



Pemberontakan Taiping: Gerakan Keagamaan yang Mengguncang Dinasti Qing
Pemberontakan Taiping merupakan gejolak politik dan keagamaan radikal yang terjadi di Tiongkok pada abad ke-19. Konflik ini berlangsung selama sekitar 14 tahun, yakni dari 1850 hingga 1864, melanda 17 provinsi, menewaskan sekitar 20 juta jiwa, dan secara permanen mengubah wajah Dinasti Qing.
Dikutip dari Britannica, gerakan besar ini dipimpin oleh Hong Xiuquan. Terinspirasi oleh ajaran Kristen, Hong mengaku mendapatkan serangkaian penglihatan dan meyakini dirinya sebagai anak Tuhan, serta adik Yesus Kristus yang diutus untuk mereformasi Tiongkok. Bersama rekannya, Feng Yunshan, ia membentuk kelompok keagamaan bernama God Worshippers’ Society atau Bai Shangdi Hui (Perkumpulan Penyembah Tuhan), yang beranggotakan para petani miskin di Provinsi Guangxi.
Pada tahun 1850, Hong memimpin pemberontakan besar-besaran. Kemudian, pada 1 Januari 1851, Hong mendeklarasikan berdirinya kerajaan baru bernama Taiping Tianguo atau Kerajaan Surgawi Kedamaian Agung, dan menobatkan dirinya sebagai Tianwang atau Raja Surgawi.
Latar Belakang Sosial dan Politik
Dilansir dari artikel oleh Narasingha P. Sil yang diterbitkan oleh EBSCO, memasuki pertengahan abad ke-19, Tiongkok menghadapi tekanan besar dari Barat. Perdagangan opium dan kegiatan misionaris Kristen meningkat pesat, sementara pemerintah Qing gagal menanganinya. Kekalahan dalam Perang Candu Pertama (1840-1842) menghasilkan Perjanjian Nanjing (1842) yang dianggap memalukan, disusul kekalahan lagi dalam Perang Candu Kedua (1856-1860) yang berakhir dengan Konvensi Beijing (1860).
Kelemahan pemerintahan Qing memperburuk kondisi sosial dan ekonomi dalam negeri. Ketidakseimbangan ini paling terasa di Guangdong dan Guangxi, dua provinsi di selatan yang dihuni oleh beragam kelompok etnis seperti Punti, Hakka, Miao, Yao, dan Lolo. Komunitas-komunitas ini hidup dari berbagai pekerjaan seperti pelaut, penambang, dan pembakar arang, serta kerap terhubung dengan perkumpulan rahasia. Dalam situasi sosial yang tidak stabil inilah Pemberontakan Taiping mulai tumbuh.
Awal Mula Pergerakan Hong Xiuquan
Hong Xiuquan lahir dari keluarga petani miskin etnis Hakka di Guangdong pada 1814. Ia sempat menjadi guru desa setelah berulang kali gagal lulus ujian kenegaraan antara tahun 1828 hingga 1843. Setelah kegagalan keempatnya, Hong menafsirkan kembali ajaran agama Kristen yang ia pelajari dan mengaitkannya dengan penglihatan spiritual yang dialaminya pada 1837. Ia dan sepupunya, Li Jingfan, kemudian mulai mengajak rekan-rekan guru seperti Feng Yunshan dan Hong Rengan untuk bergabung.
Gerakan mereka berkembang cepat, tetapi juga menimbulkan kontroversi. Mereka menghancurkan altar Konfusianisme dan menentang penyembahan berhala, sehingga dipecat dari pekerjaan. Feng Yunshan kemudian mendirikan organisasi formal Bai Shangdi Hui di daerah pegunungan Guangxi pada 1844, tempat ajaran baru Hong berkembang pesat di kalangan petani miskin dan suku-suku minoritas seperti Miao dan Yao.
Kelahiran Kerajaan Taiping
Faktor pemicu akhir muncul pada masa kelaparan besar tahun 1849-1850. Pada musim panas 1850, para pengikut Taiping mulai menyerang kalangan kaya untuk membantu rakyat miskin. Mereka membagikan hasil rampasan kepada masyarakat, sehingga memperoleh dukungan luas.
Pada 11 Januari 1851, di Jintian, Hong dan para pengikutnya secara resmi menyatakan revolusi melawan Dinasti Qing. Ia diangkat menjadi Tianwang (Raja Surgawi), sementara lima pemimpin lainnya diberi gelar Wang (raja bawahan). Nama Taiping Tianguo sendiri mencerminkan perpaduan antara ajaran Konfusianisme dan Kristen, bermakna “surga baru, bumi baru, manusia baru, dan dunia baru.”
Puncak Kejayaan dan Kejatuhan
Pada tahun 1852, pasukan Taiping bergerak keluar dari Guangxi menuju Hunan dan Hubei, hingga akhirnya merebut Nanjing pada 1853 setelah pengepungan selama sebelas hari. Di sana, Hong mendirikan pemerintahan dengan sistem tanah baru bernama Tianchao Tianmou Jitu (Sistem Tanah Kerajaan Surgawi).
Setelah itu, pasukan Taiping mencoba bergerak ke utara untuk merebut Beijing, tetapi gagal karena kurang persiapan dan terhenti di selatan Tianjin. Pada tahun 1856, konflik internal besar terjadi di Nanjing yang menewaskan Yang Xiujing dan sekitar 20.000 pengikutnya, menandai berakhirnya serangan besar mereka.
Di saat bersamaan, Dinasti Qing menghadapi Perang Candu Kedua, yang berakhir dengan kekalahan dan penandatanganan Perjanjian Tianjin (1858) serta Konvensi Beijing (1860). Sebagai imbalan atas kesepakatan yang diberikan, pasukan Inggris dan Prancis bersedia membantu Qing menumpas pemberontakan dalam negeri, termasuk Taiping.
Memasuki 1860-an, pasukan Qing di bawah pimpinan Zeng Guofan mulai menguat. Dengan bantuan pasukan Hunan (Xiangjun) dan dukungan dari jenderal terkenal seperti Li Hongzhang dan Zuo Zongtang, mereka memperkuat serangan. Qing juga dibantu oleh pasukan asing yang disebut Ever Victorious Army, yang berhasil mengalahkan pasukan Taiping di sekitar Shanghai pada 1862.
Pada 1864, pasukan Zeng mengepung Nanjing dan memutus seluruh jalur suplai. Dalam kondisi terjepit, Hong Xiuquan meracuni dirinya sendiri pada 1 Juni 1864, setelah menobatkan putranya, Hongfu, sebagai penerus. Namun, beberapa minggu kemudian, Nanjing berhasil direbut dan mengalami pembantaian besar-besaran. Hongfu melarikan diri tetapi akhirnya ditangkap dan dieksekusi. Dengan peristiwa itu, Pemberontakan Taiping resmi berakhir pada akhir musim panas 1864. (*)
Tag: #pemberontakan #taiping #gerakan #keagamaan #yang #mengguncang #dinasti #qing