Jejak Perbankan China di Balik Bencana Ekologis Sumatera
Sisa banjir di Desa Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Minggu (21/12/2025).(KOMPAS.COM/MASRIADI SAMBO)
13:32
22 Desember 2025

Jejak Perbankan China di Balik Bencana Ekologis Sumatera

- Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia atau TuK Indonesia melaporkan, terdapat peran lembaga keuangan terhadap pembiayaan ke perusahaan yang eksploitatif dalam bencana ekologis di Sumatera.

Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK Indoneisa Abdul Haris melaporkan, terdapat sekurang-kurangnya tujuh perusahaan yang terlibat aktif melakukan eksploitasi di Sumatera Utara.

Perusahaan-perusahaan tersebut juga dihubungkan sebagai salah satu penyebab terjadi bencana di Sumatera.

Bank yang memberikan pembiayaan untuk perusahaan-perusahaan tersebut didominasi oleh bank yang berasal dari China.

"Bank-bank ini dominasi dari institusi pembiayaan atau bank ini adalah bank yang berasal dari China dan menduduki peringkat paling pertama adalah bank dari China," kata dia dalam Konferensi pers Jejak Pembiayaan di Balik Bencana Ekologis Sumatera, Senin (22/12/2025).

Ia menambahkan, data tersebut menunjukkan bahwa investasi atau pembiayaan asing memiliki peran besar dalam industri ekstraktif di Indonesia.

Hal ini juga terjadi pada industri ekstraktf lain misalnya adalah yang terjadi pada komoditas nikel di Maluku Utara.

"Ada banyak sekali bank China di sana terlibat pembiayaan," imbuh dia.Warga korban banjir di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Minggu (21/12/2025)DOK PRIBADI FEBRI Warga korban banjir di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Minggu (21/12/2025)

Hal serupa yang terasa adalah adanya kerusakan lingkungan yang masif terkait dengan segmen pembiayaan tersebut.

Seiring dengan itu, himpunan bank milik negara (himbara) juga tampak masih menyalurkan pembiayaan ke beberapa perusahaan yang melakukan eksplorasi di Sumatera tersebut.

Untuk itu Haris berharap publik membangun kesadaran dan meminta kepada perbankan untuk meninjau ulang pembiayaan yang memiliki potensi perusakan lingkungan tersebut.

"Kita bisa memberikan tekanan pada institusi keuangan bahwa pembiayaan yang kalian salurkan kepada perusahaan di Sumatera itu memiliki risiko yang tinggi terhadap kerusakan hutan," ungkap dia.

10.000 Hektare Lahan Berkurang dalam 10 Tahun

Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara Rianda Purba mengidentifikasi dalam 10 tahun terakhir terdapat lebih dari 10.000 hektare lahan yang berkurang di wilayah ekosistem Batang Toru, Tapanuli.

Ekosistem Batang Toru ini merupakan penyangga siklus hidrologis wilayah yang saat ini terdampak banjir paling parah di Sumatera Utara.

Secara total ekosistem Batang Toru memiliki luas sekitar 240.000 hektare yang terdiri dari kawasan hutan lindung, areal penggunaan lain (APL), hingga pemukiman.

"Jadi kami identifikasi ada 10.000 hektare lebih lahan yang berkurang di wilayah tersebut dan itu hasil kerja dari 7 perusahaan yang kami identifikasi," ungkap dia.

Berdasarkan catatan WALHI Sumatera Utara, tujuh perusahaan tersebut terdiri dari PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (PLTA Batang Toru) PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk, PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate.

Aktivitas tujuh perusahaan tersebut di sekitar ekosistem Batang Toru menyebabkan pembukaan hutan, dan perubahan bentang alam.

WALHI Sumatera Utara sendiri mengestimasikan terdapat total 5,4 juta pohon yang terlah hilang dalam kurun waktu tersebut.

Kerusakan ini menurunkan daya dukung lingkungan dan memicu banjir bandang serta longsor.

"Ini sangat berpengaruh terhadap banjir bandang yang terjadi," ujar dia.

Rianda menceritakan, pohon memiliki fungsi kanopi untuk menahan air tak langsung ke tanah. Namun, jumlah pohon yang berkurang, ditambah dengan hujan deras yang terjadi berminggu-minggu, membuat air langsung ke tanah dan mengalir ke wilayah hilir.

Banyaknya batang pohon yang terseret ketika banjir disebabkan karena hasil tebangan pohon yang dibiarkan berada di daerah aliran sungai (DAS) atau di badang sungai.

Secara alami, batang-batang pohon ini menjadi bendungan yang ketika volume air sudah lebih tinggi tak mampu lagi menahan volume yang besar.

"Sehingga terjadilah bandang, dan run off (limpasan permukaan) sangat kencang dan mengakibatkan korban jiwa di desa-desa," ungkap dia.

Kerugian Banjir Sumatera Diproyeksikan Capai Rp 68,67 Triliun

Center of Economic and Law Studies (Celios) memproyeksikan dampak ekonomi nasional mencapai Rp 68,67 triliun.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut bencana itu menekan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 0,29 persen.

“Secara nasional, terjadi dampak penurunan Produk Domestik Bruto mencapai Rp 68,67 triliun atau setara dengan 0,29 persen,” kata Bhima, Jumat (5/12/2025).

Bhima menilai lumpuhnya akses transportasi di satu wilayah langsung memukul pergerakan barang konsumsi dan pasokan industri. Kondisi tersebut membuat tekanan ekonomi menyebar ke banyak daerah.

“Terlebih Sumatera Utara merupakan salah satu simpul industri nasional di Sumatera,” ujar Bhima.

Celios memperkirakan kerugian daerah mencapai Rp 2,04 triliun di Aceh, Rp 2,07 triliun di Sumut, dan Rp 2,01 triliun di Sumbar. Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan ikut terdampak dengan kerugian sekitar Rp 2 triliun per provinsi.

Tag:  #jejak #perbankan #china #balik #bencana #ekologis #sumatera

KOMENTAR