Ironi Jembatan Kewek: Saat Jalan Ditutup, Warga Jogja Justru Temukan 'Surga' Bermain
Sejumlah anak bermain bola memanfaatkan penutupan jembatan Kewek di Kota Yogyakarta. (Suara.com/Ema)
17:48
18 Desember 2025

Ironi Jembatan Kewek: Saat Jalan Ditutup, Warga Jogja Justru Temukan 'Surga' Bermain

Baca 10 detik
  • Penutupan Jembatan Kewek Yogyakarta sejak 10 Desember 2025 karena struktur kritis.
  • Fenomena ini menyoroti krisis ruang terbuka publik Kota Yogyakarta yang padat, dengan RTH publik baru mencapai delapan persen.
  • Pakar menekankan kebutuhan mendesak ruang ekspresi sosial bagi pemuda, menyarankan kolaborasi aglomerasi dan optimalisasi bantaran sungai.

Penutupan Jembatan Kewek di Kota Yogyakarta ternyata bukan sekadar cerita teknis tentang infrastruktur tua yang rapuh.

Di balik barikade beton dan rekayasa lalu lintas, tersingkap sebuah ironi yang selama ini luput dari pandangan: betapa dahaganya warga kota akan ruang lapang.

Ketika akses menuju Malioboro itu mendadak sunyi dari deru mesin, fungsi ruang berubah drastis.

Aspal panas itu seketika menjelma menjadi ruang sosial. Anak-anak bermain bola, remaja bersepeda, hingga warga yang duduk santai menikmati sore.

Fenomena spontan ini menampar kesadaran kita tentang realitas kota padat seperti Yogyakarta: apakah warga benar-benar memiliki ruang publik, atau mereka baru bisa bernapas lega justru ketika jalan raya terpaksa ditutup?

Vonnis 'Kritis' Sang Jembatan Tua

Sorotan tajam mengarah ke Jembatan Kewek di Danurejan sejak akhir November 2025. Hasil pemeriksaan teknis membawa kabar buruk: struktur jembatan berusia lebih dari satu abad itu sudah "lelah".

Temuan patahan struktural, pergeseran, hingga penurunan konstruksi menjadi bukti nyata. Pemerintah Kota menilai jembatan ini sudah dalam kondisi kritis dan berbahaya jika terus menahan beban kendaraan berat.

"Kekuatannya tinggal antara 20-30 persen," ujar Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, beberapa waktu lalu.

Demi keselamatan, Dinas Perhubungan dan Satlantas bergerak cepat merumuskan rekayasa lalu lintas, terutama mengantisipasi lonjakan mobilitas saat libur Natal dan Tahun Baru.

Akhirnya, pada 10 Desember 2025, vonnis itu jatuh: akses kendaraan berat dan umum ditutup total.

Kini, water barrier menjadi pagar pembatas. Kendaraan besar dari arah Kotabaru dan Jalan Mataram dialihkan ke Jembatan Kleringan. Langkah ini adalah transisi sebelum pembongkaran total dan pembangunan ulang yang dijadwalkan mulai April 2026 oleh Kementerian PU dengan anggaran sekitar Rp19 miliar.

"Memang harus direvitalisasi, dibongkar, dan dibangun kembali. Pembangunan diperkirakan dimulai April 2026," ujar Kepala DPUPKP Kota Yogyakarta, Umi Akhsanti.

Infografis penutupan jembatan Kewek di Kota Yogyakarta ternyata bukan sekadar cerita teknis tentang infrastruktur tua yang rapuh. (Suara.com/Ema) PerbesarInfografis penutupan jembatan Kewek di Kota Yogyakarta ternyata bukan sekadar cerita teknis tentang infrastruktur tua yang rapuh. (Suara.com/Ema)

Sulap Jalan Raya Jadi Lapangan Bola

Sejak ditutup untuk rekonstruksi, wajah garang jalanan menuju Malioboro itu sirna. Tak ada lagi bus wisata atau mobil yang berdesakan.

Ruang itu mendadak lengang, namun tidak mati. Justru, keheningan mesin digantikan oleh suara yang makin langka terdengar di pusat kota: tawa riang anak-anak.

Setiap sore, bocah SD hingga orang dewasa "mengokupasi" Jembatan Kewek. Satria, siswa kelas 3 SD, adalah salah satu pengunjung setia. Baginya, aspal jembatan ini jauh lebih mewah dibanding fasilitas di kampungnya.

"Di balai sempit, enggak boleh main bola. Di sini bisa bebas," kata Satria polos.

Rina (54), warga Ledok Tukangan, mengamini hal itu. Bagi warga di permukiman padat yang minim lahan kosong, penutupan jembatan adalah berkah tersembunyi.

"Beberapa hari setelah ditutup itu lah mereka mulai berani main di Jembatan Kewek ini," ucap Rina.

Sementara bagi Firdaus, warga Kota Jogja lainnya, aktivitas warga ini memberi nyawa pada proyek infrastruktur yang mangkrak sementara.

"Daripada cuma main di gang," ujar Firdaus singkat namun menohok.

Pemandangan sore di Jembatan Kewek kini berubah menjadi festival sederhana: gawang kecil dipasang, papan skateboard beradu dengan aspal, hingga pemuda yang sekadar duduk menikmati sunset berlatar kereta api yang melintas.

Rehandika (18) menyebutnya bak lapangan baru di tengah kota yang sesak.

Jogja Semakin Sesak, Ruang Hijau Jauh dari Ideal

Fenomena Jembatan Kewek membuka mata pada data yang meresahkan. Dengan luas hanya 32,8 km persegi, Kota Yogyakarta dihuni 415.605 jiwa (Data Dukcapil 2024).

Kepadatan mencapai 12.664 jiwa per km persegi—angka yang fantastis dibanding rata-rata nasional.

Sempitnya lahan berbanding lurus dengan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Data DLH Kota Jogja 2024 mencatat RTH baru mencapai 23 persen (8 persen publik, 15 persen privat).

Angka ini masih di bawah mandat UU Penataan Ruang yang mensyaratkan 30 persen (20 persen publik).

"Kalau idealnya belum ya. Publiknya itu idealnya kan 20 persen, kita baru 8 persen," aku Kepala Bidang Ruang Terbuka Hijau Publik DLH Kota Jogja, Rina Aryati Nugraha.

Pemerintah berdalih keterbatasan lahan dan anggaran menjadi kendala utama. Strategi yang diambil kini adalah optimalisasi lahan pemerintah dan peningkatan kualitas taman yang sudah ada agar inklusif.

"Ruang terbuka hijau diharapkan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Jadi inklusi tanpa diskriminasi," ucapnya.

Terkait ramainya anak-anak di Jembatan Kewek, Rina Aryati mengakui realitas pahit di lapangan. Kawasan sekitar jembatan memang sangat padat dengan fasilitas publik yang minim.

Sejumlah anak bermain bola memanfaatkan penutupan jembatan Kewek di Kota Yogyakarta. (Suara.com/Hiskia) PerbesarSejumlah anak bermain bola memanfaatkan penutupan jembatan Kewek di Kota Yogyakarta. (Suara.com/Hiskia)

"Kewek itu kan padat banget. Di situ memang ada RTH kita, cuman satu tapi. Cuman satu pun enggak terlalu luas," tandasnya.

Meski ada rencana penambahan RTH tahun depan, Rina menyebut mekanismenya bersifat bottom up atau berdasarkan usulan warga.

Namun, proses ini tidak instan. Mulai dari cek status tanah hingga ketersediaan anggaran, jalannya panjang dan berliku.

"Kalau kita itu tergantung permintaan masyarakat. Jadi kan RTH itu dari bottom up. Jadi dari awal yang minta itu masyarakat," jelas Rina.

Minat warga sebenarnya tinggi, terlihat dari puluhan proposal yang masuk setiap tahun. Sayangnya, lagi-lagi anggaran menjadi tembok penghalang realisasi.

Bahaya Laten Hilangnya Ruang Ekspresi

Pakar Perencanaan Kota Fakultas Teknik UGM, Bakti Setiawan, melihat fenomena Jembatan Kewek sebagai teguran keras. Ini adalah bukti sahih bahwa Yogyakarta krisis ruang publik, terutama bagi kawula muda.

"Itu terbukti to bahwa kita itu kurang ruang yang tidak hanya ruang terbuka hijau, tapi betapa anak-anak cilik [kecil] itu butuh ruang terbuka umum," ungkap Bakti.

Bakti memperingatkan, jika energi anak muda tidak disalurkan di ruang yang tepat, mereka akan mencari pelampiasan lain—bahkan di tempat berbahaya seperti jalanan. Ruang publik, menurutnya, bukan sekadar taman, tapi ruang pelepasan stres dan interaksi sosial.

Ia mengkritik pembangunan yang terlalu fokus pada wisata seperti pedestrian Malioboro, namun melupakan ruang sosial di tingkat kampung.

"Ruang-ruang publik tak perlu bermimpi sebesar kayak Malioboro, cuma di mana pun kampung dipastikan ruang terbuka umum," tuturnya.

Ke depan, Bakti menyarankan Kota Yogyakarta tidak berjalan sendirian. Kolaborasi dengan wilayah aglomerasi seperti Sleman dan Bantul mutlak diperlukan. Selain itu, potensi bantaran sungai (Winongo, Code, Gajah Wong) yang kini tertutup bangunan, seharusnya bisa disulap menjadi green network.

"Padahal bantaran sungai itu sebenarnya potensi. Bisa dijadikan istilahnya green network, jaringan hijau," pungkasnya.

Editor: Dwi Bowo Raharjo

Tag:  #ironi #jembatan #kewek #saat #jalan #ditutup #warga #jogja #justru #temukan #surga #bermain

KOMENTAR