Film Dirty Vote Dinilai Buka Tabir Penguasa yang Culas dan Tidak Negarawan
Tangkapan Layar dari trailer Film Dokumenter Dirty Vote. (Istimewa)
20:00
12 Pebruari 2024

Film Dirty Vote Dinilai Buka Tabir Penguasa yang Culas dan Tidak Negarawan

      - Film dokumenter terkait pengungkapan dugaan kecurangan Pemilu 2024, Dirty Vote yang tayang pada Minggu (11/2) kemarin, menuai politik. Film dokumenter itu menampilkan tiga ahli hukum tata negara yakni, Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar.   Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi menyatakan, tiga ahli hukum tata negara dalam film tersebut, seperti tokoh fenomenal dunia yakni, John Stuart Mill, Timothy Snyder dan Abu al-A'la al-Ma'arri.    "Inilah petuah mereka 'seorang penguasa adalah seorang politisi, yang tidak selalu identik sebagai negarawan. Seorang politisi terus memikirkan kekuasaan, kemenangan, kekalahan dan balas dendam'," kata Islah kepada wartawan, Senin (12/2).   Islah mengungkapkan, seorang negarawan seharusnya meminta rakyatnya menjadi yang terbaik, dan tidak memaksa rakyat untuk memujinya sebagai yang terbaik.   Islah pun berpendapat, manusia pada dasarnya tidak pantas menguasai semua yang diinginkannya. Ia pun menganalogikan, seorang penguasa hanya memiliki kekuasaan selama tidak mengambil segalanya dari orang lain.    "Namun ketika penguasa telah merampas segalanya, maka orang lain seharusnya tidak wajib mengakui kekuasaannya," tegas Islah.   Islah menegaskan, terlalu banyak penguasa jahat dan culas yang membajak jubah-jubah kesalehan, sehingga pada akhirnya tersungkur dalam kebencian massal.    "Ketika seorang penguasa menipu rakyat dengan kata-kata penuh suka cita untuk menutupi kejahatannya, maka dia akan mati terinjak-injak oleh tarian rakyatnya," ucap Islah. Penjelasan ketiga ahli hukum di film itu berpijak atas sejumlah fakta dan data. Serta, bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.   Menurut Bivitri, film Dirty Vote merupakan sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.   “Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” ungkap Bivitri dalam keterangannya, Minggu (11/2).  

  Bivitri mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru.   “Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” ucapnya.   Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari. Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.    “Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” pungkas Feri.

Editor: Kuswandi

Tag:  #film #dirty #vote #dinilai #buka #tabir #penguasa #yang #culas #tidak #negarawan

KOMENTAR