IHSG Tembus 8.600, Optimisme Ekonomi Menguat, Peluang Imbal Hasil Saham Kian Terbuka?
- Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diyakini terus menanjak karena optimisme pasar terhadap makro ekonomi nasional. Hal ini membuka peluang imbal hasil investasi yang menarik bagi investor.
Pada awal perdagangan Senin (22/12/2025) IHSG menguat tipis. Indeks berada di level 8.626,84, naik 17,28 poin atau 0,20 persen.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip melalui RTI, IHSG dibuka posisi 8.629,25. Di awal perdagangan, indeks sempat menyentuh level tertinggi 8.646,93 dan terendah di 8.613,01, sebelum akhirnya bertahan di area penguatan.
Aktivitas perdagangan terpantau cukup ramai. Volume transaksi mencapai 4,89 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 2,61 triliun. Frekuensi perdagangan 387.888 kali.
Dari sisi pergerakan saham, tekanan jual masih terlihat. Sebanyak 323 saham melemah, sementara 230 saham menguat, dan 145 saham stagnan.
Pengamat pasar modal, Faisal Rachman, mencatat tren penguatan IHSG menjadi sinyal positif bagi perekonomian nasional sekaligus dunia usaha. Menurutnya, indeks saham saat ini bergerak di atas level 8.000 dan berpeluang melanjutkan kenaikan dalam waktu dekat.
“Tidak dapat dipungkiri indeks harga saham cukup positif. Bahkan sudah di atas 8.000 sekian, mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa mencapai 9.000,” ujar Faisal lewat keterangan pers BNI, Senin (22/12/2025).
Kondisi pasar yang kondusif turut meningkatkan kepercayaan investor bagi perusahaan terbuka (Tbk) terhadap prospek bisnis ke depan.
“Sebagai perusahaan yang Tbk, kondisi ini akan membuat kita lebih yakin bahwa ke depan akan lebih baik,” paparnya.
Untuk diketahui, imbal hasil saham merupakan keuntungan yang diperoleh investor dari kepemilikan saham suatu perusahaan. Secara sederhana, imbal hasil saham mencerminkan seberapa besar hasil yang didapat investor atas risiko yang diambil saat menanamkan modal di pasar saham.
Imbal hasil saham berasal dari dua sumber utama. Pertama adalah capital gain, yaitu keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual saham. Jika investor membeli saham di harga Rp 1.000 lalu menjualnya di Rp 1.300, maka selisih Rp 300 itulah capital gain. Sebaliknya, jika dijual lebih rendah dari harga beli, investor mengalami capital loss.
Sumber kedua adalah dividen, yakni pembagian sebagian laba perusahaan kepada pemegang saham. Dividen biasanya dibagikan secara tunai, meski ada juga dividen saham. Tidak semua emiten membagikan dividen, karena sebagian perusahaan memilih menahan laba untuk ekspansi usaha.
Besarnya imbal hasil saham sangat dipengaruhi oleh kinerja perusahaan dan sentimen pasar. Kinerja keuangan yang solid, laba yang tumbuh, serta prospek bisnis yang baik cenderung mendorong harga saham naik. Namun, faktor eksternal seperti kondisi ekonomi, suku bunga, nilai tukar, hingga isu global dan domestik juga dapat membuat harga saham berfluktuasi tajam.
Dalam jangka pendek, imbal hasil saham bisa sangat volatil, bahkan negatif. Namun dalam jangka panjang, saham secara historis memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi konservatif seperti deposito atau obligasi, seiring pertumbuhan nilai perusahaan dan efek compounding.
Karena itu, imbal hasil saham selalu berjalan seiring dengan risiko. Investor perlu menyesuaikan pilihan saham dengan tujuan investasi, profil risiko, dan horizon waktu agar potensi imbal hasil dapat dioptimalkan tanpa mengabaikan manajemen risiko.
Kinerja sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan lonjakan dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya saham PT Petrosea Tbk (PTRO). Dalam lima tahun terakhir, harga saham PTRO melonjak sekitar 5.019 persen, dari Rp 210 per saham menjadi Rp 10.750 per saham.
Kendati demikian, lonjakan tersebut baru terjadi pada 2024, setelah periode pergerakan yang relatif terbatas pada 2020-2023. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi saham jangka panjang tidak selalu langsung tercermin sejak awal.
Karena itu, Faisal menekankan pentingnya selektivitas dalam memilih saham. Di kalangan praktisi pasar modal, dikenal istilah blue chip, yakni saham-saham unggulan dengan fundamental kuat dan kinerja relatif stabil.
Di Indonesia, saham blue chip banyak berasal dari sektor defensif, khususnya perbankan. Salah satunya adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Dalam lima tahun terakhir, harga saham BBNI naik sekitar 33 persen, dari kisaran Rp 3.300 per saham pada Desember 2020 menjadi sekitar Rp 4.400 per saham pada Desember 2025.
Dengan asumsi investasi Rp 100 juta pada 2020, kenaikan tersebut menghasilkan nilai investasi sekitar Rp 132,49 juta setelah memperhitungkan pajak dan biaya transaksi, atau tumbuh sekitar 32,5 persen.
Data pasar juga memperkuat argumen tersebut. Dalam lima tahun terakhir, IHSG tercatat melonjak 44,05 persen, dari level 6.012 pada penutupan perdagangan 12 Desember 2020 menjadi 8.660,5 pada penutupan 12 Desember 2025.
Tag: #ihsg #tembus #8600 #optimisme #ekonomi #menguat #peluang #imbal #hasil #saham #kian #terbuka