Kisah Para Ibu Bekerja Menghadapi Dilema dan Rasa Bersalah Saat Menitipkan Anak ke Daycare
- Di balik suksesnya ibu yang masih bisa bekerja sambil memastikan tumbuh kembang anaknya, ada rasa dilema karena harus menitipkan sang buah hati ke daycare.
Meskipun bisa membantu dalam pengasuhan anak, tetapi tetap tidak bisa mengobati rasa bersalah ibu karena tidak dapat membersamai anak sesering ibu rumah tangga.
“Sebenarnya yang bikin dilemanya adalah karena saya juga seorang guru BK,” ungkap Eka (46) kepada Kompas.com di HappyKids Daycare cabang Sukatani, Tapos, Kota Depok, Kamis (4/12/2025).
Kisah dari Eka
Eka (46), ibu bekerja yang berprofesi sebagai guru BK, saat ditemui di HappyKids Daycare cabang Sukatani, Tapos, Kota Depok, Kamis (4/12/2025).
Mengurus anak orang lain, tapi menitipkan anak sendiri di daycare
Sebagai seorang guru BK, Eka tidak hanya mendampingi kegiatan pembelajaran para anak murid di sekolah, tetapi juga mendampingi mereka ketika sedang bermasalah.
Di sisi lain, sebagai seorang ibu dari empat anak, Eka justru menitipkan anak ketiga dan keempatnya, Azzam (5) dan Shofia (4), ke daycare karena mereka tidak mungkin ikut sang ibunda bekerja.
“Saya harus gimana nih supaya semuanya tetap saya peroleh, ‘ngurusin’ anak orang dan mengurus anak?” kata dia.
Azzam dititipkan lebih dulu ketika berusia setahun dua bulan karena sang adik baru lahir, dan Shofia dititipkan ketika ia berusia dua tahun setelah sebelumnya sempat diasuh oleh neneknya.
Ketika mendapat rekomendasi daycare yang sesuai dengan ekspektasinya, dan terbukti bisa menjaga Azzam dengan baik sekaligus membantu memberi stimulasi yang tepat, Eka meniatkan daycare sebagai tempat Azzam dan Shofia, bertumbuh dan berkembang.
“Saya niatkan daycare menjadi tempat seperti itu, ketika saya tidak bisa meraih itu. Tapi, ketika mereka pulang dari daycare dan saat akhir pekan, itulah waktunya bersama saya,” ujar Eka.
Bersabar dan mengikhlaskan diri
Cara Eka mengatasi dilema tersebut adalah dengan memvalidasi perasaannya. Memang benar ia merasa bersalah karena harus menitipkan anak ke daycare, tetapi ia juga belajar agar lebih sabar dan ikhlas.
Ia bersabar dalam menghadapi reaksi anaknya ketika harus ditinggal bekerja, dan ikhlas dengan cara-cara yang dilakukan oleh para staf di daycare dalam mengurus anaknya.
Kesabaran dalam menghadapi anaknya dimulai dari pagi hari, yang mana waktu tersebut sangat krusial baginya dalam mengatur suasana hati sepanjang hari.
“Pagi hari adalah fase yang luar biasa buat saya, jangan sampai saya emosi dulu. Dari malam, saya harus sudah mempersiapkan diri agar pagi harus gimana supaya saya tidak marah, biar anak lihat uminya senyum di pagi hari,” ungkap Eka.
Hal tersebut diperlukan supaya Eka bisa teguh saat menyerahkan anak ke daycare dalam keadaan menangis, lantaran tidak ingin ditinggal ibunya bekerja.
“Saya tidak merajuk dia untuk dia tenang. Saya sudah peluk-peluk, salim, dan berusaha untuk mengikhlaskan, mau anak nangis atau apa karena ada mbak di daycare,” kata dia.
Eka sudah tahu bahwa pengasuh yang memegang anaknya kompeten. Inilah mengapa mengikhlaskan anak dititipkan ke daycare cukup mudah dilakukan, di tengah rasa bersalah itu.
“Lima menit kemudian saya jalan, saya cek sama mbaknya apakah anak masih nangis atau enggak, eh sudah anteng. Itu Jadi drama ya pagi hari,” ujar Eka.
Kisah dari Fatimah
Fatimah (28), ibu bekerja yang berprofesi sebagai dosen program studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), saat ditemui di HappyKids Daycare cabang Sukatani, Tapos, Kota Depok, Kamis (4/12/2025).
Tak bisa membersamai anak
Fatimah adalah seorang dosen program studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Ia terpaksa harus menitipkan Izaad (2) ke daycare, sehingga tidak bisa sepenuhnya membersamai si kecil.
“Pasti ada dilema dan rasa bersalah, terutama ketika anak lagi sakit dan kita ada pekerjaan,” ucap dia, Kamis.
Sebelum memasukkan anak ke daycare, ia mempertimbangkan untuk menyewa pengasuh. Namun, karena adanya kemungkinan perbedaan persepsi yang tidak bisa dikompromi, Fatimah lebih condong ke daycare.
“Dan kami memilih daycare pun enggak sembarangan, kami sudah punya standar. Dan kalau anak sakit, mereka enggak boleh masuk ketika suhu di atas 37,5 celsius, jadi saya izin kerja,” tutur dia.
Kecolongan momen penting
Selain tidak bisa sepenuhnya membersamai anak, Fatimah juga merasa bersalah karena ia “kecolongan” beberapa momen penting, yang sering dinantikan oleh para ibu.
“Awalnya saya harap saya yang tahu duluan, ternyata miss-nya yang tahu duluan. Misalnya anak sudah bisa ngomong ‘maaf’, tapi yang tahu dia bisa ngomong itu pertama kalinya itu miss-nya, bukan saya,” ucap dia.
Selanjutnya adalah langkah pertama anak yang seharusnya lebih dulu diketahui oleh Fatimah, tetapi malah lebih dulu diketahui oleh pengasuh di daycare.
“Bersalahnya tuh karena pas milestone anak yang enggak mungkin terulang, saya enggak hadir. Bukan saya yang pertama tahu, dan jadi kayak, ‘Kok bukan saya ya yang tahu’. Rasa bersalah itu selalu ada,” tutur Fatimah.
Memanfaatkan jam kosong untuk membersamai anak
Cara Fatimah menghadapi dilema dan perasaan bersalah itu adalah dengan memanfaatkan setiap jam kosong, momen ketika pulang kerja, dan hari libur, untuk membersamai anak.
Meskipun total waktunya mungkin tidak sebanyak yang diinginkan lantaran terpotong jam kerja Fatimah, ia tetap berusaha hadir untuk Izaad.
“Kadang saya dapat jam mengajarnya agak siang. Jadi untuk menebus rasa bersalah, saya kayak, ‘Oke kita makan dulu sama mama, main dulu sama mama’,” kata dia.
Ketika sedang bekerja dari rumah, terkadang anak tetap bersama dirinya di rumah. Sebab, ada kalanya ia memang bekerja dari rumah, tapi pekerjaannya cukup padat sehingga kurang mampu untuk membersamai anak.
“Kalau lagi agak senggang, ngajarin cuma dua sampai empat SKS, masih bisa anak di rumah. Kadang saya gunakan untuk ajak anak jalan-jalan ke mana, kayak gitu,” kata Fatimah.
Kisah dari Septi
Septi (29), ibu bekerja yang berprofesi sebagai karyawan swasta, saat ditemui di HappyKids Daycare cabang Sukatani, Tapos, Kota Depok, Kamis (4/12/2025).
Ingin sama anak, tapi terhalang pekerjaan
Selanjutnya adalah seorang karyawan swasta bernama Septi (29). Di satu sisi, ia ingin selalu mendampingi sang buah hati, Kenneth (4). Di sisi lain, ia juga ingin bekerja.
Ia menyadari bahwa dirinya akan stres jika menjadi ibu rumah tangga, yang mana stres bisa berdampak pada suasana hati seorang ibu ketika mengasuh anak.
“Perasaan bersalah itu kadang muncul, walaupun saya tahu saya sedang melakukan yang terbaik untuk anak, untuk keluarga,” ucap dia, Kamis.
Ada beberapa kantor yang memungkinkan para karyawan untuk membawa anak mereka ke dalam ruang kerja. Berkait hal tersebut, Septi mengaku tidak terlalu iri dengan para ibu bekerja yang membawa anak ke kantor.
Pasalnya, ia tidak bisa memastikan kondisi kesehatan seluruh anak dari para rekan kerjanya, dan tidak mengetahui riwayat kesehatan seluruh anggota keluarga mereka.
Tidak semua orang pula memiliki standar kebersihan yang sama dengan Septi, yang mana cukup berisiko terhadap kesehatan Kenneth.
“Di kantor juga ada yang ngerokok, nge-vape. Kita enggak tahu apakah orang terdekat mereka ada yang punya penyakit atau enggak. Menurut saya lebih aman di daycare” terang Septi.
Bukan tidak peduli, tapi berusaha memberikan lingkungan yang aman
Perasaan bersalah Septi karena tidak bisa sepenuhnya mengurus anak berujung pada pikiran negatif bahwa ia tidak peduli dengan anak.
Namun, ia selalu mengingatkan pada diri sendiri bahwa menitipkan anak di daycare bukanlah tanda bahwa ia tidak peduli dengan Kenneth. Itu adalah usahanya sebagai seorang ibu bekerja dalam memberikan lingkungan yang aman.
“Saya memberikan lingkungan yang juga terarah dan menyenangkan untuk anak saya. Dan saya juga selalu membersamai anak sepulang kerja dan akhir pekan. Fokus pada perkembangan anak. Ini membuat pikiran jauh lebih tenang,” tutur Septi.
Tag: #kisah #para #bekerja #menghadapi #dilema #rasa #bersalah #saat #menitipkan #anak #daycare