Riset: Merek Fesyen Dunia dan Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil: Saatnya Berbenah,
Ilustrasi fast fashion (unsplash.com/Becca McHaffie)
12:24
10 Juni 2025

Riset: Merek Fesyen Dunia dan Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil: Saatnya Berbenah,

Dalam dunia yang terus memanas, industri fesyen menghadapi sorotan tajam. Tak satu pun dari 42 merek yang disoroti dalam Fossil-Free Fashion Scorecard 2025 layak mendapat nilai A.

Itu artinya, belum ada yang benar-benar serius keluar dari jeratan bahan bakar fosil—baik untuk energi maupun bahan bakunya.

Laporan yang dirilis oleh kelompok aktivis lingkungan Stand.earth itu menyebut H&M Group sebagai yang “terbaik dari yang belum cukup baik” dengan nilai B+.

Bandingkan dengan tujuh merek lain yang mendapat nilai F, termasuk Shein, raksasa fesyen ultra-cepat yang terus memompa emisi dari penggunaan poliester.

H&M (Pexels/Valeriia)H&M (Pexels/Valeriia)

Laporan itu mengingatkan, bahan bakar fosil menyusupi setiap aspek industri ini. Dari produksi bahan mentah hingga pengiriman. Dari pabrik ke konsumen. Bahkan menyumbang 4 persen dari total emisi gas rumah kaca global—lebih besar dari industri penerbangan.

Stand.earth menilai lima aspek utama, komitmen dan transparansi iklim, transisi energi terbarukan, advokasi, material dan sirkularitas, serta pengiriman bersih.

H&M mendapat pujian karena menjadi satu-satunya perusahaan dengan target energi terbarukan di tahap awal rantai pasokan (Level 3). Mereka bahkan membantu secara finansial pemasoknya untuk memangkas emisi.

Patagonia, Puma, hingga Levi Strauss juga menunjukkan kemajuan. Merek mewah seperti Kering (induk dari Yves Saint Laurent dan Gucci) sedikit lebih transparan dibanding kompetitor mereka. Namun selebihnya, banyak yang masih tertinggal jauh.

Eileen Fisher, misalnya, hanya menempati posisi kedua meski dinilai cukup serius soal material rendah karbon. Sementara itu, Boohoo dari Inggris menempati posisi juru kunci. Tak satu pun kategori yang lepas dari nilai F.

Ada pula temuan menarik lainnya. Hampir semua merek besar kini memiliki program penjualan kembali atau perbaikan produk. Tapi hanya segelintir yang benar-benar menetapkan tenggat waktu. Puma menjadi satu-satunya yang menargetkan penggunaan 30 persen poliester daur ulang tekstil-ke-tekstil pada 2030.

Namun, belum banyak yang berani melangkah lebih jauh. Beberapa bahkan belum menetapkan target pengurangan emisi sama sekali.

“Sangat tidak sejalan dengan aksi iklim,” tulis laporan itu untuk merek seperti Abercrombie & Fitch, Aritzia, dan Columbia.

Laporan dari Stand.earth ini bukan sekadar kritik terhadap industri fesyen, melainkan juga sebuah panduan praktis untuk mendorong perubahan nyata.

Di dalamnya, mereka menyodorkan tujuh langkah konkret yang bisa diambil oleh perusahaan pakaian dan alas kaki untuk mempercepat proses dekarbonisasi.

Langkah pertama yang disarankan adalah membuat rencana transisi iklim yang adil. Rencana ini harus memuat aksi jangka pendek hingga 2030 dan strategi jangka panjang hingga 2050, dengan tujuan akhir mencapai nol emisi bersih.

Tak cukup dengan itu, perusahaan juga diajak untuk saling bekerja sama—terutama merek besar yang punya lebih banyak sumber daya—dalam membantu pemasok kecil di rantai pasok agar bisa beralih dari batu bara ke energi yang lebih efisien dan terbarukan.

Equity atau keadilan menjadi poin penting lainnya. Perusahaan disarankan untuk mendukung pemasok dalam pembiayaan upaya dekarbonisasi, misalnya lewat pinjaman dengan bunga ringan, pendanaan yang tidak perlu dikembalikan, hingga komitmen kontrak jangka panjang. Semua itu dimaksudkan agar pemasok tidak menanggung beban perubahan sendirian.

Adaptasi terhadap krisis iklim juga menjadi sorotan. Stand menekankan perlunya pendekatan berbasis lokasi yang lebih manusiawi, termasuk upaya melindungi pekerja dari dampak kerusakan iklim yang sudah terjadi.

Di sisi lain, di pusat-pusat manufaktur, Stand mendorong kolaborasi yang lebih aktif dalam mengadvokasi kebijakan dan pembangunan infrastruktur yang mendukung penggunaan energi terbarukan oleh para pemasok.

Tak kalah penting, perusahaan juga diminta menyiapkan strategi untuk meninggalkan bahan-bahan sintetis seperti poliester daur ulang, yang menurut laporan ini hanyalah solusi semu. Dan terakhir, sektor transportasi pun tak luput dari perhatian—dengan seruan untuk menetapkan target emisi dan merancang sistem pengiriman yang lebih lambat namun rendah polusi.

Lewat tujuh langkah ini, Stand.earth berharap industri fesyen tak hanya bersolek hijau, tetapi juga benar-benar melangkah ke arah perubahan yang adil dan berkelanjutan.

Editor: Bimo Aria Fundrika

Tag:  #riset #merek #fesyen #dunia #ketergantungan #pada #bahan #bakar #fosil #saatnya #berbenah

KOMENTAR