Sajak: Duka dalam Saku Celana
Duka dalam Saku Celana
Tuhan, tolong janganlah marah
Saku di celana ini telah robek dan duka jatuh berserakan menghalangi langkahku pulang
Kemarin baru kujahit sendiri di teras sambil minum air kelapa yang segar, tapi maafkan aku karena benang itu tak cukup kuat menahan beratnya recehan di dalamnya
Tuhan, duka-duka yang lain seperti pupuk yang membuat tanaman hidup lebih hijau
Namun, duka ini justru menyeret iman keluar dari pintu masjid ke kamar yang gelap
Duka ini tidak lagi datang hanya potong demi potong
Namun, seperti longsor yang meruntuhkan sebuah rumah
Bagaimana celana usang ini mampu melindungi saku yang berisikan duka itu
Tuhan, hujan tak bisa ditepis dan badai tak mampu dihadang
Meski sudah sembunyi di laut yang dalam, akan kutemui duka-duka itu dalam bentuk yang lain pula
Tuhan, jika tabah kiranya masih tersisa di langit-Mu meski itu hanya seporsi tolong berikan padaku
Jika berkenan celana ini dapat kupakai lagi, maka berikanlah aku gulungan benang yang lebih kuat
Akan kujahit kembali walau peluh berjatuhan duet dengan air mata
Tuhan, beberapa duka kadang tiada berbentuk tapi membuat warna celana ini luntur
Seperti mata yang dihadapkan kabut
Pada hari-hari seperti ini, aku memohon pertolongan
Rinari, 2025
Kepingan Dosa yang Tak Habis Kumakan
Tuhan, mengapa dosa selayaknya kopi yang membikin nagih penikmatnya
Seperti sepotong roti cokelat yang didambakan anak kecil, padahal ibunya melarang
Begitu memikat dan memabukkan
Untung atau rugi ketika dosa tidak memiliki wujud
Meski kadang samar perasaan gelisah saat mengunyahnya
Tuhan, selamatkan tubuh yang tidak bersalah ini
Ia hanya raga yang harus patuh dan lengket menempel jiwa
Tuhan, kepingan dosa ini tak ada habisnya
Sebagaimana manusia yang tak berhenti lahir
Nafsu sering kali kelaparan
Tidak tahan ketika sajian dosa yang seksi
Menggoda, melirik sambil berjoget ria
Rinari, 2024
Telepon dari Hamba
Berdering ponsel-Mu
Saya memanggil
Mengantre untuk bicara
Kalau boleh saya mau mengobrol yang asyik
Suruh saja malaikat-malaikat itu ngopi dulu, Tuhan
Saya ingin berdua saja dengan Mu
Kasihan bantal tidur ini
Tiap malam meleleh basah oleh tangis
Telah saya beri waktu sepuluh menit untuk sedih itu bertamu
Namun, sepertinya mereka betah tinggal di sini
Tuhan
Beri wadah yang memadai untuk perjalanan panjang nanti
Signal iman ini kadang kencang, kadang juga lemot
Khawatir apabila tiba-tiba baterainya habis
Sebelum pagi menjemput
Jika panggilan ini kau pangkas usai
Maka sebelum itu,
Isilah daya kepada reruntuhan
Yang sedang berusaha bangkit
Rinari, 2024
*) Rivana Ninda Utari (Rinari) adalah penulis yang berdomisili di Batang.