Siklon Tropis RI Kian Mengganas, Namun Respons Atasnya Masih Pakai Cara Lama
KAYU GELONDONGAN: Foto udara tumpukan gelondongan kayu di permukiman di Tabiang Bandang Gadang, Nanggalo, Padang, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang sejak dua pekan lalu masih tersangkut di wilayah itu. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
10:42
11 Desember 2025

Siklon Tropis RI Kian Mengganas, Namun Respons Atasnya Masih Pakai Cara Lama

- Bencana hidrometeorologi ekstrem, terutama yang dipicu oleh siklon tropis, kini menjadi ancaman high frequency dan high impact, yang menuntut perubahan drastis dalam sistem peringatan dini dan penanggulangan bencana di Indonesia.

Pemulihan pasca-bencana dinilai tidak bisa lagi hanya mengandalkan pola kerja lama, yakni bergantung sepenuhnya kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Pakar klimatologi dan perubahan iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihasti menyoroti frekuensi dan dampak destruktif bencana hidrometeorologi ekstrem meningkat tajam dalam 10 tahun terkahir, terutama yang dipicu oleh siklon tropis yang tumbuh cepat di kawasan tropis Indonesia.

Ia pun mengaku sudah berulang kali mengingatkan pemerintah atas bahaya hal ini.

“BRIN sudah sangat concern. Sejak kejadian-kejadian besar sebelumnya, saya selalu bilang bahwa badai siklon tropis ini ancaman baru yang harus diseriusi,” kata Erma kepada Kompas.com, Rabu (10/12/2025).

“Tapi yang terjadi selama ini lebih banyak berhenti pada diseminasi. Padahal kita butuh solusi sistemik,” lanjutnya.

Beda Siklon Tropis dengan Bencana Lainnya

Menurut Erma, badai siklon tropis berbeda dengan bencana besar lain, seperti gempa bumi dan tsunami, meski sama-sama mampu menimbulkan kehancuran besar.

Siklon tropis bersifat high frequency dan high impact atau lebih sering terjadi. Peningkatan intensitas ini juga didorong oleh krisis iklim yang terjadi.

Sementara gempa dan tsunami low frequency, namun memiliki dampak yang tak kalah besarnya.

"Siklon tropis, sering terjadi dan dampaknya sangat luas. Setiap tahun terjadi, kita sekarang punya potensi badai ini,” katanya.

Perlu Tim Khusus di Bawah Presiden

Lantaran memiliki high frequency dan high impact, penanganan persoalan siklon tropis, menurutnya, tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga seperti BNPB. 

“BNPB menangani semua jenis bencana. Maka wajar bila tidak bisa fokus pada ancaman yang high frequency seperti siklon. Kita butuh sistem baru, struktur baru, yang benar-benar dedicated,” ujarnya.

Oleh karenanya, Erma memberikan rekomendasi strategis kepada pemerintah, yaitu:

1. Membentuk Tim Mitigasi Siklon Tropis di Bawah Presiden Langsung

Tim ini, menurut Erma, harus berdiri secara independen dan diisi oleh pakar lintas disiplin. Tugasnya bukan hanya merumuskan kebijakan mitigasi, tapi juga punya bargaining power untuk menentukan respons cepat ketika ancaman siklon meningkat.

“Ini harus level Presiden. Karena ancamannya nasional, berdampak ekonomi besar, dan tak bisa ditangani satu badan saja,” jelasnya.

Nantinya, tim tersebut bertugas untuk memastikan setiap daerah memiliki prosedur operasional standar (SOP) dalam mitigasi siklon; membuat sistem peringatan dini yang efektif; serta menyiapkan skema evakuasi yang bisa dijalankan bahkan sejak enam bulan sebelum musim siklon berlangsung.

2. Membangun Budaya "Siklon Ready Nation"

Erma menilai, Indonesia perlu membangun kesadaran publik seperti yang telah dilakukan di negara lain yang rutin diterjang badai.

“Kita perlu Siklon Ready Nation, bangsa yang siaga menghadapi siklon tropis. Termasuk pembentukan komunitas Siklon Ready Community, seperti Tsunami Ready Community yang sudah ada,” katanya.

Program tersebut harus merinci panduan sejak enam bulan sebelum puncak musim siklon, satu bulan sebelum, hingga panduan mingguan menjelang potensi badai. Semua harus berbasis komunitas dan dapat diakses publik.

Petugas kepolisian dan BPBD membantu warga melewati banjir di Desa Silam, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (10/12/2025).KOMPAS.COM/Dok. Polres Kampar. Petugas kepolisian dan BPBD membantu warga melewati banjir di Desa Silam, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (10/12/2025).

“Di luar negeri, sudah sangat biasa, karena mereka sudah sering kan menangani bencana. Dan itu, merumuskan potensi sejak 6 bulan sebelumnya, harus ngapain, step-stepnya seperti apa, dan mendekati, 1 bulan sebelumnya, apa yang harus dilakukan, dan emergency level seperti apa hingga evakuasi harus dipikirkan,” lanjut dia.

Sistem Peringatan Dini dan Kesigapan Pemda Dikritik

Erma menyoroti kelemahan Indonesia dalam menghadapi siklon tropis, yakni belum memiliki sistem peringatan dini yang memenuhi standar internasional. 

“Peringatan dini itu bukan rilis. Peringatan dini harus muncul di semua TV, semua kanal media, berulang-ulang, sampai orang aware. Itu baru early warning system. Kalau hanya rilis, itu informasi awal,” ujarnya.

Menurutnya, sistem peringatan dini itu harus diinformasi berbulan-bulan sebelum musim siklon terjadi. Sementara, ketika sudah mendekati waktunya, intensitas pemberian informasi peringatan dini ditingkatkan.

Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), Harkunti menilai, respons pemerintah daerah sejauh ini masih lemah. Padahal sistem peringatan dini sudah cukup baik, menurutnya.

“Nah, di kita ini memang upaya sudah cukup tinggi ya. Untuk pernyataan dini tsunami sudah bagus. Nah, respon juga sudah lumayan. Tetapi di tingkat daerah, masih tergagap-gagap karena belum siap. Nah, yang tergagap-gagap itu di pemerintah daerah ya,” ujar Harkunti beberapa waktu lalu.

Ia kemudian membandingkan pemda dengan Jepang yang sudah memiliki budaya bosai (siaga bencana) yang mengakar kuat di masyarakatnya. Sehingga, ketika bencana terjadi, risiko bencana sudah bisa dikurangi.

“Bosai itu sudah jadi budaya. Mulai dari pencegahan sebelum bencana, saat bencana, hingga pascabencana, semuanya ditata dan melibatkan banyak institusi,” ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (9/12/2025).

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tengah mempercepat penanganan infrastruktur jalan dan jembatan yang rusak akibat banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera yakni Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), serta Sumatera Barat (Sumbar).Dok. Kementerian PU Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tengah mempercepat penanganan infrastruktur jalan dan jembatan yang rusak akibat banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera yakni Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), serta Sumatera Barat (Sumbar).

Pemulihan Jangka Panjang

Erma menilai,selama ini pemerintah sering terjebak dalam rutinitas tanggap darurat tanpa perencanaan jangka panjang yang jelas.

“Kondisi sekarang sudah menunjukkan betapa rentannya kita. Ini ancaman nasional. Dampaknya ke ekonomi akan besar. Tapi saya lihat di DPR pun tidak ada yang bersuara keras soal mitigasi. Yang ramai justru investigasi, bukan pencegahan,” ujarnya.

Menurutnya, bencana besar yang terjadi pada tahun ini merupakan sinyal keras bahwa sistem mitigasi di Indonesia masih jauh dari ideal.

“Di kalangan ilmuwan, kita bilang ini sudah kecolongan. Peringatan dini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Dan kalau siklon makin sering terjadi, kita tidak bisa menghadapi dengan pola yang sama,” tegasnya.

Meskipun BRIN telah membentuk Satgas Tanggap Darurat di wilayah Sumatera, menurutnya, keberadaannya hanya bersifat sementara dan tidak menjawab kebutuhan jangka panjang.

“Satgas itu tanggap darurat saja. Setelah itu siapa yang handle? Ini harus permanen,” katanya.

Dengan ancaman siklon tropis yang terus meningkat dari November hingga April setiap tahun, Erma meminta pemerintah segera mengambil langkah taktis dan strategis, bukan hanya responsif setelah bencana terjadi.

“Kita harus punya keputusan strategis dan taktis dari Presiden. Supaya tidak terus-terusan begini setiap tahun. Ini sudah gawat. Kita di BRIN sudah punya banyak kajian kita dari 5 tahun terakhir ini, soal badai ini,” tegasnya.

Tag:  #siklon #tropis #kian #mengganas #namun #respons #atasnya #masih #pakai #cara #lama

KOMENTAR