



Revisi UU Pemilu Masih Mandek, Pakar Desak AI Masuk Regulasi Demi Demokrasi yang Transparan
Pemerintah hingga kini masih mematangkan konsep Revisi UU Pemilu. Namun pada saat yang sama, muncul desakan agar teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) ikut diatur dalam regulasi baru tersebut.
Merespons hal tersebut, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menegaskan bahwa revisi UU Pemilu tidak boleh bersifat teknis semata, melainkan harus berlandaskan tujuan strategis.
"Revisi ini bukan sekadar teknis, tapi harus punya fondasi kuat: memperkuat sistem presidensial, kualitas representasi, dan sesuai dengan otonomi daerah,” ujar Bima dalam diskusi Forum Populi bertajuk 'Revisi UU Pemilu: Tata Kelola Demokrasi Partisipatif Berbasis Inovasi' yang digelar Rabu 11 Juni 2025.
Ia menilai bahwa pemerintah memilih pendekatan kodifikasi, bukan omnibus law, dalam revisi.
Artinya, UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik akan disatukan ke dalam satu kerangka hukum yang sistematis dan berpijak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Kita akan membuat Undang-Undang baru yang menyatukan berbagai aturan, dengan fokus sistematis pada isu-isu seperti keserentakan pemilu, sistem kepartaian, pendanaan politik, dan integrasi bangsa," kata Bima.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mendukung pendekatan substansial dalam pembahasan RUU ini.
Ia menekankan perlunya menetapkan arah revisi sejak awal dan menjauh dari kepentingan sempit elite politik.
"Sebelum melakukan perubahan, penting untuk lebih dulu menetapkan apa tujuan dari perubahan tersebut? Tujuan kita sebenarnya bisa kita lihat dari pengalaman pemilu selama ini,” ucapnya.
Zulfikar juga menyoroti soal ambang batas parlemen. Menurutnya, diskusi seharusnya tak semata soal jumlah partai, tapi bagaimana partai di parlemen mampu berperan secara efektif, baik sebagai bagian dari pemerintahan maupun oposisi.
Namun demikian, satu aspek krusial yang dinilai belum mendapat perhatian memadai adalah regulasi soal penggunaan teknologi, terutama AI, dalam penyelenggaraan pemilu.
Potensi AI
Founder Pemilu AI, Yose Rizal, menyebut bahwa teknologi mampu menciptakan efisiensi dan transparansi dalam kampanye maupun pengawasan pemilu.
"Potensi AI ini besar, jutaan data bisa diolah dengan cepat. Strategi kampanye bisa disimulasikan dulu. Ancamannya memang ada, tapi jangan sampai kita justru hanya dapat ancamannya tapi tidak dapat manfaatnya,” tegas Yose.
Pendapat serupa disampaikan Direktur Fasilitasi Pemantauan Riset dan Inovasi Daerah BRIN, Moch Nurhasim.
Dia menilai bahwa kodifikasi sebagai langkah tepat, namun mengingatkan agar tujuan penyelarasan asas pemilu tidak dilupakan. Tanpa perubahan, menurutnya, norma pemilu dan pilkada akan terus timpang.
Sementara itu, peneliti dan pemerhati teknologi pemilu Afrimadona, menilai selama ini pegiat teknologi dan kepemiluan berjalan di ruang diskusi yang terpisah.
Ia mendorong agar integrasi ini diwujudkan dalam revisi UU.
"Suka tidak suka teknologi menyelesaikan masalah integritas. Demokrasi juga punya sisi negatif dan teknologi mungkin bisa menetralisir hal ini," ujarnya.
![Sejumlah Alat Peraga Kampanye (APK) terpasang di Jalan Dr. Saharjo, Tebet, Jakarta, Selasa (19/12/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/12/19/75081-alat-peraga-kampanye-ilustrasi-pemilu.jpg)
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menekankan bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam revisi RUU Pemilu, termasuk sistem, aktor, dan penegakan hukum.
Ia berharap regulasi baru bisa rampung sebelum 2026 agar dapat diimplementasikan pada Pemilu 2029.
Ia juga menggarisbawahi urgensi penggunaan teknologi dalam menciptakan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
"Hal ini perlu dipersiapkan dengan maksimal termasuk dengan kerangka hukum, SDM, dan mempertimbangkan aspek politik dari pengembang teknologi ini," ucapnya.
Sementara itu, Peneliti Senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, menyatakan bahwa revisi RUU Pemilu perlu diiringi inovasi cara berpikir serta perbaikan struktur dan aktor politik.
"Kultur, struktur, dan regulasi benar-benar harus diperbaiki, karena dari teknologi juga banyak isunya," katanya.
Hingga kini, sudah enam bulan berlalu sejak RUU Pemilu masuk dalam Prolegnas 2025.
Namun, pembahasan masih jalan di tempat. Berbagai pihak pun mendorong agar pembahasan RUU ini segera dipercepat, termasuk dengan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas.
Tag: #revisi #pemilu #masih #mandek #pakar #desak #masuk #regulasi #demi #demokrasi #yang #transparan