Mengenal Serangkaian Upacara Hari Raya Galungan Umat Hindu Bali, Berikut Makna dan Filosofinya
Perayaan Galungan oleh Umat Hindu di Bali . (ignartonosbg / Pixabay)
08:30
14 September 2024

Mengenal Serangkaian Upacara Hari Raya Galungan Umat Hindu Bali, Berikut Makna dan Filosofinya

 

Tidak lama lagi, umat Hindu di Bali akan kembali merayakan Hari Raya Galungan.

Tepatnya pada Rabu, 25 September 2024 mendatang, umat Hindu di Bali akan kembali merayakan Hari Raya Galungan.

Diketahui, umat Hindu di Bali merayakan Galungan setiap 210 hari sekali pada perhitungan penanggalan Pawukon dengan puncaknya pada hari Rabu Kliwon.

Kata Galungan berasal dari berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu Galung yang memiliki arti ‘menang atau bertarung’. 

Perayaan Galungan dirayakan dengan tujuan untuk mengenang pertarungan antara Dharma melawan Adharma dengan kemenangan di pihak Dharma.

Dharma memiliki arti kebenaran atau jalan yang benar, sedangkan Adharma berarti ketidakbenaran dan ketidakadilan.

Sehingga, perayaan Galungan juga diartikan sebagai peringatan melawan ketidakbenaran.

Umat Hindu Bali percaya bahwa Galungan menjadi upacara suci dan sakral yang memberikan kekuatan spiritual kepada manusia untuk membedakan Dharma dan Adharma.

Perayaan Galungan yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali memiliki serangkaian acara yang padat dan terdapat makna di dalamnya.

Melansir artikel Jurnal Jnanasiddhanta yang ditulis oleh Putu Maria Ratih, Galungan juga menjadi salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual maupun spiritual kepada Dewi Sampad dalam menegakkan Dharma.

Sementara melansir laman buleleng.bulelengkab.go.id berikut serangkaian upacara Hari Raya Galungan beserta maknanya:

Tumpek Wariga

Tumpek Wariga merupakan rangkaian pertama dari upacara Galungan yang jatuh 25 hari sebelum Galungan. Tumpek Wariga juga dikenal sebagai Saniscara (Sabtu) Kliwon, Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag dan Tumpek Pengarah.

Pada hari ini, dilakukan pemujaan kepada Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan tumbuhan-tumbuhan. Pada tumpek ini, umat Hindu Bali akan menyajikan sesajen berupa bubur sumsum yang diberi warna dan diberikan pada tiap jenis tanaman, seperti umbi-umbian, pohon yang berkembang biak generatif dan vegetaif.

Tumpek Wariga bermakna ungkapan cinta kasih serta perayaan manusia kepada tumbuhan-tumbuhan.

Sugihan Jawa

Sugihan Jawa akan dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang dengan melaksanakan upacara Mererebu atau Mererebon. Tujuan diadakan upacara tersebut adalah untuk menetralisir segala sesuatu yang negatif pada Bhuana Agung yang disimbolkan dengan pembersihan merajan dan rumah.

Sugihan Jawa berasal dari kata Sugi dan Jawa, sugi berarti bersih serta jawa atau jaba memiliki arti luar. Sehingga, Sugihan Jawa dimaknai sebagai pembersihan atau penyucian dari segala sesuatu yang berasal dari luar diri manusia.

Sugihan Bali

Sugihan Bali merupakan penyucian atau pembersihan diri dengan cara mandi dan melakukan pembersihan secara fisik. Pembersihan diri ini juga dilakukan dengan cara memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai tanda penyucian diri karena hari Galungan semakin dekat. Biasanya, ritual ini akan dilakukan pada hari Jum’at Kliwon wuku Sungsang.

Hari penyekeban

Penyekeban merupakan ritual menahan diri dari hal-hal yang tidak baik dan tidak dibenarkan oleh agama yang dilakukan pada Minggu Pahing wuku Dungulan. 

Hari Penyajan 

Penyajan akan dilakukan pada Senin Pon wuku Dungulan dan memiliki filosofi sebagai pemantapan diri untuk merayakan Galungan.

Umat Hindu Bali percaya, bahwa pada hari ini terdapat godaan dari Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu.

Hari Penampahan

Jatuh sehari sebelum perayaan Galungan, yaitu pada Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan berasal dari kata ‘nampa’ yang memiliki arti menyambut dimana pada hari ini umat Hindu di Bali akan membuat penjor.

Penjor merupakan tiang bambu tinggi yang melengkung ujungnya, berhiaskan janur kuning serta hiasan lainnya. Pembuatan penjor menjadi simbol rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Umat Hindu di Bali juga percaya pada hari ini leluhur mereka akan menyambangi keturunannya.

Hari Raya Galungan

Jatuh tepat pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, pada hari ini umat Hindu Bali akan melakukan sembahyang di rumah dan di pura.

Biasanya, masyarakat di Bali juga akan melakukan tradisi pulang kampung ke desa tempat mereka lahir dan sembahyang di sana.

 

Hari Umanis Galungan

Jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan diman umat Hindu di Bali juga akan melakukan sembahyang yang dilanjutkan dengan Dharma Shanti serta mengunjungi sanak-saudara.

Sementara itu, anak-anak biasanya akan melakukan tradisi Ngelawang, yaitu dengan menarikan barong disertai gamelan dari rumah satu ke rumah lainya. Sedangkan, penduduk yang rumahnya didatangi akan memberikan canang atau uang.

Hari Pemaridan Guru

Pemaridan Guru dilaksanakan pada Sabtu Pon wuku Galungan dimana pada hari ini umat Hindu di Bali akan memohon waranugraha kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai sebagai Sang Hyang Siwa Guru.

Pemaridan berasal dari kata Marid yang berarti memohon dan Guru berarti Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Ulihan

Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan, memiliki arti pulang atau kembalinya dewata dan leluhur ke kayangan.

Hari Pemacekan Agung

Berasal dari kata Pacek yang memiliki arti ‘tekek’ (dalam bahasa Bali) berarti tegar dan merupakan simbol keteguhan iman. Hari Pemacekan Agung akan dilakukan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.

Hari Suci Kuningan

Umat Hindu di Bali melakukan kuningan dengan cara memasang tamiang, kolem dan endong. Ketiga benda ini merupakan simbol senjata dari Dewa Wisnu, Dewa Mahadewa dan kantong perbekalan dari para dewata.

Pada hari ini, umat Hindu Bali akan melakukan sembahyang yang harus selesai sebelum jam 12 siang. Hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa sembahyang setelah jam 12 siang akan hanya diterima oleh para Bhuta karena para Dewata telah kembali ke Kayangan. Hal tersebut sebenarnya mengandung nilai kedisiplinan dan manajemen waktu .

Hari Pegat Wakan

Dilaksanakan pada Rabu Kliwon wuku Pahang dengan melakukan persembahyangan  dan mencabut penjor. Penjor yang dicabut tersebut kemudian akan dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah.

***

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #mengenal #serangkaian #upacara #hari #raya #galungan #umat #hindu #bali #berikut #makna #filosofinya

KOMENTAR