Hindari Kematian Mendadak karena Henti Jantung, Salah Satunya dengan CPR dan Deteksi Dini
Ilustrasi Jantung. (freepik)
12:44
7 November 2025

Hindari Kematian Mendadak karena Henti Jantung, Salah Satunya dengan CPR dan Deteksi Dini

- Kasus kematian mendadak akibat henti jantung atau Sudden Cardiac Death (SCD) masih menjadi ancaman serius di dunia, termasuk di Indonesia. Sekretaris Jenderal PERITMI/Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), dr. Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), FIHA, menjelaskan bahwa SCD menyumbang sekitar 10 hingga 15 persen dari seluruh kematian global setiap tahun.

Artinya, jutaan orang meninggal secara tiba-tiba karena gangguan irama jantung yang sering kali tidak terdeteksi sebelumnya. Secara global, insiden SCD diperkirakan mencapai 40–100 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dibanding perempuan.

Menurut dr. Agung, meski angka kematian sempat menurun pada 1999–2018, tren terbaru menunjukkan adanya peningkatan kembali sejak 2018. Di Indonesia sendiri, data nasional mengenai out-of-hospital cardiac arrest (OHCA) atau henti jantung di luar rumah sakit memang belum terdokumentasi secara lengkap. Namun, peningkatan kasus penyakit kardiovaskular menandakan potensi kasus SCD yang tinggi.

Berdasarkan data jaringan Pan-Asian Resuscitation Outcome Study (PAROS), tingkat kelangsungan hidup pasien OHCA di Asia hanya 4–6 persen, jauh lebih rendah dibanding negara-negara Barat.

“Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya sistem tanggap darurat yang kuat serta edukasi publik agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan saat seseorang mengalami henti jantung,” ujar dr. Agung kepada wartawan, Jumat (7/11).

Ia menegaskan bahwa pencegahan dan deteksi dini adalah langkah paling efektif untuk menekan risiko kematian mendadak. Masyarakat dianjurkan mengenali faktor risiko pribadi dan melakukan pemeriksaan kesehatan rutin minimal setahun sekali, termasuk tekanan darah, kadar gula, dan kolesterol.

“Jika ada riwayat keluarga meninggal mendadak di usia muda, jantung berdebar, atau sering pingsan tanpa sebab jelas, segera konsultasi ke dokter jantung,” tegasnya.

Selain itu, tanda-tanda seperti nyeri dada, sesak, cepat lelah, atau detak jantung tidak teratur juga perlu diwaspadai. Pemeriksaan lanjutan seperti EKG, ekokardiografi, atau Holter monitoring bisa membantu mendeteksi kelainan lebih awal.

dr. Agung menambahkan, gaya hidup sehat tetap menjadi kunci utama untuk menurunkan risiko henti jantung mendadak. Beberapa hal sederhana seperti berhenti merokok, rutin berolahraga, tidur cukup, dan mengelola stres terbukti efektif menjaga kesehatan jantung.

Namun, di luar upaya pencegahan, kemampuan masyarakat dalam memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD) juga sangat penting, terutama dalam kasus henti jantung di luar rumah sakit.

“Setiap menit tanpa CPR menurunkan peluang hidup secara signifikan. Bystander CPR (resusitasi oleh orang di sekitar) bisa meningkatkan peluang hidup tiga hingga empat kali lipat, dan penggunaan AED (Automated External Defibrillator) bahkan bisa meningkatkan peluang hingga lima kali lipat,” jelasnya.

Menurutnya, semakin banyak masyarakat yang mampu melakukan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation), semakin besar pula kemungkinan korban bertahan hidup sebelum petugas medis tiba.

dr. Agung menyarankan langkah praktis yang bisa dilakukan masyarakat, seperti mengenali tanda henti jantung yaitu korban tidak responsif dan tidak bernapas normal, kemudian segera hubungi 112 atau 119, lakukan kompresi dada keras dan cepat (100–120 kali per menit dengan kedalaman 5–6 cm), dan gunakan AED bila tersedia. Bantuan sederhana namun cepat ini bisa menjadi penentu antara hidup dan mati bagi korban.

Editor: Sabik Aji Taufan

Tag:  #hindari #kematian #mendadak #karena #henti #jantung #salah #satunya #dengan #deteksi #dini

KOMENTAR