10 Tahun Jokowi, Struktur Ekspor Tak Berubah
- Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang dari sisi ekonomi, struktur ekspor Indonesia sepanjang 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengalami perubahan. Struktur ekspor masih didominasi oleh komoditas sumber daya alam yang sifatnya ekstraktif.
Justru, Bhima menyebut kontribusi industri manufaktur pada struktur ekspor RI makin menyusut. "Bahkan untuk kendaraan bermotor dan spare part-nya juga porsinya kecil sekali. Mobil itu hanya 1,3 persen, sisanya sebagian besar adalah komoditas dan olahan primer," ujar Bhima dalam sebuah diskusi.
Dari kondisi itu, tercermin bahwa belum ada kenaikan yang berarti dalam hal kinerja ekspor. Padahal, ekspor yang terus mengandalkan komoditas tak terlalu menguntungkan di tengah harga komoditas yang masih terbilang swing. "Dari sisi batu bara, kemudian gas, itu tidak bisa terlalu diandalkan sebagai dorongan untuk ekspor. Makanya defisit migas kita cukup besar," imbuhnya.
Kondisi itu makin diperparah dengan daya saing industri dalam negeri yang masih kalah kompetitif jika dibandingkan negara tetangga. Bhima mencontohkan, Vietnam justru membukukan porsi produk-produk industri yang memiliki nilai tambah.
Hal itu juga sejalan dengan proyeksi Bank Dunia yang memprediksi Vietnam akan menunjukkan pertumbuhan terkuat di antara negara-negara ekonomi berkembang di Asia Tenggara. Itu disebabkan karena pemulihan ekspor manufaktur, pariwisata, dan investasi. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Vietnam mencapai 6,1 persen pada akhir 2024 dan 6,5 persen pada 2025.
"Mereka (Vietnam) tidak lagi berbasis pada sumber daya alam, tapi sudah masuk ke industri dan high-tech industry. Bahkan mereka sudah punya banyak sekali kayak elektronik integrated circuit, kemudian juga masuk ke electric transformers, dan juga banyak sekali produk-produk yang nilai tambahnya tinggi sekali," tutur Bhima.
Dia melanjutkan, meski neraca perdagangan RI terus mencetak surplus selama 53 bulan, namun surplus yang terjadi adalah surplus yang kurang berkualitas. Itu disebabkan karena berkurangnya impor bahan baku karena tekanan ekonomi 10 tahun terakhir. Kondisi itu mengindikasikan ada permasalahan dari sisi permintaan. Kondisi itu juga tercermin dari PMI manufaktur Indonesia yang angkanya masih di bawah angka ekspansi.
"Jadi surplus perdagangan yang tidak ditopang oleh surplus perdagangan yang sehat. Yang sehat itu bagaimana? Surplusnya karena ekspor industrinya meningkat, meskipun ada kenaikan dari sisi impor bahan baku. Atau kalau lebih bagus lagi, impor bahan baku industrinya itu bisa ditekan dan ekspor industrinya yang meningkat karena memakai bahan baku domestik. Nah itu tidak terjadi di Indonesia dalam 10 tahun," jelas Bhima.