



9 Kebiasaan Digital yang Merusak Kesehatan Mental Menurut Psikologi, Perlu Waspada!
Di era digital, penggunaan teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, tanpa disadari, beberapa kebiasaan digital justru bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.
Psikologi mengungkap bahwa pola penggunaan teknologi yang tidak terkontrol dapat memengaruhi suasana hati, produktivitas, dan hubungan sosial. Agar tetap baik dalam kesehatan mental, penting untuk mengenali kebiasaan digital yang merusak dan bagaimana cara mengatasinya.
Dilansir dari geediting.com pada Senin (30/6), diterangkan bahwa terdapat sembilan kebiasaan digital yang perlu diwaspadi karena dapat merusak kesehatan mental seseorang menurut Psikologi.
- Kecanduan mengecek ponsel
Seperti sebuah refleks otomatis, tangan akan meraih ponsel setiap ada jeda dalam percakapan atau saat menunggu bus atau bahkan selama jeda iklan di TV. Kebiasaan ini sudah tertanam begitu dalam sehingga sering kali tidak disadari telah menjadi perilaku kompulsif yang sulit dikendalikan.
Setiap notifikasi yang masuk - baik itu pesan teks, email, atau update media sosial - memicu pelepasan dopamin di otak yang menciptakan siklus kecanduan dimana seseorang terus-menerus menginginkan “asupan” interaksi digital berikutnya. Kondisi ini membuat otak terprogram untuk tidak puas dengan momen saat ini dan selalu mencari stimulus eksternal.
- Kebiasaan mengecek ponsel di pagi dan malam hari
Memulai hari dengan mengecek notifikasi ponsel membuat pikiran langsung dipenuhi berbagai informasi sebelum otak benar-benar siap memproses. Ketika malam, kebiasaan scrolling tanpa batas membuat jam tidur tertunda dan kualitas istirahat terganggu.
Paparan cahaya biru dari layar ponsel mengirim sinyal pada otak untuk tetap terjaga, mengganggu produksi hormon melatonin yang penting untuk tidur berkualitas. Kebiasaan ini menciptakan siklus tidak sehat dimana tubuh selalu dalam mode siaga dan sulit mendapatkan ketenangan yang dibutuhkan.
- Doomscrolling tanpa sadar waktu
Membuka ponsel untuk sekadar mengecek sesuatu bisa berubah menjadi sesi scrolling berjam-jam yang dipenuhi berita negatif dan konten menyedihkan.
Otak manusia memang dirancang untuk lebih sensitif terhadap informasi negatif, itulah mengapa doomscrolling begitu adiktif dan platform media sosial memanfaatkan hal ini untuk terus menghadirkan konten yang memicu emosi kuat.
Semakin dalam terjerumus dalam spiral informasi negatif, semakin sulit untuk berhenti meski hal ini jelas menguras energi mental. Tanpa disadari, kebiasaan ini membuat seseorang tenggelam dalam skenario terburuk dan merasa lebih tertekan dari sebelumnya.
- Ilusi multitasking yang melelahkan
Mengerjakan email sambil telekonferensi, mengecek media sosial saat makan, atau menonton video sambil berolahraga mungkin terasa produktif. Namun penelitian psikologi menunjukkan bahwa otak tidak benar-benar bisa fokus pada beberapa hal sekaligus, yang terjadi hanya perpindahan fokus yang sangat cepat antara satu tugas ke tugas lain.
Multitasking digital justru menurunkan produktivitas dan meningkatkan tingkat stres karena otak dipaksa bekerja lebih keras untuk terus beralih fokus. Kebiasaan ini pada akhirnya membuat seseorang merasa lelah mental tanpa hasil yang maksimal.
- Distraksi dari notifikasi yang tak terkendali
Setiap dering notifikasi adalah interupsi yang memaksa otak untuk beralih fokus dari apa yang sedang dikerjakan. Proses pengalihan dan pemulihan fokus ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit, bahkan bisa mencapai 23 menit untuk benar-benar kembali berkonsentrasi pada tugas awal.
Notifikasi yang terus-menerus membuat seseorang tidak pernah benar-benar menyelesaikan satu pekerjaan dengan tuntas karena perhatian selalu terpecah. Dampaknya adalah produktivitas menurun drastis meski merasa sudah bekerja sepanjang hari.
- Terjebak dalam perdebatan online
Dialog di media sosial bisa dengan cepat berubah menjadi perdebatan panas yang menguras energi mental dan emosional. Dorongan untuk membenarkan pendapat atau menyalahkan orang lain di dunia maya seringkali berakhir dengan frustrasi karena jarang ada yang mau mengakui kesalahan atau mengubah pandangan mereka.
Anonimitas internet membuat orang lebih mudah bersikap kasar dan tidak empati, menciptakan lingkungan yang toxic. Energi yang dihabiskan untuk berdebat online seringkali sia-sia dan hanya meninggalkan jejak kelelahan mental.
- Ketergantungan pada validasi digital
Mencari persetujuan melalui likes dan komentar telah menjadi kebiasaan yang membahayakan kesehatan mental. Algoritma media sosial sengaja dirancang untuk membuat penggunanya terus mencari validasi digital ini, menciptakan siklus ketergantungan yang sulit diputus.
Saat sebuah postingan mendapat respons positif, otak akan melepaskan dopamin yang membuat seseorang merasa bahagia sesaat, namun saat respons yang didapat tidak sesuai harapan, muncul perasaan tidak berharga. Fenomena ini membuat orang mulai mengubah perilaku dan cara mereka menampilkan diri hanya untuk mendapatkan lebih banyak likes.
- Perangkap perbandingan sosial
Media sosial menyajikan versi kehidupan yang sudah diedit dan dikurasi, menciptakan standar tidak realistis yang membuat orang terus membandingkan hidupnya dengan orang lain.
Melihat teman berlibur ke tempat eksotis, rekan kerja yang dipromosikan, atau influencer dengan gaya hidup sempurna bisa memicu perasaan iri dan tidak puas dengan kehidupan sendiri.
Dampak dari perbandingan sosial ini bisa sangat merusak, mulai dari menurunnya kepercayaan diri hingga depresi. Kebiasaan membandingkan diri ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus jika tidak disadari sejak awal.
- Mengabaikan koneksi dunia nyata
Terlalu fokus pada interaksi digital membuat banyak orang melupakan pentingnya koneksi tatap muka yang sebenarnya sangat penting bagi kesehatan mental. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi langsung untuk mendapatkan pemahaman emosional yang lebih dalam melalui bahasa tubuh dan ekspresi wajah.
Ketika terlalu banyak waktu dihabiskan untuk berinteraksi melalui layar, kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang bermakna di dunia nyata bisa menurun. Isolasi sosial yang tercipta dari kurangnya interaksi langsung ini bisa memicu perasaan kesepian yang mendalam, meski secara digital terlihat selalu terhubung.
***
Tag: #kebiasaan #digital #yang #merusak #kesehatan #mental #menurut #psikologi #perlu #waspada