Politik Ke(tidak)bijakan Kebencanaan
BANJIR bandang di Sumatera menjadi ujian akhir tahun bagi bangsa Indonesia. Alam seakan menagih harga atas kerusakan lingkungan yang lama diabaikan.
Sementara tekanan publik menguat di hadapan tragedi. Mulai dari inisiatif gerakan warga bantu warga, tuntutan penetapan status darurat nasional, hingga tudingan deforestasi luas sebagai penyebab utama bencana.
Langkah pemerintah kerap dipertanyakan, bahkan menunjukkan kontradiksi melalui berbagai ungkapan dan tindakan nir-empati.
Ketimpangan ini menjadi bukti nyata di mana rakyat bergotong-royong dalam krisis, sedangkan sebagian elite terbuai retorika pencitraan. Publik pun menanti substansi kebijakan kebencanaan dilaksanakan.
"Politics, Policy, Polity"
Politik (politics), kebijakan (policy), dan tata kelembagaan (polity) sejatinya menjadi poros yang bekerja secara harmonis.
Policy berisi substansi dan mekanisme tindakan pemerintah, politics adalah proses dinamika kuasa dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, sedangkan polity menjadi tata kerangka institusional yang menopang keduanya.
Kesatuan ketiganya dalam kebijakan kebencanaan seharusnya tampak pada kebijakan mitigasi yang terencana dan diterapkan, tata kelola konflik yang inklusif dalam politik, serta institusi negara responsif. Namun nyatanya, terdapat kesenjangan dalam praktik.
Pelaksanaan dalam ranah politics kerap terjebak dalam pusaran populisme dibandingkan keutamaan demokrasi. Seperti konsep Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) mengenai cinta diri (amour-propre), di mana politik populis berakar padanya.
Populisme adalah praktik ‘haus kuasa’ sehingga tindakan politik terus-menerus diarahkan pada upaya meraih pengakuan dan dukungan sesaat.
Ketika bencana terjadi, para elite tergoda mengarahkan perhatian untuk membentuk citra melalui tindakan dan narasi bombastis, bukan mitigasi substantif. Alhasil kepentingan diri menindih kepentingan umum.
Dalam aspek policy, tantangan terbesar kebijakan kebencanaan justru muncul. Berbagai kepentingan menjadi dalang ketidaksinkronan perencanaan dengan implementasi kebijakan kebencanaan.
Berbagai kajian dan rekomendasi ilmiah menemukan jalan buntu sebab asumsi “good policies, bad politics” berlaku.
Banjir bandang Sumatera mempertegas deforestasi sebagai akar krisis. Reboisasi tak pernah mampu mengejar laju kerusakan. Hujan hanyalah pemicu, sedangkan kerusakan hulu sungai hingga ekspansi infrastruktur ekstraktif memperparah kondisi.
Di hadapan masalah ini, kebijakan kebencanaan justru lebih sering diterapkan secara reaktif, bukan preventif. Ini semua menunjukkan bahwa mekanisme kebijakan substansif di bidang kebencanaan belum sepenuhnya matang.
Pada dimensi polity, misalnya, tampak dalam tuntutan penetapan status darurat bencana nasional. Birokrasi seakan lamban membuat keputusan darurat tersendat.
Persis seperti dikritik Ben Anderson (1936-2015) dengan istilah “old state, new society” di mana struktur negara lama tetap bertahan meski masyarakat sudah berubah; konsep yang mengkritik Clifford Geertz yang beragumen sebaliknya, institusi baru terbentuk di tengah masyarakat berpola lama (old society, new state).
Kelambanan polity membuat aspirasi kolektif sulit terserap ke dalam tindakan cepat di lapangan.
Ketidaksinkronan membentuk krisis respons bencana, yang merupakan akumulasi dari struktur politik yang lemah, perilaku politik yang jauh dari keadaban publik, serta proses politik yang tersendat, membuat kebijakan kebencanaan sulit berjalan optimal.
Krisis kebencanaan mencerminkan kredibilitas negara dalam menjamin kehidupan rakyat. Karenanya tegangan-tegangan di atas tak boleh dibiarkan.
Jika tidak ditanggulangi, dalam dimensi politics, menjangkitnya populisme melalui pencitraan-pencitraan politik di tengah bencana bisa mengikis nilai-nilai keutamaan demokrasi.
Padahal, demokrasi sesungguhnya berakar pada kepercayaan antara yang memimpin dan dipimpin, berbeda dengan demokrasi semu ala populisme yang hanya menyangkut pengakuan populis.
Politik yang hanya mengejar dukungan sesaat tanpa keberanian pengambilan keputusan strategis hanya akan membawa negara pada siklus bencana berulang yang tak henti.
Pada dimensi policy, ketidakkonsistenan menimbulkan inefisiensi. Sebab ke depan akan ada korban jiwa bertambah, kerugian ekonomi lebih besar, kerusakan infrastruktur berulang, serta kepercayaan publik merosot.
Banjir yang terus melanda menandakan bencana berikutnya sudah di depan mata dan siap menciptakan siklus kerugian tanpa ujung.
Pada saat sama, dalam dimensi polity, politisasi bencana akan melemahkan legitimasi negara. Masyarakat bisa merasa pemerintah gagal dalam menjaga keselamatan warganya. Institusi pun dapat kehilangan daya tawarnya.
Arah Perubahan
Kewajiban tanggung jawab bersama menjadi keniscayaan dalam situasi bencana. Kita harus berani melihat kenyataan pahit sekalipun, sembari memiliki keyakinan bahwa perubahan dapat dicapai. Pilihan-pilihan politik hari ini menentukan kehidupan bagi generasi mendatang.
Dari tarik-menarik antara politics-policy-polity di atas, upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi sangat jelas. Bencana tidak lahir dalam sehari sebab ada implikasi dari pilihan-pilihan politik yang diterapkan.
Konsep keberlanjutan seakan menjadi kompas moral dan strategi kebijakan kebencanaan dalam jangka panjang.
Di sinilah perbedaan mendasar politisi dan negarawan, di mana politisi berpikir untuk pemilu berikutnya, sedangkan negarawan untuk generasi berikutnya.
Kebijakan tidak selalu dimaknai berdiri dalam ruang netral. Netralitas dalam politik adalah ilusi semata, sebab setiap aktor, termasuk pemerintah, memiliki keberpihakan.
Pertanyaan selanjutnya ialah kepada siapa keberpihakan itu berlabuh, serta dengan dasar apa keberpihakan diajukan?
Kehadiran pemerintah di tengah bencana tidak boleh bergantung sebatas pada narasi citra politik, tetapi harus berpihak pada korban.
Banjir bandang Sumatera menjadi peringatan dini agar ke depan pemerintah selalu berorientasi pada pembangunan generasi masa depan.
Sehingga kesejahteraan bersama tidak bergantung pada siapa memegang kekuasaan, melainkan pada bagaimana kekuasaan tersebut dijalankan dan untuk siapa diarahkan.
Kecerdasan dan motif kebaikan pribadi saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah komitmen kolektif dalam setiap institusi untuk menegakkan nilai-nilai kepublikan.
Modal moral (moral capital) bukan sekadar potensi kebaikan diri masing-masing, melainkan kekuatan yang menggerakkan kebijakan dan memengaruhi tingkah laku politik dalam skala luas.
Dengan kata lain, politisi dan birokrat harus mampu menerjemahkan niat baik ke dalam kebijakan konkret demi kemaslahatan umum.
Hanya dengan demikian, tata kelola kebijakan kebencanaan dapat terwujud secara optimal, di mana pada akhirnya kebijakan yang berasas pada pelayanan menjadi bukti nyata dalam usaha perwujudan kesejahteraan bersama. Semoga.