Wamenham: Yang Sedang Ditulis adalah Sejarah Nasional, bukan Sejarah Pelanggaran HAM
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Mugiyanto (tengah) menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Kamis (5//6/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)(ANTARA/Fath Putra Mulya)
15:50
5 Juni 2025

Wamenham: Yang Sedang Ditulis adalah Sejarah Nasional, bukan Sejarah Pelanggaran HAM

- Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Mugiyanto menanggapi perihal peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu dalam penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.

Dia mengatakan, semua peristiwa penting bangsa perlu ditulis dalam penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan.

“Yang jelas, yang dilakukan itu bukan penulisan sejarah HAM, tapi penulisan sejarah Indonesia. Itu kita mesti tahu konteks dan tujuannya. Ya, semuanya perlu ditulis,” kata Mugiyanto dikutip dari Antaranews, Kamis (5/6/2025).

Namun, dia menekankan bahwa sejarah yang ditulis ulang oleh Kementerian Kebudayaan adalah sejarah nasional secara keseluruhan.

“Saya pikir yang sedang ditulis itu adalah sejarah nasional, bukan sejarah pelanggaran HAM,” ujarnya.

Di sisi lain, Mugiyanto juga sependapat dengan Menteri HAM Natalius Pigai perihal wacana penulisan ulang sejarah dengan narasi positif.

Sebelumnya, Natalius Pigai memberikan dukungan pada gagasan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait penulisan ulang sejarah, khususnya mengenai pelanggaran HAM berat, dengan narasi atau tone yang lebih positif.

Pigai mengatakan bahwa penulisan ulang sejarah dengan tone positif bukan berarti menulis sejarah yang sesuai dengan keinginan pihak tertentu saja, melainkan menuliskan sejarah secara apa adanya.

“Itu artinya tidak bermaksud mempositifkan semua peristiwa. Semua peristiwa itu ‘kan up and down: ada titik tertentu baik, titik tertentu jelek, tapi ketika kita menulis fakta peristiwa apa adanya, itu yang namanya tone positif,” kata Natalius Pigai pada 3 Juni 2025.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon juga telah mengatakan bahwa sejarah Indonesia akan ditulis ulang dengan tone yang lebih positif.

“Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah, pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” katanya saat ditemui di Cibubur, Jawa Barat pada 1 Juni 2025.

Menurut dia, pembaruan buku sejarah akan dilakukan dengan mengedepankan perspektif Indonesia-sentris. Hal ini untuk menghapus bias-bias kolonial, mempersatukan bangsa Indonesia, dan menjadikan sejarah relevan bagi generasi muda.

“Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, ya, saya kira itu selalu ada. Jadi, yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif, dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya,” ujar Fadli Zon.

Hanya 2 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Sebelumnya, dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV, aktivis HAM Beka Ulung Hapsara menyoroti sudut pandang korban pelanggaran HAM berat masa lalu dalam penulisan sejarah ulang.

Sebab, menurut dia, hanya ada 2 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang masuk dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional tersebut.

"Ketika kami mendapat TOR (Term of Reference), peristiwa pelanggaran HAM yang berat itu hanya dua yang ada (dalam penulisan sejarah ulang), sementara kalau kita merujuk pada status hukum yang dikeluarkan Komnas, hasil penyelidikannya sampai saat ini ada 13 yang belum selesai," katanya.

Menurut Beka, jika hal ini terjadi, korban pelanggaran HAM berat masa lalu akan semakin dilupakan, padahal mereka memiliki rasa trauma dan keadilan belum hadir.

"Pada titik itu juga saya kira penting sebenarnya menghadirkan perspektif korban untuk ditulis dalam sejarah," ujarnya.

Tag:  #wamenham #yang #sedang #ditulis #adalah #sejarah #nasional #bukan #sejarah #pelanggaran

KOMENTAR