Saksi Ahli Kasus Timah Sebut Hanya BPK yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. 
00:42
28 Oktober 2024

Saksi Ahli Kasus Timah Sebut Hanya BPK yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara

- Ahli Hukum Administrasi Negara Bidang Hukum Lingkungan Hidup, Kartono menyebutkan bahwa pihak yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Adapun hal itu diungkapkan Kartono yang pada saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi ahli dalam sidang kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta. 

Pernyataan Kartono itu bermula ketika Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto bertanya soal siapa pihak yang berwenang menghitung kerugian negara. 

"Siapa sih yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan juga termasuk perekonomian negara," tanya Hakim Eko, Rabu (23/10/2024).

Mendengar pertanyaan Hakim, Kartono pun menjelaskan, bahwa pihak yang berhak menilai kerugian negara dalam suatu perkara tipikor adalah pihak BPK. 

"Kalau yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara sudah ada yang mulia rambunya, patokannya baik itu di Undang-Undang BPK dan Undang-Undang yang lainnya Tentu BPK," jawab Kartono

Kartono juga menuturkan, mengenai wewenang BPK itu merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 


"Namun demikian berkaitan dengan mendeclare (mengumumkan) kerugian keuangan negaranya itu tentu menjadi kewenangan dari BPK sesuai dengan pasal 10 Kalau tidak salah di Undang-Undang BPK," jelas Kartono

Adapun terkait kerugian negara akibat kasus korupsi timah ini sebelumnya diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. 

Bambang menyebut bahwa kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun. 

"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2/2024) lalu. 

Total Rp 271 triliun ini juga merupakan jumlah dari kerugian perekonomian akibat galian tambang di kawasan hutan dan nonhutan. Masing-masing nilainya Rp 223.366.246.027.050 dan Rp 47.703.441.991.650. 

"Sampai pada kerugiannya berdasarkan Permen LH Nomor 7/2014 ini kan dibagi du ya, dari kawasan hutan dan nonhutan," ujar Bambang. 

Berikut merupakan rincian nilai kerugian perekonomian negara di masing-masing kawasan.

Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan:

  • Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025.
  • Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000.
  • Biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025. 

Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan nonhutan:

  • Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 25.870.838.897.075.
  • Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15.202.770.080.000.
  • Biaya pemulihan lingkungan Rp 6.629.833.014.575. 

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.  

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei. 

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.  

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Editor: Wahyu Gilang Putranto

Tag:  #saksi #ahli #kasus #timah #sebut #hanya #yang #berwenang #menghitung #kerugian #negara

KOMENTAR