Laporan Cyber Threat Predictions: 2026 Jadi Era Kejahatan Siber, Cepat dan Masif Manfaatkan AI
Rashish Pandey, Vice President of Marketing and Communications APAC Fortinet (kiri) dan Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia (kanan). (Nanda Prayoga/JawaPos.com)
23:12
8 Desember 2025

Laporan Cyber Threat Predictions: 2026 Jadi Era Kejahatan Siber, Cepat dan Masif Manfaatkan AI

 
 

 - Indonesia tengah memasuki babak baru dalam dinamika kejahatan siber global. Memasuki 2026, Fortinet menegaskan bahwa pola serangan digital kini berkembang menjadi jauh lebih cepat, lebih masif, dan digerakkan oleh kecerdasan buatan (AI). 

Pada laporan Cyber Threat Predictions 2026, Rashish Pandey, Vice President of Marketing and Communications APAC Fortinet, menyampaikan bahwa dunia saat ini menghadapi “gelombang ketiga” kejahatan siber, di mana penyerang tidak lagi mengandalkan aksi manual, melainkan memakai agen otomatis berbasis AI yang dapat menembus sistem pertahanan perusahaan hanya dalam hitungan menit.

Rashish menekankan bahwa perubahan paling signifikan dalam lanskap ancaman bukanlah hadirnya malware yang lebih rumit, melainkan percepatan luar biasa dalam kecepatan dan volume serangan. AI kini memungkinkan pelaku melakukan pemetaan celah keamanan, eksploitasi, hingga proses monetisasi secara otomatis dan berkelanjutan. 

Jika sebelumnya sebuah serangan komprehensif membutuhkan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu, kini seluruh rangkaian dapat berlangsung dalam beberapa jam bahkan menit. Karena itu, organisasi harus bergerak menuju sistem pertahanan yang beroperasi pada “kecepatan mesin”, bukan lagi pada tempo manual analis keamanan seperti sebelumnya.

Rashish juga menyoroti bahwa AI telah mempercepat industrialisasi kejahatan siber. Ekosistem pasar gelap kini berfungsi layaknya platform e-commerce, menyediakan paket serangan berbasis AI dengan harga yang sangat rendah. 

Pelaku baru pun bisa “berlangganan” layanan serangan, termasuk generator phishing otomatis, pembuatan deepfake untuk penipuan, hingga platform kriminal berbasis AI seperti FraudGPT atau WormGPT. Para penyerang tidak perlu lagi menguasai pemrograman, mereka cukup membeli paket yang diinginkan dan menentukan target. Akibatnya, jumlah serangan melonjak drastis karena hambatan untuk masuk dunia kejahatan siber kini hampir tidak ada.

Di tanah air sendiri, Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia, menegaskan, meski Indonesia telah mencatat peningkatan kesadaran dan penerapan keamanan siber dalam beberapa tahun terakhir, laju evolusi ancaman saat ini melampaui pola serangan sebelumnya. 

Ia mengatakan perusahaan-perusahaan di Indonesia tengah berada pada fase transisi krusial dan harus segera memperbarui prioritas keamanan mereka untuk menghadapi serangan otomatis yang semakin meluas. 

“Indonesia sebenarnya cepat belajar dan cepat beradaptasi. Tetapi cara serangan bergerak hari ini sudah jauh berbeda. AI bekerja tanpa rasa lelah, tanpa jeda. Kita harus membangun pertahanan yang setara dengan ritme tersebut,” jelas Edwin.

Fortinet memprediksi tiga sektor akan menjadi sasaran paling rentan pada 2026, yakni manufaktur, kesehatan, dan infrastruktur kritikal. Sektor manufaktur kini berada pada level risiko yang meningkat seiring percepatan implementasi Industry 4.0. 

Banyak pabrik sebelumnya tidak memiliki dasar keamanan siber karena sistem operasional mereka tidak terhubung dengan internet. Setelah modernisasi dan koneksi dengan cloud serta IoT, jalur serangan baru pun muncul. 

Sektor kesehatan juga berada dalam risiko tinggi karena nilai data rekam medis yang besar dan mudah diperjualbelikan di pasar gelap. Sementara itu, infrastruktur kritikal seperti energi, transportasi, dan utilitas menjadi sasaran utama karena gangguan terhadap sektor ini dapat memicu kerugian nasional yang besar dan mendorong korban membayar tebusan dengan cepat.

Kesenjangan antara kecepatan penyerang dan kecepatan pembela adalah tantangan terbesar organisasi di Indonesia saat ini. Banyak sistem pertahanan tradisional masih bertumpu pada analisis manual, investigasi log, dan alur kerja yang lambat, sementara AI di sisi pelaku beroperasi nonstop 24 jam tanpa batasan tenaga atau waktu. Diperlukan teknologi pertahanan berbasis AI yang mampu melakukan deteksi ancaman dalam hitungan detik, mengisolasi ancaman secara otomatis, dan merespons tanpa harus menunggu campur tangan manusia.

Selama lebih dari 15 tahun, Fortinet melalui FortiGuard Labs telah mengembangkan dan menerapkan teknologi AI yang memproses miliaran data ancaman setiap hari dari firewall global, email, endpoint, dan file yang masuk ke sandbox. 

Edwin menyampaikan bahwa jumlah ancaman yang dianalisis meningkat berkali lipat setiap tahun, dan tanpa AI, mustahil organisasi bisa menandingi kecepatan serangan modern. Ia menegaskan bahwa masa depan keamanan siber bukan lagi kompetisi antara manusia dan AI, tetapi kolaborasi keduanya dalam menghadapi ancaman yang didorong AI.

Tidak hanya perusahaan yang terancam, masyarakat umum pun menghadapi risiko yang semakin serius. Penipuan berbasis deepfake kini dapat meniru suara anggota keluarga, sementara phishing yang dihasilkan AI menjadi sangat meyakinkan dan sulit dibedakan dari pesan asli. Akun pribadi seperti media sosial dan perbankan semakin menjadi target bernilai tinggi dan diperjualbelikan secara luas di pasar gelap internasional.

Di akhir laporannya, Fortinet menegaskan bahwa tahun 2026 bukan hanya menandai peningkatan ancaman, tetapi juga perubahan mendasar dalam cara kejahatan siber beroperasi. 

Indonesia harus memperkuat integrasi sistem keamanan, mengadopsi AI defensif, meningkatkan pelatihan SDM, serta membangun pertahanan yang bekerja dalam kecepatan mesin. Organisasi yang mampu bertransformasi dan mengadopsi pendekatan keamanan modern akan menjadi pihak yang paling siap menghadapi masa depan keamanan digital.

Editor: Sabik Aji Taufan

Tag:  #laporan #cyber #threat #predictions #2026 #jadi #kejahatan #siber #cepat #masif #manfaatkan

KOMENTAR