Keluarga: Tempat Pertama dan Utama Anak Usia Dini Tumbuh dan Berkembang
Ilustrasi keluarga(Tanoto Foundation)
10:50
29 Juni 2025

Keluarga: Tempat Pertama dan Utama Anak Usia Dini Tumbuh dan Berkembang

DI TENGAH gencarnya upaya pembangunan sumber daya manusia, kita sering kali melupakan satu fondasi yang paling menentukan kualitas generasi masa depan: masa usia dini.

Anak usia dini—dari dalam kandungan hingga usia enam tahun—mengalami perkembangan otak yang luar biasa cepat. Inilah periode emas yang tak tergantikan.

Namun, seberapa besar kesadaran keluarga akan peran sentral mereka dalam periode ini?

Fakta berbicara. Secara nasional, tingkat partisipasi anak usia 3–6 tahun dalam layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) baru mencapai 42 persen (BPS, 2023).

Bahkan, menurut survei Benesse Educational Research and Development Institute (2017), hampir 90 persen anak Indonesia hanya menghabiskan waktu kurang dari empat jam di layanan PAUD—jauh lebih singkat dibandingkan anak-anak di China, Finlandia, atau Jepang.

Sementara itu, hanya sebagian kecil anak yang mengikuti layanan seperti Taman Penitipan Anak (TPA) yang berdurasi panjang.

Data menunjukkan TPA hanya mencakup 1,16 persen dari seluruh satuan PAUD di Indonesia atau 2,25 persen dari satuan nonformal. (Statistik PAUD 2023/2024, Pusdatin Kemendikbudristek).

Artinya jelas: sebagian besar anak usia dini di Indonesia menghabiskan lebih dari 20 jam setiap hari di rumah—bukan di layanan PAUD.

Maka, keluarga adalah aktor utama dalam kehidupan anak. Namun, apakah waktu bersama keluarga sudah cukup bermakna untuk mendukung tumbuh kembang mereka?

Ruang bernama rumah: Belum tentu ramah anak

Laporan KPAI (2018) menunjukkan lebih dari separuh anak di kota-kota besar menghabiskan lebih dari tiga jam per hari dengan gawai, sementara waktu interaksi aktif bersama orangtua hanya sekitar satu hingga dua jam.

Ini menjadi ironi ketika kita tahu bahwa meski waktu anak di PAUD terbatas, mereka justru mendapatkan pengalaman belajar yang aktif dan menyenangkan.

Kontradiksi ini berpotensi menghambat hak anak untuk mendapatkan stimulasi menyeluruh. Padahal, jika pengasuhan di rumah dilakukan secara sadar dan berkualitas, keluarga bisa menjadi institusi pendidikan informal yang sangat kuat.

Sayangnya, belum semua orangtua atau pengasuh memiliki kapasitas, pengetahuan, atau dukungan yang memadai untuk menjalankan peran strategis ini.

Sebagai anggota BAN PAUD dan Dikdasmen, saya melihat langsung masih banyak satuan PAUD—khususnya di daerah pedesaan—yang belum membangun kemitraan aktif dengan keluarga.

Momen pandemi COVID-19 pernah mendorong keterlibatan orangtua dalam pembelajaran di rumah, karena tidak ada pilihan selain menjalankan proses pembelajaran secara daring.

Namun, praktik baik ini seharusnya tidak berhenti pascapandemi. Layanan PAUD dapat memperkuat program pengasuhan sebagai sarana untuk mendampingi keluarga dalam menciptakan lingkungan rumah yang mendukung tumbuh kembang anak, termasuk pembiasaan positif seperti tujuh kebiasaan anak hebat Indonesia yang dicanangkan Kemendikdasmen.

Studi global, termasuk dari UNICEF (2012), telah membuktikan bahwa anak-anak yang mengikuti PAUD secara teratur memiliki kesiapan akademik dan sosial yang lebih baik saat memasuki pendidikan dasar.

Sinergi yang perlu diperkuat

Kurikulum PAUD modern yang berfokus pada pendekatan pembelajaran aktif berbasis bermain, mendorong eksplorasi, empati, dan kepercayaan diri anak. Namun, efektivitasnya sangat tergantung pada kesinambungan pengalaman anak di rumah.

Itulah mengapa kolaborasi antara PAUD dan keluarga perlu diperkuat, agar anak-anak Indonesia mendapatkan pengalaman belajar yang berkelanjutan dan bermakna, baik di rumah maupun di lembaga PAUD.

Di rumah, nilai-nilai dasar seperti empati, tanggung jawab, dan kejujuran tumbuh dari contoh perilaku orangtua sehari-hari. Misalnya, saat makan bersama, membacakan buku sebelum tidur, atau sekadar bermain peran.

Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan sejati dimulai dari rumah. Prinsip "Tri Pusat Pendidikan" menempatkan keluarga sebagai poros pertama dan utama dalam pendidikan anak.

Senada dengan pemikiran tokoh pendidikan dunia seperti Maria Montessori dan John Holt, yang juga menekankan kehadiran dan keterlibatan emosional orangtua.

Sedangkan di PAUD, peran guru PAUD pun perlu dilihat lebih luas. Guru bukan hanya fasilitator pembelajaran di kelas, tapi juga jembatan antara lingkungan pendidikan formal dan kehidupan anak di rumah.

Maka, relasi keduanya harus dibangun dalam kerangka kolaborasi, bukan relasi satu arah.

Anak yang mendapatkan nilai dan kebiasaan yang konsisten—baik di rumah maupun di sekolah—akan tumbuh lebih stabil secara emosional dan sosial.

Sebaliknya, bila pola asuh keluarga bertentangan dengan nilai yang diajarkan di PAUD, anak bisa mengalami kebingungan atau bahkan stres.

Kita sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif (PAUD HI) menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan pelibatan keluarga.

Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari merata. Program pengasuhan belum menjangkau seluruh wilayah. Kapasitas guru untuk menjalin komunikasi efektif dengan orangtua pun masih sangat beragam.

Sudah saatnya kita memperkuat kebijakan dan program yang:

  • Mewajibkan pelibatan keluarga dalam proses pendidikan anak usia dini.
  • Memperluas program pengasuhan berbasis komunitas.
  • Mengalokasikan sumber daya bagi pelatihan guru dalam membangun kemitraan dengan orangtua.

Layanan PAUD bukanlah pengganti keluarga, melainkan perpanjangan tangan. Maka, pendidikan anak usia dini tidak akan berhasil jika keluarga tak dilibatkan secara aktif.

Momentum Hari Keluarga Nasional

Peringatan Hari Keluarga Nasional pada 29 Juni 2025 dengan tema “Keluarga untuk Indonesia Emas 2045” menjadi momentum tepat untuk menegaskan kembali bahwa pembangunan manusia Indonesia harus dimulai dari rumah.

Beberapa perspektif yang perlu ditumbuhkan bersama:

Pertama, keluarga adalah pilar utama tumbuh kembang anak usia dini karena sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah.

Kedua, PAUD dan keluarga harus saling melengkapi. Tidak boleh berjalan sendiri-sendiri.

Ketiga, guru PAUD dan orangtua adalah dua tokoh penting di sekitar anak. Kolaborasi mereka adalah kunci.

Keempat, intervensi kebijakan harus memperkuat sinergi ini, bukan hanya memperluas akses, tapi juga menjamin kualitas interaksi anak di dua dunia utamanya: rumah dan sekolah.

Kelima, membesarkan anak adalah tanggung jawab bersama. Dibutuhkan ekosistem pendidikan dan pengasuhan yang utuh, saling belajar, dan saling memperkuat.

Jika ingin mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045, maka langkah pertama dimulai dari rumah hari ini dengan keluarga sebagai pendidik pertama dan utama.

Tag:  #keluarga #tempat #pertama #utama #anak #usia #dini #tumbuh #berkembang

KOMENTAR