Reaksi Keras Partai Politik atas Putusan MK Pisah Pemilu Nasional dan Daerah, MK Vs DPR?
Suasana Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, Selasa (27/5/2025).(KOMPAS.com/Tria Sutrisna)
09:04
2 Juli 2025

Reaksi Keras Partai Politik atas Putusan MK Pisah Pemilu Nasional dan Daerah, MK Vs DPR?

Sejumlah partai politik menunjukkan reaksi keras dan resistensi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.

Beberapa partai politik yang bercokol di parlemen menilai putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu melampaui kewenangan MK, menabrak konstitusi, hingga berpotensi menimbulkan krisis dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan.

Wakil Ketua DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir mengungkapkan, banyak pihak menyampaikan keluhan atas putusan MK tersebut.

Hal itu diketahui Adies setelah DPR menggelar rapat terbatas bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu membahas putusan tersebut.

“Hampir semua (mengeluhkan),” jelas Adies di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Lantas, seperti apa suara partai yang tidak menyambut hangat putusan MK tersebut?

Nasdem sebut MK curi kedaulatan rakyat

Partai Nasdem secara tegas menyatakan bahwa putusan MK sebagai tindakan inkonstitusional yang mencuri kedaulatan rakyat.

"Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara," ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.

Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut.

Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.

Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip open legal policy yang dimiliki lembaga legislatif.

"MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis," kata Lesatari.

Selain itu, Nasdem menilai pemisahan antara pemilu DPR-DPD-presiden dan pemilu DPRD-kepala daerah secara waktu melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun.

"Jika masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu, maka mereka menjabat tanpa legitimasi rakyat. Ini jelas inkonstitusional," ujar dia.

Nasdem bahkan menganggap tindakan MK ini sebagai pencurian kedaulatan rakyat dan mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan resmi dari MK terkait tafsir mereka terhadap konstitusi.

“Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat. Partai Nasdem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata Lestari.

Golkar sebut putusan MK berpotensi hambat program pemerintah

Sementara itu, Golkar melalui Adies Kadir menilai putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.

Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.

Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.

“Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.

Putusan MK itu, pendapat rata-rata orang ya, final dan mengikat. Ini di mana final dan mengikatnya? Karena selalu berubah-ubah,” imbuh dia.

Adies menegaskan bahwa Golkar tidak dalam posisi menyalahkan MK, karena putusan yang dikeluarkan tetap dianggap sah serta bersifat final dan mengikat.

Namun, Golkar hanya menyoroti inkonsistensi MK dalam membuat putusan dari waktu ke waktu.

“Apakah kalau ketua MK-nya atau hakimnya ganti, putusannya berubah lagi? Atau rezimnya ganti, pemerintahnya, ada putusan lagi?” ucap Adies.

“Kemarin Pak Mendagri menyampaikan ada empat putusan terkait dengan MK yang selalu berubah-ubah. Jadi final and binding-nya di mana?” kata dia melanjutkan.

Golkar juga mengkhawatirkan dampak terhadap pelaksanaan program pemerintah pusat di daerah, ketika putusan tersebut dilaksanakan.

Saat ini saja, kata Adies, program presiden belum sepenuhnya bisa berjalan merata di semua daerah, apalagi jika pemilu lokal baru bisa dilaksanakan dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

“Kalau dua tahun setengah, kapan program presiden bisa berjalan? Apakah lima tahun cukup untuk implementasi program kalau sinergi pusat dan daerah terputus?” kata Adies.

PKB sebut MK langgar konstitusi

Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.

“Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.

Cucun pun memperingatkan dampak dari masa transisi panjang akibat pemisahan jadwal pemilu, terhadap jalannya pemerintahan.

“Apalagi yang kayak kemarin, perpanjangan kepala daerah sampai Pj itu kan banyak membuat sistem pemerintahan agak terganggu juga,” ujar dia.

Wakil Ketua DPR RI ini menyatakan, partai-partai politik kemungkinan akan berkumpul untuk membahas putusan MK ini secara kolektif.

Namun, Cucun menegaskan tidak ada konflik antara DPR dan MK.

“Enggak ada DPR vs MK. Yang penting semua on the track. Kalau MK penjaga konstitusi, jagalah konstitusi,” tegasnya.

PDI-P belum ambil sikap

Sementara itu, PDI-P sebagai partai terbesar di DPR masih merumuskan sikap resminya terkait putusan MK tersebut.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Aria Bima mengatakan, partainya kini sedang melakukan kajian mendalam.

“PDI Perjuangan hari ini baru akan rapat menyikapi hal tersebut,” kata Aria Bima di Kompleks Parlemen, Selasa (1/7/2025).

Menurut dia, PDI-P perlu menimbang implikasi hukum dan teknis penyelenggaraan pemilu, jika putusan MK tersebut dijalankan.

“Pemilu selama ini dilihat dari pendekatan vertikal, pusat ke daerah. Kami masih butuh masukan dari berbagai narasumber soal implikasi putusan ini terhadap UU selanjutnya seperti apa,” kata Aria.

Kenyamanan terganggu

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.

Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.

"Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK," ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan partai-partai politik bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.

Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.

"Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," kata Bivitri.

Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.

MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi dari sembilan hakim MK.

"Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta," kata Bivitri.

Sekilas tentang putusan MK

Untuk diketahui, MK memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.

Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.

"Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota," ujar Saldi.

Tag:  #reaksi #keras #partai #politik #atas #putusan #pisah #pemilu #nasional #daerah

KOMENTAR