Uji Materi UU TNI: Kala Pemerintah Mempertanyakan Legal Standing Rakyatnya
Suasana sidang uji materi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (23/6/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari pihak DPR dan Presiden. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
06:18
24 Juni 2025

Uji Materi UU TNI: Kala Pemerintah Mempertanyakan Legal Standing Rakyatnya

RANGKAIAN persidangan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) sudah memasuki tahap pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam persidangan ketiga yang berlangsung pada Senin (23/06/2025), agenda persidangan yang terjadwal adalah mendengarkan keterangan pembuat undang-undang, yakni presiden dan DPR.

Satu hal menarik dari persidangan tersebut ialah pernyataan dari perwakilan presiden dan DPR yang mempertanyakan profesi para pemohon yang terdiri atas: mahasiswa, aktivis masyarakat sipil, dan ibu rumah tangga sebagai pihak yang tidak memiliki kedudukan hukum untuk berperkara dalam perkara aquo.

Basis dari pernyataan tersebut adalah para pemohon tidak memiliki tautan langsung untuk mengajukan perkara di persidangan, karena profesi para pemohon tidak memiliki pertautan langsung dengan undang-undang yang diujikan.

Legal standing

Legal standing atau yang sering kali diperistilahkan dengan kedudukan hukum merupakan pintu masuk suatu permohonan/gugatan dapat dilanjutkan/diperiksa atau tidak dalam perkara di pengadilan.

Dalam konteks MK, dasar pemberian legal standing diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang MK.

Suatu pihak dapat dikatakan memiliki legal standing apabila terdapat kerugian terhadap hak konstitusional yang dimiliki.

Bagaimana cara menentukan ada/tidaknya kerugian hak konstitusional? Sejatinya MK dalam beberapa putusan sebelumnya (preseden) selalu mengutip lima syarat adanya kerugian konstitusional sehingga suatu pihak dapat dikatakan memiliki/tidak legal standing.

Adapun kelima syarat tersebut ialah: (i) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon; (ii) Hak dan/atau kewenangan tersebut dirugikan karena berlakunya undang-undang yang diuji; (iii) Kerugian harus bersifat spesifik dan aktual atau potensial akan terjadi; (iv) Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan undang-undang yang diuji; dan (v) Kerugian tidak akan atau tidak lagi terjadi bila permohonan dikabulkan.

Dari lima syarat tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa MK mempersyaratkan adanya hubungan antara para pemohon dengan undang-undang yang diujikan.

Berdasarkan praktik persidangan di MK, hubungan tersebut dapat terjadi karena sebab aktivitasnya, profesinya, ataupun concern para pemohon terhadap cabang keilmuan, baik ilmu yang spesifik bersinggungan dengan undang-undang yang diujikan ataupun ilmu yang mempelajari mengenai praktik hukum dan pembuatan suatu undang-undang.

Dalam hal pengujian formil yang menilai mengenai kebenaran prosedur dan tata cara pembentukan suatu undang-undang, adanya legal standing membuktikan sekaligus membatasi para pihak yang berperkara.

Benar bahwa ada syarat untuk terpenuhinya hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan jawaban.

Namun dengan adanya legal standing dapat membatasi siapa saja pihak yang paling otoritatif untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan jawaban dalam pembentukan suatu undang-undang sesuai dengan pertautan langsung dengan undang-undang yang diujikan.

Preseden MK

Kendati sudah terdapat syarat dalam menentukan legal standing para pemohon, nyatanya dalam praktik persidangan sejauh ini MK sedikit membedakan legal standing terhadap pengujian formil dan pengujian materil.

Salah satu alasannya ialah dalam hal pengujian formil yang cenderung menilai kebenaran prosedur, para pihak diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk menilai ada tidaknya kesalahan prosedur dalam pembentukan undang-undang.

Hal ini berbeda dengan pengujian materil yang menilai dampak langsung dari adanya undang-undang. Para pihak yang berkaitan langsung akan cenderung lebih dibatasi.

Dalam hal ini, para pemohon yang terdiri atas mahasiswa, masyarakat sipil, dan para profesi lainnya, menurut saya, dapat dikatakan memiliki legal standing untuk membuktikan adanya kesalahan prosedur dalam pembentukan UU TNI.

Alasannya, para mahasiswa lebih besar kemungkinan dan memiliki lebih banyak energi sehingga cenderung lebih cepat terpapar isu sosial dan kenegaraan melalui ruang-ruang diskusi dan kebebasan akademik di kampus.

Lewat proses diskusi dan pemahaman terhadap isu hukum, sehingga mereka patut kiranya untuk dipertimbangkan memiliki legal standing untuk membuktikan dalilnya.

MK pun dalam sejarahnya pernah mengabulkan legal standing pemohon mahasiswa. Sebagai contoh, putusan 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah persyaratan pencalonan presiden/wakil presiden diajukan oleh mahasiswa.

Selain itu, terdapat putusan 12/PUU-XXII/2024 yang menyatakan Pilkada 2024 sesuai dengan jadwal di November 2024 juga diajukan oleh mahasiswa.

Terakhir, penghapusan ambang batas pencalonan presiden melalui perkara 62/PUU-XXII/2024 juga diajukan oleh mahasiswa sebagai pemohonnya.

Selain mahasiswa, masyarakat sipil terutama yang bergerak di bidang pertahanan, kemiliteran, dan kebebasan sipil pun sudah seyogyanya dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan legal standing.

Mengapa demikian? Sebab dalam beberapa klausa UU 3 Tahun 2025 terdapat potensi terjadinya pembatasan ruang gerak masyarakat sipil.

Dalil tersebut tentu perlu dibuktikan. Oleh karenanya, perlu dibukanya kesempatan untuk adanya pembuktian lebih lanjut dengan memberikan legal standing bagi pemohon.

Fokus objek permohonan

Alih-alih mempertanyakan legal standing pemohon, ada baiknya mereka lebih fokus untuk membantah ada tidaknya pelanggaran prosedural dalam proses pembahasan UU TNI.

Hal ini menjadi penting sebab dapat menyangkal praduga pelanggaran prosedur tatkala proses pembentukan UU TNI.

Pemerintah dan DPR juga perlu membuktikan bahwa segala dalil cacat prosedur seperti tidak terpenuhinya partisipasi bermakna berupa hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan jawaban benar-benar tidak terbukti dalam proses pembahasan undang-undang ini.

Hal ini juga termasuk terhadap alasan mengapa undang-undang ini cenderung dibahas secara tertutup dan cenderung tergesa, serta tidak terdapat transparansi pascapengundangan dengan tidak diunggah ke dalam website yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

Lewat persidangan di MK yang bersifat terbuka untuk umum dan dapat disaksikan secara langsung melalui streaming inilah pembentuk undang-undang dapat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat luas dan hakim konstitusi mengenai produk yang dibuatnya.

Hal ini menjadi penting oleh sebab DPR dan pemerintah yang notabene dipilih oleh rakyat melalui proses Pemilu, mereka dapat mempertanggungjawabkan fungsi dan hasil kerja mereka, yakni membentuk suatu undang-undang yang benar-benar memenuhi asas keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum di masyarakat.

Harapannya hakim konstitusi juga dapat memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini dengan berdasarkan fakta-fakta serta nilai keadilan. Semoga mereka tidak terpengaruh oleh tekanan dalam bentuk apapun dari pihak manapun.

Di akhir, kita perlu bertanya, lantas apakah hasil putusan MK nantinya dapat memenuhi rasa keadilan dan kebermanfaatan yang lebih luas bagi bangsa dan negara kita?

Dapatkah hakim konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini dengan seobjektif mungkin? Kita perlu mengawal hal ini bersama-sama.

Tag:  #materi #kala #pemerintah #mempertanyakan #legal #standing #rakyatnya

KOMENTAR