Sungai Budi Group Berpotensi Jadi Tersangka Korporasi Terkait Kasus Suap Pemanfaatan Kawasan Hutan, KPK Mulai Telusuri Aliran Dana
Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Asep Guntur Rahayu. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)
07:24
21 November 2025

Sungai Budi Group Berpotensi Jadi Tersangka Korporasi Terkait Kasus Suap Pemanfaatan Kawasan Hutan, KPK Mulai Telusuri Aliran Dana

 - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan membuka kemungkinan menetapkan Sungai Budi Group sebagai tersangka korporasi dalam perkara dugaan suap terkait pemanfaatan kawasan hutan yang melibatkan PT Inhutani. Opsi tersebut muncul seiring perkembangan penyidikan dan proses persidangan yang sedang berjalan.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan penyidik saat ini tengah mendalami sumber dana yang digunakan dalam dugaan suap yang diberikan kepada pejabat PT Inhutani V. Asep menyebut, dugaan suap itu dilakukan oleh individu yang berafiliasi dengan Sungai Budi Group, tetapi belum dipastikan apakah uang tersebut bersumber dari dana pribadi atau perusahaan.

“Yang kami temukan sementara itu ada penyuapan yang dilakukan oleh orang dari Sungai Budi itu ke Inhutani, seperti itu. Ini yang sedang kita dalami,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/11).

Menurutnya, bukti-bukti aliran suap dari pihak manajemen Sungai Budi Group sudah masuk dalam persidangan dan menjadi bagian dari pembuktian. Namun, penyidik masih harus memastikan peran entitas korporasi dalam tindak pidana tersebut.

Asep menegaskan, tidak menutup kemungkinan KPK menjerat perusahaan apabila terdapat bukti kuat bahwa tindak pidana korupsi dilakukan atas nama atau demi kepentingan korporasi. Penetapan tersangka korporasi, kata dia, mensyaratkan fakta bahwa badan usaha digunakan sebagai sarana melakukan kejahatan.

“Nanti tentunya dalam perjalanannya, kalau kita menemukan bukti-bukti yang cukup bahwa itu dilakukan oleh korporasi, karena kalau korporasi itu kita harus melihat, menilai bahwa korporasi itu memang sengaja dibuat, sengaja didirikan untuk melakukan tindak pidana korupsi,” jelasnya.

Ia menambahkan, ada kriteria khusus untuk menilai keterlibatan korporasi. Salah satunya adalah apakah perusahaan diduga digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. 

“Jadi ada korporasi yang memang sengaja dibuat sebagai alat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Nah ini yang sedang kita dalami juga,” tegasnya.

Sebelumnya, KPK mengungkap bahwa anak usaha Sungai Budi Group, PT Paramitra Mulia Langgeng (PML), berupaya memperpanjang kerja sama pemanfaatan hutan dengan PT Inhutani V meskipun masih menanggung kewajiban bernilai miliaran rupiah. Dalam memperlancar rencana tersebut, pihak perusahaan diduga melakukan pendekatan serta memberikan uang dan fasilitas mewah kepada pejabat terkait.

KPK telah menetapkan tiga tersangka, yakni Direktur Utama PT Inhutani V Dicky Yuana Rady (DIC), staf perizinan SB Group Aditya (ADT), dan Direktur PT PML Djunaidi Nur (DJN). Ketiganya kini tengah menjalani proses persidangan.

Dalam surat dakwaan terungkap terdapat dua kali pemberian uang kepada Dicky. Pertama, pada 21 Agustus 2024, Djunaidi memberikan USD 10.000 di Resto Senayan Golf Club, Jakarta. Kemudian pada 1 Agustus 2025, asisten Djunaidi yang juga staf perizinan Sungai Budi Group, Aditya Simaputra, menyerahkan USD 189.000

Dakwaan juga menyoroti peran bagian keuangan Sungai Budi Group. Aditya disebut berkoordinasi dengan Ong Lina selaku Manajer Keuangan perusahaan untuk menghitung nilai tukar dolar Singapura sebagai dasar penghitungan dana pembelian Jeep Rubicon yang diinginkan Dicky. 

Uang senilai puluhan miliar rupiah itu kemudian diambil dari rumah Djunaidi dan diserahkan ke kantor Dicky di Wisma Perhutani, Jakarta.

Dugaan suap tersebut diduga diberikan agar PT Paramitra Mulia Langgeng tetap dapat melanjutkan kerja sama pemanfaatan kawasan hutan di Register 42, 44, dan 46 di Provinsi Lampung.

Editor: Sabik Aji Taufan

Tag:  #sungai #budi #group #berpotensi #jadi #tersangka #korporasi #terkait #kasus #suap #pemanfaatan #kawasan #hutan #mulai #telusuri #aliran #dana

KOMENTAR