Menggoyang Gus Yahya
DALAM beberapa hari terakhir, publik kembali menoleh ke Nahdlatul Ulama. Bukan karena agenda besar keumatan, melainkan kabar yang mengguncang kepemimpinan di tubuh PBNU.
Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU yang beredar luas pada 20 November 2025, memuat permintaan agar Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf—Gus Yahya—mengundurkan diri dalam waktu tiga hari.
Bila tidak, berdasarkan risalah tersebut, Syuriyah menyatakan akan menempuh langkah pemberhentian.
Ruang publik sontak terbelah antara yang terkejut, bingung, dan gelisah. Bagi sebagian orang NU, risalah itu bukan saja dokumen organisasi, tetapi sinyal bahwa badai besar sedang berhembus di rumah besar NU.
Nama Gus Yahya selama ini menjadi simbol energi baru dalam tubuh organisasi: modern, terbuka, dan berani memimpin NU memasuki gelanggang global. Karena itu, kabar ini bukan sekadar konflik pengurus, melainkan persoalan arah ke depan NU.
Dalam risalah Syuriyah, terdapat dua alasan utama rekomendasi agar Gus Yahya mengundurkan diri.
Pertama, penunjukan narasumber dalam kegiatan kaderisasi AKN NU yang dinilai sebagian pengurus Syuriyah berpotensi menyalahi prinsip Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah.
Penilaian ini—apa pun tafsirnya—menunjukkan adanya perbedaan pandangan dalam membaca hubungan NU dengan dunia global dan dinamika internasional.
Kedua, risalah tersebut memuat catatan mengenai dugaan pelanggaran tata kelola keuangan di lingkungan PBNU.
Catatan ini masih berada pada taraf laporan internal, dan belum dipublikasikan audit terbuka atau kesimpulan final. Namun, penyebutannya dalam risalah cukup untuk menandai adanya ketegangan mengenai pengelolaan organisasi.
Jika ditarik ke dalam konteks yang lebih dalam, persoalan ini menyentuh ketegangan antara dua corak kepemimpinan: NU yang bergerak cepat merespons dunia modern, dan NU yang berjalan perlahan demi menjaga tradisi.
Untuk sebagian kalangan muda NU, Gus Yahya adalah lokomotif perubahan. Untuk sebagian yang lain, perubahan yang cepat justru dilihat sebagai risiko bagi kearifan tradisi.
Kabar risalah itu menyebar lebih cepat daripada mekanisme organisasi berjalan. Dalam hitungan jam, perdebatan meluas melalui media arus utama dan percakapan digital. Namun, respons internal juga muncul dengan cepat.
Sejumlah Pengurus Wilayah NU menggelar rapat koordinasi darurat dan mayoritas menyampaikan keberatan terhadap dorongan agar Gus Yahya mundur.
Sikap PWNU ini menandai bahwa tidak semua pihak dalam organisasi sepakat dengan isi risalah.
Sementara itu, Gus Yahya mengaku sama sekali tidak pernah terbesit untuk mundur dari Ketua Umum PBNU. Ia menekankan mendapat mandat dari peserta Muktamar untuk memimpin PBNU sebagai ketua tanfidziyah selama 5 tahun sejak Muktamar NU ke-34 pada 2021 lalu di Provinsi Lampung.
"Saya mendapat mandat 5 tahun memimpin NU, karena itu akan saya jalani selama 5 tahun, insya Allah saya sanggup," kata dia.
Legitimasi
PBNU memiliki struktur kepemimpinan yang unik: Rais Aam memegang otoritas keagamaan tertinggi melalui Syuriyah, sedangkan Ketua Umum memegang otoritas eksekutif tertinggi melalui Tanfidziyah. Keduanya dirancang sebagai dwitunggal, bukan pengganti satu sama lain.
Dalam AD/ART PBNU, mekanisme pemberhentian Ketua Umum hanya dapat dilakukan melalui forum permusyawaratan yang ditetapkan, termasuk muktamar atau keputusan dalam forum bersama Rais Aam — bukan oleh rapat harian semata.
Di sinilah letak titik krusialnya: Syuriyah memiliki otoritas moral tertinggi, tetapi Tanfidziyah menjalankan operasional. Ketidakseimbangan relasi keduanya selalu berpotensi menjadi sumber ketegangan organisasi.
Karena itu, perdebatan yang mengemuka bukan sekadar “siapa yang benar,” melainkan “keputusan siapa yang sah”.
Legitimasi bukan aksesori organisasi, tetapi fondasi keberlanjutannya. Tanpa itu, setiap keputusan hanya akan menambah kegaduhan.
Perbedaan pandangan dalam organisasi keagamaan bukan perkara baru. Namun, yang paling berbahaya adalah ketika persoalan organisasi menjadi arena perebutan pengaruh politik.
NU selalu menjadi magnet kekuasaan. Sejak era Orde Lama hingga pascareformasi, siapapun yang memimpin NU hampir selalu mempunyai dampak terhadap konstelasi nasional.
Itulah sebabnya kegaduhan internal PBNU berisiko menarik perhatian dan intervensi pihak luar — baik secara terbuka maupun tersembunyi.
Jika konflik ini dibaca sebagai perbedaan ideologi, NU akan mencari jalan pulang. Jika dibaca sebagai masalah tata kelola, audit dan perbaikan prosedur akan menjadi solusinya. Namun jika konflik dibaca sebagai perebutan pengaruh, NU akan retak.
Inilah bahaya sesungguhnya. Bukan perbedaan pendapat, melainkan kemungkinan bahwa perbedaan pendapat ditunggangi ambisi kekuasaan.
Ujian
NU sudah terlalu sering diuji: gesekan politik kepemimpinan era 1950-an, tarik-menarik identitas era reformasi, hingga gelombang digital yang membelah masyarakat Indonesia ke dalam kubu-kubu ekstrem.
Namun, NU selalu selamat bukan karena bebas dari konflik — melainkan karena kedewasaan moral menjadi sandaran terakhir para pemimpinnya.
NU selamat karena pada titik tertentu semua pihak sama-sama menurunkan nada suara. Bukan karena kalah atau menang, tetapi karena sadar bahwa NU harus tetap lebih besar daripada siapa pun di dalamnya.
Kebesaran moral, bukan sekadar struktur organisasi, adalah pagar terakhir keselamatan NU.
Hari ini, pagar itu kembali diuji. Yang dipertaruhkan bukan hanya jabatan ketua umum, bukan juga kewibawaan Syuriyah, tetapi keutuhan rumah besar NU — rumah yang diwariskan oleh para pendiri, para masyayikh, dan para kiai yang dengan sabar menjaga martabat NU selama hampir seabad.
Masalah-masalah yang disebut dalam risalah Syuriyah dapat diperbaiki. Kaderisasi dapat diperjelas. Transparansi keuangan dapat diperkuat. Semua itu mungkin.
Yang tidak boleh hilang adalah kesadaran kolektif bahwa NU bukan sekadar organisasi — ia adalah ikatan batin.
Para pemimpin NU hari ini, baik Syuriyah maupun Tanfidziyah, memikul beban sejarah. Mereka bukan hanya pemegang mandat struktural, tetapi pewaris amanat peradaban Islam Nusantara.
NU ada sebelum mereka, dan NU akan tetap ada setelah mereka. Karena itu, siapa pun yang mencintai NU mestinya mencintai keutuhannya terlebih dahulu sebelum memenangkan pendapatnya sendiri.
Keputusan apa pun nantinya: rekonsiliasi, konsolidasi, atau forum permusyawaratan lanjutan, hendaknya ditempuh dengan mekanisme yang bersih, sah, dan bermartabat. Sebab sah saja tidak cukup, dan bermartabat saja tidak cukup. Keduanya harus berjalan bersama.
Kisah ini belum selesai. Dan mungkin penyelesaiannya tidak akan sederhana. Namun, bangsa ini berharap, apa pun hasil akhirnya, PBNU tidak kehilangan kejernihan moralnya.
Sebab bila NU goyah, yang goyah bukan hanya organisasi — tetapi salah satu penyangga terbesar moderasi dan persatuan Indonesia.
NU terlalu besar untuk diruntuhkan oleh satu nama. Terlalu berharga untuk dipatahkan oleh konflik kelompok mana pun. Dan terlalu penting bagi republik ini untuk dibiarkan terluka.
Yang paling dibutuhkan hari ini bukan mencari pemenang, melainkan mencari kedewasaan.
Sebab NU hanya akan tetap utuh jika semua pihak ingat: NU harus tetap lebih besar daripada siapa pun yang berada di dalamnya.
Tag: #menggoyang #yahya