Cerita Siswa Sekolah Rakyat Berjuang Lepas dari Jerat Trauma Bullying
Siswa mengikuti kegiatan pembelajaran di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 8 Cimahi, Jawa Barat, Selasa (22/7/2025). Kementerian Sosial (Kemensos) menyebut jumlah anggaran untuk satu siswa Sekolah Rakyat sebesar Rp48 juta per tahun yang digunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan guna mendukung proses pembelajaran di sekolah itu. (ANTARA FOTO/Abdan Syakura)
16:56
13 Desember 2025

Cerita Siswa Sekolah Rakyat Berjuang Lepas dari Jerat Trauma Bullying

- Tangis pelan dan samar terdengar di sebuah ruang kelas Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Jakarta Selatan, Sabtu (13/12/2025) siang.

Sejumlah siswa duduk bersila, memejamkan mata, mengatur napas, dan perlahan membuka kembali ingatan yang selama ini mereka simpan rapat.

Di hadapan kertas kosong, luka-luka lama kembali muncul, tentang rumah, tentang kegagalan, tentang ejekan, dan tentang rasa takut yang tak kunjung reda.

Kelas itu bukan pelajaran biasa, melainkan terapi mindfulness yang menjadi bagian dari program rutin setiap minggu.

Program ini dirancang untuk membantu siswa menghadapi beban psikologis yang mereka bawa sebelum dan selama bersekolah di asrama.

Semua Anak Membawa Luka

Wali asrama SRMA 10 Jakarta Selatan, Erika Aritonang menjelaskan, terapi ini lahir dari hasil asesmen mendalam terhadap para siswa.

“Hampir semua anak membawa luka. Ada yang ringan, sedang, sampai berat,” kata Erika.

“Luka itu bisa berasal dari keluarga, lingkungan, atau pengalaman dibully sejak lama,” lanjut Erika.

Menurut dia, luka batin yang tak tertangani sering kali muncul dalam bentuk pelanggaran disiplin, emosi yang meledak, atau tangisan tiba-tiba.

Namun di sekolah ini, perilaku tersebut tidak langsung diberi label kenakalan.

“Kami tidak mengenal konsep anak nakal. Kalau ada pelanggaran, artinya ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja pada anak itu,” ujar Erika.

Setiap wali asuh di SRMA 10 hanya mendampingi sepuluh siswa. Pola ini memungkinkan pendekatan personal dan pemantauan emosional yang lebih dekat.

Dari hasil asesmen para wali asuh inilah, sekolah kemudian merancang terapi kelompok dan konseling individu, terutama bagi siswa dengan trauma berat.

Wali asrama SRMA 10 Jakarta Selatan Erika AritonangKOMPAS.COM /KIKI SAFITRI Wali asrama SRMA 10 Jakarta Selatan Erika Aritonang

Salah satu siswa yang mengikuti terapi hari itu sebut saja namanya Zahra (17) (nama samaran). Saat sesi mindfulness berlangsung, air matanya tak terbendung.

“Tiba-tiba ingat masa kecil, orang tua, dan kegagalan aku. Aku juga ingat nenek dan kakek yang dulu nemenin aku waktu lagi berat,” ujar Zahra pelan.

Bagi Zahra, terapi ini menjadi ruang aman untuk berdamai dengan diri sendiri.

“Di sini aku belajar mengatur napas, belajar sayang sama diri sendiri. Menurut aku, terapi seperti penting banget, apalagi buat orang-orang yang punya trauma,” kata Zahra.

Cerita serupa datang dari siswa yang namanya juga disamarkan, Sarah (16). Kertas kosong yang ia pandangi dalam sesi terapi membuatnya membandingkan dirinya yang dulu dan sekarang.

“Kertas polos itu kayak aku waktu kecil. Sekarang kertasnya penuh coretan. Dari situ aku sadar, ternyata aku belum sepenuhnya jadi diri aku sendiri,” ujar Sarah.

"Aku Pendam Tiap Hari"

Namun, tidak semua luka datang dari masa lalu yang jauh. Febri (16), juga nama samaran, masih bergulat dengan trauma bullying yang ia alami sejak SMP, bahkan hingga kini dia berada di sekolah.

Bahkan di lingkungan sekolah barunya, ia mengaku masih kerap menjadi sasaran ejekan dan perlakuan fisik.

“Aku pendam tiap hari. Luka lama ketambah luka baru, jadi susah ngontrol emosi,” kata Febri.

Febri mengaku masih menjalani pengobatan jalan ke psikiater sejak SMP. Ia berharap lingkungan sekolah bisa menjadi tempat yang benar-benar aman.

“Harapanku mereka berhenti ngebully. Aku ingin fokus sekolah dan kejar cita-cita,” ujarnya.

Ilustrasi siswa SD.PEXELS/AGUNG PANDIT WIGUNA Ilustrasi siswa SD.

Penanganan Kasus Bullying

Erika menegaskan, penanganan kasus bullying di SRMA 10 tidak dilakukan dengan pendekatan menghukum semata. Edukasi menjadi langkah utama.

“Kami jelaskan ke anak-anak bahwa bercanda itu bisa berbeda maknanya bagi setiap orang. Kata-kata kecil bisa meninggalkan luka besar,” kata Erika.

Sekolah juga mengedepankan rekonsiliasi dan komunikasi, termasuk melibatkan orang tua. Wali asuh rutin melaporkan perkembangan siswa kepada keluarga dan menggelar diskusi kelompok terarah.

“Kami tidak hanya menyembuhkan anaknya, tapi juga mengajak orang tuanya ikut berproses,” ujar Erika.

Di tengah stigma bahwa bullying sering dianggap sepele, SRMA 10 Jakarta Selatan memilih jalan berbeda, mendengarkan, memahami, dan menemani.

Di ruang-ruang terapi sederhana itulah, para siswa perlahan belajar bahwa luka boleh ada, tetapi mereka tidak harus hidup selamanya di dalamnya.

“Terapi yang kita berikan juga akan berbeda. Kalau tadi konsepnya kelompok, jika luka batinnya berat, kita akan memanggil secara pribadi atau counseling,” ungkap Erika.

“Bagaimanapun kita harus menjaga kerahsian dari anak-anak ini ya, trauma-trauma apa yang mereka alami,” tegasya.

Tag:  #cerita #siswa #sekolah #rakyat #berjuang #lepas #dari #jerat #trauma #bullying

KOMENTAR