Bivitri Susanti Ungkap Dampak Positif dan Negatif soal Dihapusnya Presidential Threshold
Menurut pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, putusan ini bisa memiliki dampak positif dan negatif.
Pertama, dampak positif dari putusan MK menghapus aturan ambang batas pilpres adalah dominasi partai politik besar dan kartel politik bisa dibongkar.
Bivitri menyebut, pasti akan ada rekonfigurasi politik akibat putusan ini, seperti yang terjadi setelah MK mengubah ambang batas pencalonan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada serentak 2024 lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PPU-XXII/2024.
"Langsung konfigurasi politiknya berubah. Jadi mudah-mudahan bisa ada rekonfigurasi itu, kartel politik jadi bisa agak pecah lagi dan seterusnya."
"Dan ini bagus untuk demokrasi kita yang sekarang sudah jumud semua, ada parpol-parpol besar yang membuatkan kartel politik, bahkan sudah enggak ada oposisi mungkin, itu mudah-mudahan bisa berubah," ucap Bivitri Susanti saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis.
Kemudian, dampak positif lain ialah pemilih bisa mendapatkan lebih banyak pilihan.
"Jadi kalau free competition kan gitu, lebih banyak pilihan itu lebih bagus. Jadi kita punya harapan tentang sirkulasi elite," tuturnya.
Dengan begitu, sambung Bivitri, partai politik tak lagi dikontrol oleh ambang batas pemilihan presiden yang mana mereka berkumpul hanya menghitung persentase.
"Jadi mudah-mudahan lebih banyak pilihan, jadi kualitas demokrasinya mudah-mudahan lebih baik," terangnya.
Sementara itu, dampak negatif yang bisa timbul, jelas Bivitri, yaitu kemungkinan munculnya calon-calon bermasalah di hadapan publik.
"Karena sekarang kan semua bisa maju (pemilihan presiden). Jadi bayangkan bahwa asal punya banyak uang, bisa saja ada parpol-parpol yang mungkin dibeli sama orang-orang bermasalah."
"Atau mungkin enggak dibeli seperti dagang, tapi paling tidak dikooptasi, asal punya banyak uang lah intinya," ucap Bivitri.
Menurutnya, hal semacam itu bisa saja muncul karena MK memperbolehkan setiap parpol untuk mengusulkan calon.
Oleh sebab itu, Bivitri mengajak semua pihak untuk mendorong DPR dan parpol untuk memikirkan cara yang demokratis untuk menentukan calon.
Ia mencontohkan adanya konvensi partai politik di Amerika Serikat.
"Bagaimanapun pasti akan ada celah-celah yang dicari oleh parpol yang di Indonesia ini yang orientasinya kekuasaan dan modal, sampai sekarang."
"Itu dampak negatif yang harus kita antisipasi. Tapi tetap menurut saya (putusan MK) ini baguslah untuk bongkar dulu kartel politiknya," paparnya.
Bivitri juga berujar, jika penyehatan parpol bisa didorong, dalam jangka panjang menurutnya partai bisa semakin dekat dengan warga.
Selama lima tahun, parpol akan berupaya mendekatkan isu-isu publik yang dekat dengan warga.
"Jadinya parpol enggak nunggu, diam gitu empat tahun. Terus setahun menjelang pemilu baru mikirin, baru bikin kartel baru dan seterusnya."
"Mudah-mudahan itu enggak terjadi kalau kita bisa mendorong sekalian penyehatan parpol dan demokratisasi," tuturnya.
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan sejumlah putusan perkara uji materiil citra diri peserta pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). (Tribunnews.com/Danang Triatmojo)Siapkan Antisipasi
Dengan empat dampak itu, menurutnya ada beberapa hal yang harus diantisipasi terkait putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini.
"Satu, pembalikan putusan oleh DPR. Mungkin saja bisa terjadi," terangnya.
Kemudian, hal kedua yang harus diantisipasi adalah jika parpol-parpol tidak memikirkan langkah-langkah demokratisasi proses pemilihan internal.
"Mungkin karena mereka belum biasa, atau mungkin orientasinya hanya kemenangan jadi mereka enggak mikirin soal gimana caranya ada konvensi partai kah atau apa pun. Cuma mikirin, 'Oke gimana kita ngakalin sistem'. Nah ini yang harus kita antisipasi," ungkapnya.
Meski putusan MK baru keluar, Bivitri menyebut, ke depan semua pihak harus memberikan masukan-masukan ke DPR dan parpol.
"Supaya mereka itu mikirinnya supaya sistemnya demokratis, bukannya ngakalin sistem lagi," ucap Bivitri.
Pertimbangan MK
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Dikutip dari situs resmi MK, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal tersebut, berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah menilai, dengan terus mempertahankan ketentuan presidential threshold dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 pasangan calon.
Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung, dengan hanya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.
Bahkan, bila pengaturan penentuan besaran ambang batas dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan seperti itu, dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.
Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas presidential threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.
“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
(Tribunnews.com/Deni)
Tag: #bivitri #susanti #ungkap #dampak #positif #negatif #soal #dihapusnya #presidential #threshold