Pakistan Hadapi Risiko Terjebak Siklus Utang Tanpa Akhir
ILUSTRASI bendera pakistan 
14:40
4 November 2024

Pakistan Hadapi Risiko Terjebak Siklus Utang Tanpa Akhir

- Perekonomian Pakistan disebut semakin terbebani dalam beberapa tahun terakhir.

Para ahli melihat Pakistan dalam kondisi keuangan berbahaya, karena terjerat ketergantungan utang (debt trap) yang mengancam stabilitas ekonomi, sosial, dan kedaulatan.

"Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian Pakistan semakin terbebani salah satu jebakan utang yang paling parah di dunia," kata akademisi universitas swasta Punjab Fatima Chaudhary, dikutip dari Afghandiaspora, Senin (4/11/2024).

Menurut Fatima, Pakistan sedang menghadapi pembengkakan pembayaran utang dan defisit fiskal yang semakin besar.

Dia mengutip para ahli, bahwa Pakistan berada pada kondisi keuangan berbahaya. 

"Meski ada upaya pemerintah untuk mendapatkan dana talangan internasional dan menegosiasikan keringanan utang, Pakistan masih terjerat dalam jaringan ketergantungan utang yang mengancam stabilitas ekonomi, kemajuan sosial, dan kedaulatan nasional," ucap Fatima.

Dia mengutip pernyataan mantan Gubernur Bank Negara Pakistan Murtaza Syed, yang menyuarakan keprihatinan besar atas krisis utang Pakistan. Syed pernah berkata, bahwa Pakistan terjerumus jebakan utang paling mematikan secara global. 

Utang ini memaksa pemerintah Pakistan memprioritaskan pembayaran utang ketimbang kebutuhan pembangunan yang penting, sehingga melemahkan investasi penting di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.


"Sebuah skenario yang tidak berkelanjutan dan dapat memicu kerusuhan sosial dan politik," tutur Fatima, mengutip Syed.

Krisis Utang Pakistan

Salah satu masalah yang mendasari krisis utang Pakistan adalah besarnya pengeluaran tak produktif. Alih-alih menginvestasikan dana pinjaman pada sektor-sektor yang mendorong pertumbuhan, pemerintahan sering kali menyalurkan sumber daya ini ke belanja yang berorientasi pada konsumsi dan non-pembangunan. 

Pola ini, kata Fatima, menyebabkan Pakistan tidak mendapatkan pengembalian yang cukup atas proyek-proyek yang dibiayai utang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas untuk membayar kembali pinjaman tanpa menimbulkan lebih banyak utang. 

"Dr. Syed menekankan bahwa pembayaran utang kini menghabiskan sebagian besar pendapatan pemerintah, sehingga hanya menyisakan sedikit dana untuk kesejahteraan sosial, pembangunan infrastruktur, dan inisiatif ketahanan iklim," beber Fatima.

Dia juga mengutip laporan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Laporan tersebut mengungkapkan pembayaran bunga di Pakistan berjumlah sekitar 6 persen dari PDB. 

Angka yang lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Dengan rasio utang terhadap pendapatan yang mencapai 65 persen — peringkat kedua setelah Sri Lanka — anggaran Pakistan hanya condong pada pemenuhan kewajiban bunga. 

Menurut Fatima, Pakistan membelanjakan hampir tiga kali lebih banyak untuk pembayaran utang dibandingkan sektor pendidikan. Sementara itu, belanja kesehatan dikalahkan peningkatan pembayaran bunga sebesar enam kali lipat.

Inisiatif CPEC

Selain utang dalam negeri yang tinggi, ketergantungan Pakistan pada pinjaman luar negeri telah memperdalam kerentanan keuangan negara.

Sebagian besar utang luar negeri ini berasal dari pinjaman infrastruktur Tiongkok di bawah inisiatif Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC). 

Ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek CPEC telah berkontribusi pada membengkaknya kewajiban utang luar negeri Pakistan.

Mengingat, banyak persyaratan pinjaman Tiongkok yang memiliki suku bunga relatif tinggi dan jadwal pembayaran yang kaku.

Faktanya, Pakistan berutang kepada Tiongkok sekitar USD26,6 miliar, menjadikannya salah satu pengutang Tiongkok terbesar secara global.

Fatima menyebut pembiayaan CPEC sering kali melibatkan produsen listrik independen, sehingga semakin membebani keuangan Pakistan dan menambah biaya pembayaran pinjaman Tiongkok.

Meski Pakistan baru-baru ini mengadakan pembicaraan dengan Tiongkok untuk memperpanjang jangka waktu pembayaran utang CPEC, tindakan tersebut hanya memberikan keringanan sementara dan menyoroti kebutuhan mendesak akan solusi pengelolaan utang yang lebih berkelanjutan.

Para ahli, ujar Fatima, sepakat bahwa kesulitan fiskal Pakistan membuat pilihan mereka terbatas. Kenaikan pajak dan pemotongan belanja, meski penting, tidak cukup untuk mengatasi parahnya krisis ini. 

"Menaikkan pajak untuk memenuhi kewajiban utang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan memicu ketidakpuasan masyarakat, sebagaimana dibuktikan oleh kesulitan yang dihadapi Kenya baru-baru ini dalam menerapkan langkah-langkah penghematan fiskal. Pemotongan belanja, meski efektif di beberapa bidang, tidak akan cukup, karena bakal memangkas layanan-layanan penting," sebut dia.

Menurut Fatima, anjuran Dr. Syed terkait strategi reprofiling utang relevan menghadapi kondisi ini. Anjuran itu memerlukan restrukturisasi utang Pakistan untuk menunda pembayaran kembali. 

Pendekatan ini, kata Fatima, dapat membebaskan sumber daya untuk prioritas pembangunan.

Namun, reprofiling utang saja tidak akan menyelesaikan permasalahan struktural Pakistan, mengingat besarnya kewajiban utang dan ketergantungan pada pinjaman. 

"Tindakan tersebut juga memerlukan persetujuan dari kreditor, yang beberapa di antaranya mungkin enggan memberikan konsesi yang besar," ujar dia.

Terkini, menyusul dana talangan sebesar USD7 miliar baru-baru ini dari Dana Moneter Internasional (IMF), Pakistan berupaya mendapatkan keringanan lebih lanjut melalui perjanjian reprofiling utang, terutama dengan Tiongkok. Meski dapat mengurangi tekanan keuangan jangka pendek, langkah-langkah tersebut merupakan tindakan sementara yang gagal mengatasi permasalahan mendasar.

Ketergantungan pada dana talangan asing secara efektif menunda krisis utang Pakistan tanpa menghilangkan akar permasalahan, yang pada akhirnya memperdalam ketergantungannya pada kreditor internasional.

Siklus Utang Tanpa Akhir

Kewajiban pembayaran utang Pakistan untuk tahun fiskal 2024-2025 diperkirakan mencapai USD28,4 miliar, hampir setara dengan total pengiriman uang negara tersebut.

Dengan tidak adanya peningkatan cadangan devisa, ketergantungan pada pengiriman uang untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan masih tidak dapat dipertahankan. Kesulitan ini menggarisbawahi sejauh mana stabilitas ekonomi Pakistan di masa depan bergantung pada kehati-hatian fiskal, diversifikasi ekspor, dan reformasi ekonomi yang ketat.

Jika ingin menghindari bencana finansial berkepanjangan, Pakistan harus beralih ke kebijakan ekonomi yang mandiri.

Pergeseran ini memerlukan langkah-langkah pemotongan biaya yang ketat, upaya agresif untuk mengurangi impor, dan perombakan mekanisme pengumpulan pendapatan. Kebijakan yang memprioritaskan industri dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada impor, dan mendorong pertumbuhan ekspor—khususnya di sektor-sektor yang berpotensi besar seperti TI dan manufaktur—sangat penting untuk membangun landasan ekonomi berkelanjutan.

Para pengambil kebijakan di Pakistan, kata Fatimah, harus menghadapi inefisiensi struktural di Dewan Pendapatan Federal (FBR), di mana kurang efisiennya pengumpulan pajak memperburuk defisit fiskal.

Reformasi dalam administrasi perpajakan, serta penggunaan teknologi yang lebih luas untuk mengurangi korupsi dan penghindaran pajak, dapat membantu mengoptimalkan pengumpulan pendapatan.

Langkah-langkah tersebut, meski sulit, merupakan pengorbanan yang perlu dilakukan jika Pakistan ingin mencapai kemandirian fiskal dan meminimalkan paparannya terhadap perangkap pertumbuhan yang dipicu oleh utang.

Pakistan dinilai perlu mempertimbangkan pilihan yang menantang secara politik dengan menerapkan moratorium sementara terhadap pembayaran utang. Moratorium seperti ini dinilai memungkinkan pemerintah untuk mengalihkan dananya ke kebutuhan-kebutuhan sosial dan pembangunan yang penting, walau hal ini tentunya akan membebani hubungan dengan kreditor internasional dan mungkin membatasi akses terhadap pendanaan di masa depan. 

"Namun, tanpa tindakan tegas, Pakistan berisiko mengalami kemunduran di mana kebutuhan untuk membayar utang menutupi semua prioritas fiskal lainnya, sehingga menjebak negara ini dalam siklus utang yang tiada akhir,” pungkas Fatima.

 

SUMBER

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #pakistan #hadapi #risiko #terjebak #siklus #utang #tanpa #akhir

KOMENTAR