Menguji Konsistensi Negara Hukum dan Supremasi Sipil
Anggota Komisi Percepatan Reformasi Listyo Sigit Prabowo berjalan usai memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11/2025). Komisi yang dibentuk untuk melakukan kajian terhadap institusi Polri itu nantinya akan memberikan laporan secara periodik kepada Presiden Prabowo Subianto. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
08:20
23 November 2025

Menguji Konsistensi Negara Hukum dan Supremasi Sipil

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 sebetulnya sudah menjawab secara terang benderang perdebatan lama: anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil.

Jika ingin berkarier di jabatan sipil, ia wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu dari dinas kepolisian. Itu pun tidak untuk semua jabatan sipil di pemerintahan.

Namun di lapangan, daftar polisi aktif yang duduk di jabatan sipil masih panjang. Tercatat setidaknya 50 perwira Polri aktif yang menduduki berbagai jabatan sipil di kementerian, lembaga, dan badan negara, mulai dari ketua KPK, Sekjen kementerian, hingga kepala badan-badan strategis.

Artinya, problemnya bukan lagi sekadar perdebatan normatif, tetapi ketidakpatuhan struktural terhadap putusan konstitusional yang bersifat final and binding.

Dalam Putusan 114/PUU-XXIII/2025, MK menegaskan bahwa norma pokok Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebenarnya jelas: Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Yang dibatalkan MK adalah frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) yang membuka celah “penugasan Kapolri”, karena justru mengaburkan larangan dan menciptakan praktik “dwifungsi Polri” dalam birokrasi sipil.

Sebenarnya penjelasan pasal ini tidak perlu dibatalkan oleh MK karena penjelasan bukanlah norma.

Secara teoretik, ini sejalan dengan gagasan negara hukum (rule of law) yang menuntut: Supremasi konstitusi dan hukum (Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia). Pemerintah wajib tunduk pada norma hukum yang jelas, bukan menafsir seenaknya.

Demikian juga dengan kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum (Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge University Press & Assessment).

MK secara eksplisit menilai bahwa celah penugasan Kapolri itu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (negara hukum) dan Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945 (persamaan di hadapan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan).

Dengan demikian, paradigma yang dipakai MK adalah: Negara hukum demokratis yang menolak dwifungsi dan menegaskan supremasi sipil, termasuk dalam birokrasi.

Supremasi sipil dan bahaya “Dwifungsi Polri”

Secara teori hubungan sipil militer/polisi, Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State menyebut pentingnya pemisahan tegas antara institusi bersenjata dan struktur pemerintahan sipil.

Logika yang sama berlaku bagi Polri: Polri adalah alat negara dengan karakter komando, bersenjata, dan memiliki kewenangan koersif. ASN adalah birokrasi sipil yang harus tunduk pada prinsip merit system, akuntabilitas, dan netralitas politik.

Ketika polisi aktif dilegalkan masuk ke jabatan sipil, secara substansial kita sedang: menghidupkan kembali doktrin dwifungsi (kini bukan hanya TNI, tetapi juga Polri) sebagaimana telah diperingatkan dalam kritik terhadap RUU Polri dan regulasi lain yang membuka ruang penempatan aparat berseragam di jabatan sipil.

Mencederai supremasi sipil, seperti telah dikritik Fahri Bachmid dalam kajiannya tentang TNI aktif di jabatan sipil, logika yang sama relevan untuk Polri.

Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi paradigma kekuasaan: apakah kita ingin model negara dengan birokrasi sipil yang profesional, atau birokrasi yang sebagian pos strategisnya diisi oleh aparat bersenjata?

David H. Bayley, dalam gagasan tentang democratic policing, menegaskan empat prinsip pemolisian demokratis: Tindakan polisi harus sesuai hukum; Selaras dengan standar HAM; Akuntabel terhadap publik; Responsif terhadap kebutuhan warga.

Jika polisi aktif menduduki jabatan sipil, akuntabilitas menjadi kabur. Polisi itu tunduk pada rantai komando Polri, atau pada mekanisme birokrasi sipil/ASN?

Netralitas ASN terganggu. Kehadiran figur bersenjata di jabatan birokrasi sipil mengubah kultur organisasi, dari administrasi berbasis prosedur menjadi kultur komando.

Merit system ASN tercederai. Karier ASN sipil yang telah puluhan tahun berproses bisa “disalip” perwira polri aktif melalui jalur penugasan.

Ini yang disorot MK ketika menyebut penjelasan UU Polri menciptakan diskriminasi struktural terhadap warga sipil, termasuk ASN yang kariernya terhambat oleh penempatan polisi aktif di jabatan sipil.

Sejumlah data publik menunjukkan skala masalah ini: daftar 50 polisi aktif yang menduduki jabatan sipil, mulai dari Ketua KPK, Sekjen Kementerian, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, Kepala BNPT, hingga berbagai jabatan dirjen, deputi, dan pejabat tinggi madya/pratama di K/L.

Laporan yang ada merilis daftar 37 perwira Polri aktif di jabatan strategis di luar struktur Polri. Media lain menyebut bahwa jika dihitung secara luas, jumlah polisi aktif yang mengisi jabatan manajerial di kementerian/lembaga mencapai sekitar 300-an orang.

Di sisi lain, pakar seperti Feri Amsari menegaskan bahwa putusan MK soal larangan polisi aktif duduk di jabatan sipil tidak bisa dinegosiasikan oleh kementerian/lembaga manapun, karena ia bersifat final dan mengikat.

Profesor Zainal Arifin Mochtar juga mengingatkan bahwa putusan ini adalah bagian dari upaya mempertegas norma konstitusional agar Polri kembali fokus pada fungsi penegakan hukum, bukan ekspansi ke ranah birokrasi sipil.

Lalu, bagaimana dengan polisi pensiun dan jabatan politik?

Pertanyaan kunci yang sangat penting: Setelah dia pensiun sebagai polisi aktif, bagaimana kemudian boleh kembali aktif sebagai ASN dengan menduduki jabatan ASN?

Secara normatif, putusan MK hanya mengatur bahwa untuk menduduki jabatan di luar kepolisian, anggota Polri harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu. Ia tidak merinci secara teknis klasifikasi jabatan apa saja yang boleh diisi setelah pensiun.

Namun, secara paradigmatik dan teoretik, bisa dibuat pembedaan: Jabatan sipil politis kepala daerah dan wakil kepala daerah (hasil pemilu/pilkada). Anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD). menteri, wakil menteri, atau penasihat politik.

Jabatan-jabatan ini bukan jabatan karier ASN. Ia merupakan jabatan politik yang legitimasinya berasal dari mandat politik/pilihan politik, bukan merit system birokrasi.

Pensiunan Polri boleh masuk ke sini, sepanjang memenuhi syarat umum (partai politik, pemilu, atau penunjukan politik).

Sementara jabatan sipil administratif/karier ASN Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Deputi, Sekda, Kepala Biro, dan jabatan struktural lain yang tunduk pada sistem karier ASN.

Di sini, logika negara hukum dan merit system menuntut bahwa jabatan tersebut harus diisi oleh ASN karier yang memenuhi persyaratan kompetensi, pangkat, dan mekanisme seleksi terbuka.

Di tingkat prinsip, sekalipun sudah pensiun dari Polri, lebih tepat jika mantan polisi tidak lagi diperlakukan sebagai “jalur pintas” untuk jabatan karier ASN. Langkah itu akan mengganggu fairness karier ASN dan menghidupkan kembali bayangan dwifungsi dalam bentuk baru.

Dengan kata lain, pintu bagi eks-Polri idealnya adalah jabatan politik, bukan jabatan birokrasi karier.

Problem etik dan kepatuhan konstitusional

Masalah utama hari ini bukan sekadar ada atau tidaknya norma, tetapi resistensi birokrasi terhadap putusan MK.

Masih muncul argumen seperti “putusan tidak berlaku surut” sehingga polisi yang “telanjur” di jabatan sipil tidak perlu mundur.

Padahal, sejumlah pakar hukum tata negara menegaskan bahwa putusan ini berlaku serta-merta, dan konsekuensinya adalah seluruh polisi aktif yang kini duduk di jabatan sipil harus segera mengundurkan diri atau ditarik pulang.

Pengabaian terhadap asas equality before the law ASN karier yang sudah lama berproses merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena posisi-posisi strategis diisi melalui jalur penugasan perwira Polri aktif.

Hal ini sejalan dengan analisis MK tentang diskriminasi struktural dan pengingkaran hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Erosi kepercayaan publik terhadap reformasi Polri dan ASN di satu sisi, negara mengaku ingin melakukan reformasi birokrasi dan reformasi sektor keamanan di sisi lain.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan kompromi terhadap prinsip paling dasar: patuh pada konstitusi sendiri.

Dari sudut pandang teoretik, paradigma, dan data empiris, beberapa kesimpulan normatif dapat diajukan: Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 adalah koreksi konstitusional atas praktik dwifungsi Polri di jabatan sipil.

Karena itu, ia harus dibaca sebagai bagian dari rekonstruksi negara hukum dan supremasi sipil, bukan sekadar “teknis penempatan pejabat”.

Negara, melalui Presiden, Kapolri, dan para menteri, wajib segera membuat langkah konkret, memetakan seluruh polisi aktif yang menduduki jabatan sipil (data yang hari ini masih tercerai-berai di berbagai media).

Lalu, menetapkan batas waktu penarikan atau kewajiban mengundurkan diri/pensiun. Menata kembali jabatan-jabatan itu melalui mekanisme merit system ASN.

Pensiunan Polri boleh memasuki ranah politik, tetapi bukan sebagai jalan pintas untuk menguasai jabatan karier ASN.

Di sini, garis demarkasi antara jabatan politis dan jabatan birokrasi harus dijaga dengan ketat.

Perdebatan tentang “manfaat praktis” perwira Polri di kementerian (disiplin, jaringan penegakan hukum, dan sebagainya) tidak boleh mengalahkan prinsip dasar negara hukum.

Pemerintah harus patuh hukum, bukan hukum yang menyesuaikan diri dengan kehendak pemerintah.

Tag:  #menguji #konsistensi #negara #hukum #supremasi #sipil

KOMENTAR