Doom Scrolling: Ancaman Baru bagi Kesehatan Mental Publik
Ilustrasi seseorang merasa stres akibat doomscrolling di media sosial.(Freepik)
23:06
8 Desember 2025

Doom Scrolling: Ancaman Baru bagi Kesehatan Mental Publik

FENOMENA membaca berita buruk secara terus menerus di media sosial atau platform digital kini dikenal luas dengan istilah doom scrolling. Istilah ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk tetap menggulir layar meskipun konten yang dikonsumsi menimbulkan rasa takut, cemas, marah, atau tidak nyaman.

Di era ketika telepon genggam menjadi perpanjangan dari diri manusia, perilaku ini semakin sering muncul dan tidak lagi dipandang sekadar kebiasaan buruk, tetapi menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental publik.

Meskipun terlihat sepele karena hanya terkait dengan aktivitas menggulir layar, doom scrolling memiliki dampak psikologis yang kompleks. Pada banyak kasus, perilaku ini muncul secara tidak sadar. Seseorang membuka telepon genggam hanya untuk melihat notifikasi atau mencari informasi singkat, tetapi kemudian terseret oleh arus kabar buruk yang terasa tidak ada habisnya.

Berita mengenai konflik politik, bencana alam, kriminalitas, kekerasan, maupun perdebatan sosial yang memecah belah menjadi sebagian kecil dari konten yang memenuhi laman beranda warga digital. Semakin banyak seseorang mengakses informasi negatif, semakin besar dorongan untuk mencari lebih banyak sampai akhirnya terjebak dalam lingkaran kecemasan.

Ada beberapa faktor yang membuat doom scrolling sangat mudah terjadi. Pertama adalah desain media sosial yang memang dikonstruksi untuk mempertahankan perhatian. Algoritma bekerja seperti penjual konten yang selalu tahu apa yang membuat seseorang berhenti menggulir. Ketika pengguna sering berinteraksi dengan berita bernada negatif, sistem akan menyuplai lebih banyak konten sejenis karena dianggap relevan. Akibatnya, ruang digital perlahan menjadi ekosistem yang didominasi rasa khawatir.

Seseorang mungkin tidak menyadari bahwa alur konten yang muncul telah dipersonalisasi oleh algoritma berdasarkan pola interaksinya. Ketika berita buruk memberikan reaksi emosional paling kuat, sistem akan mengulang pola tersebut. Dalam konteks ini, doom scrolling bukan sepenuhnya kesalahan pengguna, tetapi juga hasil dari desain digital yang menempatkan perhatian sebagai komoditas utama.

Faktor kedua adalah sifat psikologi manusia. Otak memiliki kecenderungan untuk memberikan perhatian lebih besar pada informasi negatif daripada positif. Hal ini merupakan warisan evolusi yang membuat manusia lebih sensitif terhadap ancaman demi bertahan hidup.

Namun dalam dunia digital, sensitivitas terhadap ancaman ini menjadi kontraproduktif. Alih alih melindungi, kecenderungan tersebut membuat seseorang terpapar informasi yang menekan secara berulang. Aliran kabar buruk akhirnya menciptakan tekanan mental yang terus meningkat. Tanpa disadari, seseorang bisa mengalami peningkatan kecemasan, kekhawatiran berlebihan terhadap masa depan, sulit tidur, hingga kelelahan emosional.

Selain itu, doom scrolling memiliki dampak sosial. Ketika masyarakat banyak mengonsumsi berita negatif, persepsi kolektif mengenai dunia menjadi lebih gelap dari realitas sebenarnya. Konflik sosial tampak lebih intens, kriminalitas seolah meluas tanpa kendali, dan masalah publik terasa seakan tidak memiliki solusi. Persepsi seperti ini mempengaruhi optimisme sosial masyarakat.

Semakin banyak orang yang terjebak dalam pola ini, semakin besar kemungkinan munculnya apatisme publik, hilangnya rasa percaya, serta meningkatnya polarisasi dalam hubungan antar warga. Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa mengganggu kesehatan demokrasi karena masyarakat kehilangan kemampuan menilai informasi secara jernih.

Selain aspek psikologis dan sosial, doom scrolling juga mengganggu produktivitas. Banyak orang yang memulai pagi dengan kebiasaan membuka media sosial atau aplikasi berita. Ketika paparan pertama yang diterima adalah kabar negatif, suasana hati akan terbentuk sejak awal dan berdampak pada aktivitas sepanjang hari.

Konsentrasi kerja menurun, motivasi melemah, dan energi emosional tersedot oleh proses menghadapi informasi yang membebani. Bahkan setelah telepon genggam ditutup, jejak emosional dari konten negatif itu tetap tertinggal.

Fenomena ini menjelaskan mengapa banyak pekerja merasa lelah meskipun belum memulai aktivitas fisik apa pun. Muncul pula dampak lain yang sering tidak disadari yaitu gangguan tidur. Banyak orang melakukan doom scrolling pada malam hari sebagai ritual menutup hari.

Niat awal sekadar melihat perkembangan berita atau melepas penat. Namun ketika paparan informasi negatif terus meningkat, sistem saraf tetap terjaga dan pikiran sulit tenang. Pada akhirnya, seseorang tidur larut, kualitas tidur menurun, dan tubuh memasuki siklus ketidakstabilan hormon stres.

Gangguan tidur yang berulang menjadi titik awal munculnya masalah kesehatan mental lain seperti kecemasan kronis dan depresi ringan. Fenomena ini perlu dipandang sebagai isu publik karena perilaku digital tidak hanya menyangkut individu, tetapi juga mempengaruhi ekosistem sosial yang lebih luas.

Dunia digital telah menjadi ruang publik tempat masyarakat berinteraksi, mencari informasi, menyampaikan pendapat, dan membentuk persepsi kolektif. Ketika ruang ini dipenuhi kabar negatif dan disertai perilaku konsumsi informasi yang tidak sehat, masyarakat dapat kehilangan ketahanan mental dalam menghadapi tantangan.

Oleh karena itu, penting merumuskan strategi mitigasi yang tidak hanya mengandalkan kesadaran individu, tetapi juga memperbaiki desain sistem digital yang selama ini memicu perilaku tersebut. Salah satu langkah penting adalah membangun literasi digital emosional.

Literasi ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan memilah informasi, tetapi juga kemampuan memahami bagaimana konten tertentu mempengaruhi kondisi psikologis. Individu perlu belajar mengenali tanda tubuh dan pikiran ketika mulai terjebak dalam doom scrolling.

Sinyal seperti sesak di dada, pikiran berulang, perubahan suasana hati yang tiba tiba, atau dorongan untuk terus menggulir meski merasa lelah adalah tanda bahwa seseorang perlu berhenti sejenak.

Langkah kedua adalah menerapkan batasan konsumsi digital. Seseorang dapat menetapkan jadwal khusus untuk mengakses berita atau media sosial sehingga tidak terjebak dalam aliran informasi sepanjang hari. Fitur seperti pengatur waktu, peringatan penggunaan aplikasi, atau mode istirahat dapat membantu.

Selain itu, kurasi konten perlu dilakukan dengan mengikuti akun yang memberikan perspektif positif, informasi edukatif, atau inspirasi sehingga alur konten lebih seimbang.

Dari sisi platform digital, perlu ada tanggung jawab kolektif untuk menghadirkan ekosistem yang lebih sehat. Algoritma yang hanya mengejar intensitas interaksi perlu ditinjau ulang agar tidak mengorbankan kesehatan mental pengguna.

Konten edukasi mengenai kesehatan mental dan literasi digital bisa diperkuat, sementara penyebaran kabar yang menimbulkan panik dapat disertai konteks yang membantu pengguna memahami isu secara lebih proporsional.

Pada akhirnya, doom scrolling bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi gejala dari hubungan manusia dengan teknologi yang berkembang terlalu cepat. Ketika kemampuan adaptasi tidak sebanding dengan kecepatan perubahan, tekanan mental menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.

Untuk melindungi kesehatan mental publik, diperlukan upaya bersama dari individu, masyarakat, platform digital, dan institusi negara. Dunia digital seharusnya menjadi ruang yang memperkuat ketahanan sosial, bukan sebaliknya. Dengan kesadaran kritis dan tata kelola yang lebih manusiawi, fenomena ini dapat dikendalikan sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat teknologi tanpa harus mengorbankan keseimbangan psikologis.

Tag:  #doom #scrolling #ancaman #baru #bagi #kesehatan #mental #publik

KOMENTAR