Relasi Pemerintah Pusat-Daerah dalam Darurat Bencana
KETEGANGAN relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mewarnai penanganan darurat bencana di Aceh. Polemik muncul setelah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyampaikan permintaan bantuan kepada sejumlah lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk merespons bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi.
Di tingkat pusat, langkah tersebut dipersoalkan dengan merujuk pada kewenangan hubungan luar negeri yang secara konstitusional berada pada pemerintah pusat. Di Aceh, sejumlah pengamat politik dan hukum membenarkan langkah Gubernur dengan merujuk pada kekhususan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA).
Undang-undang ini lahir sebagai bagian dari kesepakatan damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, yang memberikan ruang kerja sama tertentu dengan pihak luar negeri dalam kerangka kepentingan Aceh. Dengan dasar kemanusiaan, polemik tersebut menunjukkan bahwa persoalan yang muncul tidak semata menyangkut benar atau salahnya prosedur hubungan luar negeri.
Di balik perdebatan itu terdapat persoalan yang lebih substantif, yakni bagaimana kewenangan dijalankan dan komando dibentuk ketika waktu menjadi faktor penentu keselamatan warga.
Tulisan ini tidak mengulang polemik tersebut, melainkan menelaah bagaimana relasi pemerintah pusat dan daerah memengaruhi kecepatan dan efektivitas respons negara pada fase paling kritis penanganan bencana.
Darurat Bencana sebagai Ujian Relasi Pemerintah Pusat-Daerah
Darurat bencana merupakan ujian paling nyata bagi cara negara bekerja. Fokusnya bukan hanya pada kesiapan logistik atau kapasitas teknis, melainkan pada kejelasan kepemimpinan, pembentukan komando, dan keterpaduan sistem ketika keputusan harus diambil dalam waktu terbatas. Pada fase inilah kualitas relasi antara pemerintah pusat dan daerah diuji secara langsung.
Secara normatif, pembagian kewenangan dalam penanganan darurat bencana telah diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam Bab III PP 21/2008, fase tanggap darurat ditegaskan sebagai ruang tindakan cepat yang mencakup pengkajian segera, penetapan status darurat, penyelamatan dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, hingga pemulihan sarana dan prasarana vital.
Regulasi ini memberikan kewenangan komando kepada Kepala BNPB atau kepala BPBD sesuai tingkat dan lokasi bencana untuk mengerahkan sumber daya dan mengoordinasikan instansi terkait dalam satu sistem kendali.
PP 21 Tahun 2008 juga memberikan kemudahan khusus dalam kondisi darurat, termasuk pengerahan personel, peralatan, dan logistik, serta mekanisme pengadaan barang dan jasa secara khusus. Dengan demikian, secara hukum tidak terdapat kekosongan kewenangan pada fase golden time.
Ketika respons berjalan lambat, persoalannya bukan terletak pada ketiadaan dasar hukum, melainkan pada kegagalan mengaktifkan mandat yang telah tersedia. Namun dalam praktik, relasi pemerintah pusat dan daerah kerap dijalankan secara hierarkis, bukan fungsional sebagaimana dirancang oleh regulasi. Banyak keputusan operasional tertahan karena menunggu legitimasi dari tingkat yang lebih tinggi, seolah-olah tindakan baru sah setelah ada pernyataan politik tertentu.
Pola ini membuat fase paling krusial dalam penanganan bencana diisi oleh kehati-hatian administratif, bukan kepemimpinan operasional.
Sinergitas Pemerintah Pusat-Daerah yang Tidak Optimal
Perkembangan penanganan bencana di Aceh memperlihatkan persoalan tersebut dengan jelas. Pada fase golden time, respons dari pemerintah pusat dan daerah sama-sama tidak bergerak optimal. Informasi awal tidak segera dikonsolidasikan sebagai krisis, struktur komando tidak segera terbentuk, dan keputusan strategis tertunda. Akibatnya, intervensi tidak berjalan efektif pada jam-jam paling menentukan.
Kondisi ini terlihat nyata dalam penanganan bencana di Aceh Tamiang. Dalam rentang waktu yang krusial, situasi darurat di wilayah tersebut tidak segera diperlakukan sebagai bencana serius yang membutuhkan respons terpadu. Pertolongan hadir secara parsial dan tidak berada dalam satu sistem komando yang jelas. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak tampil sebagai pengendali operasi pada fase paling kritis.
Sayangnya, keterpaduan pusat dan daerah sebagaimana diamanatkan PP 21 Tahun 2008 tidak terlihat bekerja secara efektif dalam kasus ini. Komando tidak segera terbentuk, eskalasi informasi berjalan lambat, dan respons awal tidak menunjukkan satu sistem operasi yang terpimpin. Yang tampak justru dua level pemerintahan berjalan tanpa koordinasi yang jelas.
Dalam ruang inilah relawan dan masyarakat bergerak. Regulasi kebencanaan memang mengakui dan melindungi peran relawan sebagai bagian dari sistem penanggulangan bencana. Namun relawan seharusnya bekerja dalam struktur yang terarah, bukan menggantikan fungsi komando. Ketika relasi pusat–daerah tidak berfungsi dengan baik, relawan justru menutup kekosongan negara, bukan melengkapinya.
Situasi ini menegaskan bahwa persoalan utama penanganan bencana bukan terletak pada pembagian kewenangan, melainkan pada kegagalan menjalankan keterpaduan kewenangan tersebut. Ketika pemerintah pusat dan daerah tidak mengoptimalkan mandatnya, fase golden time berubah menjadi waktu yang hilang. Dalam bencana, keterlambatan semacam ini hampir selalu berimplikasi pada meningkatnya risiko bagi warga terdampak.
Memperkuat Relasi Pusat-Daerah melalui Konsistensi pada Regulasi
Pembenahan kebijakan kebencanaan perlu ditempatkan dalam kerangka relasi pusat–daerah yang lebih tegas dan operasional. Yang dibutuhkan bukan penambahan aturan, melainkan konsistensi menjalankan PP 21 Tahun 2008 sebagaimana dirancang.
Sejak fase tanggap darurat dimulai, harus jelas siapa memegang komando operasional, bagaimana dukungan pusat diberikan, dan bagaimana seluruh aktor bekerja dalam satu rantai kendali.
Darurat bencana menuntut negara hadir sebagai satu sistem. Peran relawan penting, tetapi tidak dapat menggantikan fungsi komando. Keselamatan warga hanya dapat dijamin ketika kewenangan yang telah diatur dijalankan secara cepat, jelas, dan terpadu.
Tag: #relasi #pemerintah #pusat #daerah #dalam #darurat #bencana