



Konstitusionalitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu lokal dapat dipisahkan pelaksanaannya merupakan penegasan konstitusional yang sah dan dapat dibenarkan secara teori hukum tata negara.
Dalam perdebatan publik, muncul pandangan yang menyangsikan putusan ini karena dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Namun, pandangan demikian kurang mencermati sifat kontekstual dari norma konstitusi dan bagaimana MK, sebagai penafsir utama konstitusi (the sole interpreter of constitution) menjalankan fungsi korektif dalam praktik demokrasi di negeri ini.
Konstitusi bukanlah teks mati. Ia adalah dokumen hidup yang berkembang bersama zaman, sekaligus mewadahi dinamika kebutuhan bernegara dan berbangsa.
Penafsiran MK terhadap norma lima tahunan dalam Pasal 22E UUD 1945 tidak menyimpang, karena tidak ada frasa dalam konstitusi yang menyatakan bahwa semua pemilu harus dilaksanakan serentak dalam satu hari.
Pemilu serentak hanya merupakan produk kebijakan teknis dan bukan perintah langsung dari konstitusi (baca: UUD 1945).
Sejarah dan evolusi Pemilu
Pemilu pertama dalam sejarah republik ini dilaksanakan tahun 1955 dan hanya mencakup dua jenis: untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Tidak ada pemilihan presiden secara langsung.
Bahkan pasca-amandemen konstitusi, pemilu 2004 pun masih memisahkan antara pemilihan legislatif dan presiden.
Baru pada pemilu 2019, Indonesia melaksanakan pemilu serentak lima kotak suara dalam satu hari, yang secara teknis dan operasional menimbulkan banyak persoalan.
Beban kerja yang sangat tinggi pada pemilu serentak 2019, yang menyebabkan ratusan petugas penyelenggara pemilu wafat dan ribuan orang lainnya sakit, menjadi fakta sosial yang tak bisa diabaikan.
MK dalam pertimbangannya menilai bahwa pelaksanaan pemilu serentak justru mengorbankan prinsip-prinsip substantif demokrasi, karena menyulitkan pemilih dalam membuat keputusan yang rasional dan mengaburkan isu-isu lokal yang mestinya menjadi fokus dalam pemilu kepala daerah.
Pasal 22E UUD 1945 berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Kalimat tersebut menegaskan prinsip periodisasi pemilu, tetapi tidak menentukan waktu dan bentuk pelaksanaannya secara serentak.
Oleh karena itu, selama semua jabatan publik hasil pemilu (Presiden, DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah) tetap dipilih setiap lima tahun sesuai masa jabatannya, maka pemisahan waktu pelaksanaannya tetap dalam koridor konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum angka [3.17] Putusan 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa: “…frasa ‘setiap lima tahun sekali’ dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bukanlah perintah konstitusi untuk melaksanakan seluruh jenis pemilu dalam waktu yang bersamaan atau serentak. Hal tersebut hanyalah batasan maksimal masa jabatan pejabat yang dipilih melalui pemilu.”
Dengan demikian, putusan MK menegaskan pemisahan pemilu sebagai bentuk tafsir otoritatif, bukan penyimpangan.
Tentu saja, putusan ini membawa konsekuensi legislasi dan kelembagaan. DPR dan Pemerintah wajib segera menyesuaikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar selaras dengan putusan MK.
Penyesuaian tidak hanya dalam hal jadwal, tetapi juga menyangkut masa jabatan, sistem tahapan, alokasi anggaran, serta kerangka penyelenggaraan yang menghindari kekacauan administratif.
Hal yang perlu dicermati adalah masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024. Jika pemilu lokal berikutnya baru dapat digelar pada 2031, maka perlu dirumuskan jalan tengah yang tetap menjamin legitimasi kekuasaan.
Perpanjangan masa jabatan secara otomatis harus dihindari kecuali dengan mekanisme pengisian melalui penjabat (Pj) berdasarkan ketentuan UU. Ini penting agar tidak terjadi manipulasi atau kooptasi kekuasaan yang bertentangan dengan semangat demokrasi.
Pemisahan pemilu memberikan ruang politik yang lebih adil. Pemilu lokal yang dipisahkan dari euforia pemilu presiden dapat menghidupkan kembali substansi politik daerah.
Isu-isu lokal yang kerap tertutup oleh narasi nasional akan mendapat ruang lebih luas. Masyarakat dapat menilai calon kepala daerah tanpa harus terseret arus elektoral politik nasional.
Dalam aspek partai politik (parpol), pemisahan ini menantang parpol untuk melakukan kaderisasi lebih berkualitas.
Jika selama ini banyak kandidat lokal hanya menumpang ketenaran partai atau tokoh nasional, maka setelah pemisahan pemilu, mereka harus bersaing berdasarkan kinerja dan kedekatan dengan rakyat di daerah.
Pemisahan ini juga mempermudah tugas penyelenggara pemilu. Dengan beban yang lebih terdistribusi, KPU dan Bawaslu dapat bekerja lebih optimal dan mengurangi potensi kesalahan.
Dalam jangka panjang, ini akan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi elektoral.
Mahkamah dan fungsi korektif konstitusi
Perlu ditegaskan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. MK tidak hanya menjadi penjaga teks, tetapi juga penjaga nilai dan semangat konstitusi.
Dalam menjalankan kewenangannya, MK berperan sebagai filter terhadap distorsi demokrasi yang muncul akibat praktik politik elektoral yang menyimpang dari tujuan awal konstitusi.
Putusan ini bukan hanya koreksi terhadap UU Pemilu, tetapi juga merupakan pengingat bahwa demokrasi bukan semata-mata soal prosedur, tetapi juga soal kualitas partisipasi rakyat dan proporsionalitas representasi.
Dalam konteks ini, MK telah menjalankan peran konstitusionalnya secara tepat.
Sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan [3.19] putusan MK, pemilu lokal yang terpisah memberi peluang lebih besar bagi pemilih untuk memahami calon-calon legislatif dan eksekutif daerah secara lebih mendalam, sehingga pilihan yang dijatuhkan bersifat sadar dan rasional.
Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah memperhatikan kualitas demokrasi elektoral sebagai bagian dari amanat konstitusi.
Pemisahan pemilu tidak menyimpang dari UUD 1945. Ia justru merupakan bentuk adaptasi sistem demokrasi terhadap tantangan zaman dan kebutuhan rakyat.
Yang diperlukan saat ini adalah kesungguhan semua pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menindaklanjuti putusan ini dengan regulasi yang cermat, implementasi konsisten, dan pengawasan ketat.
Dalam negara hukum (rechtsstaat), tidak ada demokrasi yang berdiri di atas prosedur kosong. Ia harus dijalankan berdasarkan nilai-nilai konstitusi, rasionalitas hukum, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat.
Pemisahan pemilu adalah ikhtiar menata ulang demokrasi, bukan membelokkan arah konstitusi.
Dan dalam kerangka itu, konstitusionalitas bukan hanya soal teks, tapi juga soal keberanian untuk menafsir, membenahi, dan memperbaiki tata kelola bernegara demi masa depan republik.
Tag: #konstitusionalitas #pemisahan #pemilu #nasional #lokal