu diperhatikan salah satunya adalah buruh sebagai bagian dari konstitusi Indonesia, di mata hukum kami setara. Perlu diingat bahwa kita ini negara produsen tembakau dan jangan disamakan dengan negara lainnya yang hanya mengonsumsi,” imbuh Sudarto.

Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menyatakan, PP 28/2024 dan wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek sangat tidak applicable bagi seluruh pihak. Selama ini peritel sudah mematuhi aturan yang berlaku, salah satunya menempatkan produk tembakau sesuai dengan aturan.

”Kami  pembayar pajak yang taat. Aturan ini sangat mendiskreditkan industri hasil tembakau di saat sektor ini, baik dari hulu ke hilir telah mematuhi aturan yang sudah berlaku sebelumnya. Seharusnya pemerintah fokus memberantas rokok ilegal dan tidak mencampuri rokok legal yang sudah taat hukum,” cetus Tutum Rahanta.

Tidak sampai di situ, Ketua Umum Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi melihat ancaman lain dari wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek itu. AMLI mengaku sudah merasakan dampaknya sejak PP 28/2024 masih dirancang. Pihaknya telah menyurati Menkes Budi Gunadi Sadikin, namun hingga saat ini tidak memberikan tanggapan sama sekali.

”Dari sejumlah daerah yang kami survei, 79 persen iklan berasal dari produk tembakau dan 86 persen terdampak PP 28/2024 karena 50 persen pendapatan mereka berasal dari iklan produk tembakau. Seharusnya peraturan ini dibuat lebih banyak edukasi, bukan melarang. Karena ini tentu akan berdampak besar pada kami selaku pengusaha media luar ruang,” ucap Fabianus Bernadi.

Sejumlah asosiasi yang terdiri dari pabrikan, petani tembakau dan cengkeh, serikat pekerja, pedagang/peritel, industri kreatif, penyiaran, hingga periklanan menandatangani pernyataan sikap bersama. Mereka memohon perlindungan pemerintah untuk tidak menyetujui ketentuan standardisasi kemasan dalam RPMK serta sejumlah pasal bermasalah dalam PP 28/2024 yang merugikan berbagai pihak.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #asosiasi #pertembakauan #tolak #peraturan #pemerintah #nomor #tahun #2024 #rancangan #peraturan #menteri #kesehatan

KOMENTAR