Alergi Akibat Hewan Peliharaan: Mengapa Terjadi dan Bagaimana Menguranginya?
Alergi terhadap hewan merupakan kondisi yang umum, terutama pada orang yang juga memiliki alergi lain atau asma. Bagi sebagian orang, bersentuhan dengan bulu kucing atau anjing bisa memicu bersin, hidung tersumbat, hingga sesak napas. Meski terdengar ringan, alergi hewan dapat mengganggu kualitas hidup seseorang, terlebih jika ia tinggal serumah dengan hewan peliharaan.
Dilansir dari Medical News Today, menurut Asthma and Allergy Foundation of America, sekitar 30% orang dengan alergi di Amerika Serikat mengalami reaksi terhadap kucing dan anjing, dengan kemungkinan alergi terhadap kucing dua kali lebih besar dibandingkan terhadap anjing.
Artikel ini akan membahas penyebab alergi hewan, gejala yang muncul, hingga cara penanganan dan pencegahan agar Anda tetap bisa hidup berdampingan dengan hewan kesayangan tanpa gangguan alergi.
Jenis Hewan dan Sumber Alergen
Orang yang memiliki alergi terhadap hewan umumnya bereaksi terhadap protein tertentu yang terdapat dalam ketombe (dander), air liur, urine, dan kotoran hewan. Ketombe adalah serpihan kecil sel kulit mati yang menempel pada bulu atau bulu halus hewan, termasuk kucing, anjing, hamster, kelinci, maupun burung.
Perlu diketahui bahwa rambut hewan bukanlah alergen utama. Namun, rambut bisa menjadi media pembawa bagi ketombe, air liur, dan partikel lain seperti debu atau serbuk sari yang dapat memicu alergi. Hewan tanpa bulu, seperti ikan, reptil, dan amfibi, tidak menghasilkan ketombe sehingga lebih kecil kemungkinannya menyebabkan reaksi alergi.
Jumlah penderita alergi hewan terus meningkat, seiring dengan bertambahnya kepemilikan hewan peliharaan. Data menunjukkan bahwa sekitar 62% rumah tangga di Amerika Serikat memiliki hewan peliharaan, dan lebih dari 160 juta di antaranya adalah kucing dan anjing.
Penyebab Terjadinya Alergi Hewan
Alergi hewan terjadi ketika sistem kekebalan tubuh salah mengenali protein hewan sebagai ancaman. Ketika seseorang menghirup partikel kecil dari ketombe, air liur, atau kotoran hewan, sistem imun bereaksi berlebihan dengan melepaskan histamin, zat kimia yang memicu peradangan pada hidung, tenggorokan, kulit, dan paru-paru.
Reaksi ini dikenal sebagai rinitis alergi, yang menyebabkan bersin, hidung meler, atau hidung tersumbat. Pada beberapa orang, paparan alergen juga dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi, yaitu reaksi kulit gatal dan merah akibat sentuhan langsung dengan protein hewan.
Selain itu, partikel ketombe dapat bertahan di udara untuk waktu yang lama dan menempel pada pakaian, furnitur, atau karpet, sehingga mempersulit pengendalian paparan alergen di lingkungan rumah. Air liur hewan yang menempel pada permukaan benda pun dapat menjadi sumber alergi begitu mengering dan terhirup kembali.
Gejala yang Muncul Akibat Alergi Hewan
Alergi hewan dapat memengaruhi sistem pernapasan maupun kulit. Gejala yang umum meliputi:
- Hidung gatal, tersumbat, atau berair
- Mata merah dan berair
- Bersin berulang
- Gatal di langit-langit mulut atau tenggorokan
- Sulit bernapas atau mengi saat mengeluarkan napas
- Rasa lelah akibat gangguan tidur karena sesak
Sementara pada kulit, reaksi alergi bisa berupa ruam merah, gatal, bengkak, atau sensasi terbakar. Beberapa orang mengalami gejala ringan yang baru muncul beberapa hari setelah kontak dengan hewan, namun bagi yang sensitif, batuk dan sesak napas bisa terjadi dalam waktu 15–30 menit setelah terpapar.
Bagi penderita asma, alergi hewan dapat memperparah gejala asma atau bahkan memicu serangan asma yang parah. Karena itu, penting untuk mengenali dan mengelola kondisi ini sedini mungkin.
Pengobatan dan Cara Mengelola Alergi Hewan
Langkah utama untuk mengatasi alergi hewan adalah menghindari sumber alergen. Namun, bagi banyak orang, terutama pemilik hewan peliharaan, hal ini tidak selalu mudah dilakukan. Beberapa pilihan perawatan medis yang bisa membantu antara lain:
- Antihistamin: membantu meredakan gatal, bersin, dan hidung berair dengan menghambat produksi histamin.
- Kortikosteroid semprot hidung: mengurangi peradangan dan hidung tersumbat.
- Dekongestan: melegakan saluran napas dengan mengurangi pembengkakan di rongga hidung.
- Leukotriene modifier: bekerja dengan menghambat zat kimia penyebab peradangan, cocok bagi mereka yang tidak cocok dengan antihistamin.
- Imunoterapi: terapi jangka panjang dengan paparan bertahap terhadap alergen untuk mengurangi sensitivitas tubuh.
Selain obat, beberapa langkah sederhana juga dapat membantu mengurangi paparan alergen di rumah:
- Membuat zona bebas hewan peliharaan, seperti kamar tidur.
- Mengganti karpet dengan lantai kayu atau vinil yang mudah dibersihkan.
- Membersihkan rumah secara rutin, termasuk mencuci karpet dan tirai.
- Memandikan hewan seminggu sekali untuk mengurangi ketombe.
- Meminta orang lain yang tidak alergi untuk membersihkan kandang atau tempat tidur hewan.
- Menggunakan air purifier dengan filter HEPA untuk menyaring partikel halus di udara.
Perlu diketahui, tidak ada hewan peliharaan yang benar-benar hipoalergenik. Beberapa ras mungkin menghasilkan ketombe lebih sedikit, tetapi semua hewan berbulu tetap bisa memicu reaksi alergi pada orang yang sensitif.
Kapan Harus ke Dokter dan Tes Alergi
Jika gejala alergi tidak kunjung membaik meski sudah melakukan berbagai perubahan gaya hidup, sebaiknya konsultasikan dengan dokter. Dokter dapat menilai tingkat keparahan gejala, mencari penyebab pasti, dan menentukan perawatan yang sesuai.
Untuk memastikan pemicunya, dokter mungkin akan merujuk pasien ke spesialis alergi (allergist). Pemeriksaan dapat meliputi tes kulit, di mana sejumlah kecil alergen ditempatkan pada kulit untuk melihat reaksi, atau tes darah untuk mendeteksi antibodi terhadap protein hewan tertentu.
Hasil tes ini membantu menentukan seberapa sensitif seseorang terhadap alergen dan menjadi dasar dalam menentukan strategi pengobatan jangka panjang. (*)
Tag: #alergi #akibat #hewan #peliharaan #mengapa #terjadi #bagaimana #menguranginya